Update Kasus Djoko Tjandra, di Pengadilan, Irjen Napoleon Seret Nama Kabareskrim dan Azis Syamsuddin

Update kasus Djoko Tjandra, di Pengadilan Tipikor, Irjen Napoleon Bonaparte seret nama Kabareskrim dan Azis Syamsuddin

Editor: Rafan Arif Dwinanto
IST
Irjen Napoleon Bonaparte yang ikut dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Hubinter Polri gara-gara red notice Djoko Tjandra 

TRIBUNKALTIM.CO - Update kasus Djoko Tjandra, di Pengadilan Tipikor, Irjen Napoleon Bonaparte seret nama Kabareskrim dan Azis Syamsuddin.

Kasus penerbitan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte dan pengusaha Tommy Sumardi masih bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Diketahui, diduga Djoko Tjandra menyuap Irjen Napoleon Bonaparte untuk menghapus red notice melalui perantara Tommy Sumardi.

Di Pengadilan Tipikor, jenderal bintang dua Polri ini menyeret nama Kabareskrim dan politikus Golkar Azis Syamsuddin.

Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte membeberkan kedekatan antara Tommy Sumardi dengan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo serta Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Hal itu diungkapkan Napoleon saat menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/11/2020).

Baca juga: ILC Tadi Malam, Arteria Dahlan Beber Pemanggilan Anies ke Polisi Bukan Politisasi Atau Kriminalisasi

Baca juga: Ramalan Zodiak Kesehatan Rabu 25 November 2020, Leo Waspada Terhadap Kolestrol

Baca juga: Jadwal Liga Champions Malam Ini, Inter Milan vs Real Madrid Live SCTV, Link Streaming Vidio.com

Baca juga: UPDATE! Cara Cek BSU Info GTK v.2020.20 info.gtk.kemdikbud.go.id, Syarat Pencairan BSU Kemendikbud

Irjen Napoleon Bonaparte awalnya bercerita perihal kedatangan Tommy Sumardi dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo ke ruangannya di Gedung TNCC, Kompleks Mabes Polri, pada April 2020.

Kemudian, Tommy meminta Prasetijo untuk keluar dari ruangan. Kepada Irjen Napoleon Bonaparte, Tommy lalu meminta penjelasan perihal status red notice Djoko Tjandra.

"Pada saat itu terdakwa (Tommy) menjelaskan maksud dan tujuan, untuk minta bantuan mengecek status red notice Djoko Tjandra," ucap Napoleon saat sidang seperti dikutip dari Tribunnews.com, Selasa.

"Lalu saya bertanya kepada terdakwa, saudara ini siapanya Djoko Tjandra?

Lawyer-nya? Bukan.

Keluarga? Bukan.

Saudara apa Djoko?

Saya temannya, jawab terdakwa," sambung dia.

Irjen Napoleon Bonaparte mengaku heran bagaimana masyarakat umum bisa membawa Prasetijo yang berpangkat brigadir jenderal atau berbintang satu untuk menemuinya.

Ia juga mempertanyakan mengapa Prasetijo Utomo mau ikut bersama Tommy Sumardi.

Menurut Napoleon, Tommy mengaku sudah mengantongi restu dari Kabareskrim sebelum menemuinya.

"Lalu dia bercerita, terdakwa yang mengatakan, ini bukan bahasa saya, tapi bahasa terdakwa pada saya, menceritakan kedekatan beliau, bahwa ke tempat saya ini sudah atas restu Kabareskrim Polri," katanya.

Bahkan, Tommy Sumardi disebut menawarkan diri untuk menelepon Kabareskrim saat itu.

Irjen Napoleon Bonaparte menolak tawaran tersebut.

"Saya bilang, Kabareskrim itu junior saya, tidak perlu.

Tapi saya yakin bahwa kalau seorang Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim dibawa ke ruangan saya, ini pasti ada benarnya," ungkap dia.

Baca juga: Sebelum Terkenal Sebagai Kiki di Sinetron Ikatan Cinta, Ayya Renita Pernah Viral di Indonesian Idol

Namun, Napoleon mengaku masih sedikit tidak percaya dengan gerak-gerik Tommy saat itu.

Tak lama kemudian, Tommy menelepon seseorang yang tak lain adalah Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Tommy Sumardi lalu menyerahkan telepon genggamnya kepada Napoleon.

Irjen Napoleon Bonaparte mengaku pernah mengenal Azis Syamsuddin ketika dirinya masih menjadi perwira menengah (pamen).

Ia pun berbicara dengan Azis melalui telepon milik Tommy.
Irjen Napoleon Bonaparte bahkan sempat meminta petunjuk kepada Azis.

"Ini di hadapan saya ada datang Pak Haji Tommy Sumardi.

Dengan maksud tujuan ingin mengecek status red notice.

Mohon petunjuk dan arahan pak.

Silahkan saja, Pak Napoleon. Baik.

Kemudian telepon ditutup, saya serahkan kembali.

Menggunakan nomor HP terdakwa," tutur Napoleon sambil menirukan perbincangan tersebut.

Untuk Irjen Napoleon Bonaparte, ia didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.

JPU mendakwa Prasetijo menerima uang sebesar 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar dalam kasus tersebut.

Menurut JPU, atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO).

Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.

Baca juga: Jangan Coba-coba Langgar Prokes Jelang Pilkada Serentak, Mahfud MD Beber Sanksinya Tak Main-Main

Keterangan Jaksa Sebelumnya

Jaksa Wartono mengatakan bahwa pada April 2020, Djoko Tjandra yang berada di Kuala Lumpur Malaysia menghubungi Tommy Sumardi melalui sambungan telepon menyampaikan maksud agar dapat masuk ke wilayah Indonesia untuk mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali Djoko.

Djoko Tjandra meminta agar Tommy Sumardi menanyakan status Interpol Red Notice Joko Soegiarto Tjandra di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri, karena sebelumnya Djoko mendapat informasi bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Prancis.

"Agar Joko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Joko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar rupiah melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Joko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," ungkap Jaksa Wartono.

Setelah menerima uang dari Djoko Tjandra, Irjen Napoleon memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ditujukan kepada pihak Imigrasi sebagaimana Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1000/V/2020/NCB-Div HI tanggal 29 April 2020, perihal Penyampaian Informasi Pembaharuan Data, yang ditandatangani oleh Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

"Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat ND Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang ( DPO) yang terdaftar dalam INTERPOL Red Notice melalui jaringan 1-24/7, dan berkaitan dengan hal dimaksud dinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi," kata Jaksa.

Lantas Irjen Napoleon kembali memerintahkan anggotanya, Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1030/V/2020/NCB-Div Hl tanggal 4 Mei 2020.

Baca juga: Apa Kabar UU Cipta Kerja? Airlangga Hartarto Beber Progres Terbaru Penyusuan Puluhan PP dan Perpres

Perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI.

"Adapun isi surat tersebut pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice," kata Jaksa.

Irjen Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved