Virus Corona

Covid-19 Bukan Lagi Pandemi, Ilmuwan Sebut Virus Corona Dianggap Jadi Sindemi, Apa Itu?

Sejak mewabah dari China akhir tahun 2019, covid-19 terus meluas hingga secara resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai pandemi

Freepik.com
ILUSTRASI - Covid-19 Bukan Lagi Pandemi, Ilmuwan Sebut Virus Corona Dianggap Jadi Sindemi, Apa Itu? 

Kedua elemen ini saling berinteraksi dalam konteks ketimpangan sosial yang mendalam.

Mengingat pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada awal tahun 2020, yang mengatakan bahwa dampak pandemi covid-19 dialami secara tidak proporsional pada kelompok masyarakat paling rentan.

Di antaranya orang yang hidup dalam kemiskinan, pekerja miskin, perempuan dan anak-anak, serta penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya.

Sindemi bukanlah istilah baru dan telah muncul sekitar tahun 1990-an yang diciptakan oleh antropolog medis asal Amerika Serikat, Merill Singer.

Istilah ini dicetuskannya untuk menyebut kondisi ketika dua penyakit atau lebih berinteraksi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar ketimbang dampak dari masing-masing penyakit tersebut.

"Dampak dari interaksi ini juga difasilitasi oleh kondisi sosial dan lingkungan yang entah bagaimana dapat menyatukan kedua penyakit atau membuat populasi menjadi lebih rentan terhadap dampaknya," jelas Singer.

Istilah sindemi muncul saat ilmuwan tersebut bersama koleganya meneliti penggunaan narkoba di komunitas berpenghasilan rendah di Amerika Serikat pada lebih dari dua dekade lalu.

Ilustrasi virus corona. Studi dari Harvard Medical School menyatakan virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) kemungkinan sudah ada dan menyebar di China sejak Agustus 2019. Pixabay/Tumisu
Ilustrasi virus corona. Studi dari Harvard Medical School menyatakan virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) kemungkinan sudah ada dan menyebar di China sejak Agustus 2019. Pixabay/Tumisu (Pixabay/Tumisu)

Singer dan timnya menemukan bahwa banyak dari masyarakat itu yang menggunakan narkoba menderita sejumlah penyakit seperti TBC dan penyakit menular seksual.

Selanjutnya para peneliti mempertanyakan bagaimana penyakit-penyakit ini dapat berada di dalam tubuh seseorang.

Kesimpulannya, dalam beberapa kasus, kombinasi penyakit memperkuat dampak dan kerusakan yang dialami orang itu.

"Kami melihat bagaimana covid-19 berinteraksi dengan berbagai kondisi yang sudah ada sebelumnya, diabetes, kanker, masalah jantung dan banyak faktor lain," kata Singer.

Strategi epidemiologi hadapi covid-19 Bahkan tak hanya itu, mereka juga melihat adanya tingkat yang tidak proporsional dari dampak yang merugikan di komunitas masyarakat miskin, berpenghasilan rendah dan etnis minoritas.

Pengaruh lingkungan sosial ekonomi juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan risiko covid-19.

Menurut Tiff-Annie Kenny, peneliti di Laval University di Kanada mengatakan penyakit seperti diabetes atau obesitas, yang termasuk faktor risiko covid-19 tersebut lebih sering dialami pada orang-orang berpenghasilan rendah.

Baca juga: Klarifikasi Gisel soal Video Mirip Dirinya, Pakar Ulas Beda Gesture Kekasih Wijin, Jadi Tanda Tanya

Baca juga: BUKAN RAMBUT atau KIMONO! Pakar Temukan 2 Kesamaan di Tubuh Gisel & Wanita di Video Asusila 19 Detik

Di tengah kondisi wilayah dengan kerawanan pangan, perubahan iklim hingga pengaturan perumahan yang buruk, akan semakin sulit untuk menjalankan rekomendasi kesehatan seperti mencuci tangan atau menjaga jarak.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved