Berita Bontang Terkini
Kisah Pilu Janda Beranak 7 di Bontang jadi Buruh Pemecah Batu, Tinggal di Gubuk Kecil
Kisah pilu janda buruh pemecah batu. Tinggal sendiri di gubuk berukuran 3x3 meter selama 10 tahun terakhir
Penulis: Ismail Usman | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Kisah pilu janda buruh pemecah batu. Tinggal sendiri di gubuk berukuran 3x3 meter selama 10 tahun terakhir.
Wanita parubaya itu bernama Sakka.
Ia tinggal di Desa Martadinata, Teluk Pandan.
Jarak rumahnya dari perbatasan Bontang - Kutai Timur hanya 300 meter.
Status kependudukannya pun masih sebagai warga Bontang.
Baca juga: Penjual Tahu Sumedang Ikut Orasi Tolak Omnibus Law, Harapkan Kaum Buruh Punya Kehidupan Layak
Seorang ibu beranak 7 ini sungguh bernasib buruk.
Puluhan tahun lalu ia ditinggal suaminya.
Saat itu ia mulai merasa kesulitan.
Beban yang dipikulnya makin terasa begitu berat.
Sungguh tak mudah menjadi seorang ibu sekaligus ayah dari ke 7 anaknya.
Ia tak lagi seperti layaknya seorang ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di dapur.
Setahun lamanya ia jalani hidup bersama anak-anaknya.
Ia rela menjadi buruh serabutan demi menafkahi putra-putrinya.
Setahun berlalu dengan kehidupan begitu terbatas.
Sakka mulai cemas. Ia takut anaknya tumbuh dengan kehidupan kurang layak.

Sehingga Sakka pun memutuskan untuk menitipkan ke 7 anaknya di pesantren agar mendapat pendidikan Agama.
Ia menaruh banyak harapan pada sang anak.
Kelak sang anak dewasa, mereka bisa menjadi ustaz atau pendakwa.
"Iya saya titip. Biayanya juga gratis karena dapat bantuan," kata Sakka sambil tersenyum.
Usai menitipkan anaknya ke pesantren, Sakka kembali menjalani hidupnya sendiri.
Perlahan ia bangun rumah berukusan 3x3 dari hasil upah sebagai buruh pemecah batu.
Rumah yang ia tinggali layaknya gubuk yang dibangun menggunakan kayu bekas.
Di dalam rumahnya tidak ada ruang tamu.
Hanya dapur dekat kasur tempat ia memasak sekaligus tidur.
Kasur yang digunakan pun kasur bekas dari pemberian orang.
Di situlah Sakka kerap melepaskan lelahnya sepulang bekerja selama 10 tahun terakhir ini.
Baca juga: Buruh Bangunan di Samarinda Tewas, Polisi Tunggu Hasil Visum, Ipda M Ridwan: tak Ada Tanda Kekerasan
Saban hari dari pagi hingga matahari terbenam wanita paruhbaya itu hampir renta bergulat dengan palu.
Seonggok batu alam dan gunung besar, sedikit demi sedikit ia pecahkan seukuran 2 hingga 3 senti.
Sesekali dengusan nafas lelah berpijar di antara tumpukan batu-batu kecil hasil hantaman palu Sakka.
Tanpa lelah, dikerjakan semuanya, nyaris tanpa keluh kesah.
Yang diketahui, inilah satu alternatif untuk bertahan hidup, tanpa meminta belas kasihan sesama.
“Ya, cukuplah belas kasihan sang Pencipta” ungkap Sakka saat media ini menemuinya di rumahnya.
Jadi buruh pemecah batu terus ia lakoni. Tak jarang, pecahan batu yang tajam kerapa merobek jari dan telapak tangannya hingga meninggalkan bekas luka.
Saat awal, luka yang dirasakan begitu sakit. Namun setahun berlalu, telapak tanganya kapalan dan membuatnya seperti mati rasa.
"Sudah tidak terasa, telapak tangan saya sudah tebal, ini jari-jari saya jadi besar. Lengan saya aja berotot,"

Sebagai buruh pemecah batu, Sakka hanya diupahi Rp 250 ribu per bulannya.
Itupun dipotong komisi Rp 50 ribu dari pemilik lahan tempat ia menampung batu-batunya sebelum diambil pengepul.
Uang tak seberapa itu menurutnya cukup untuk menghidupinya selama sebulan.
Untuk membeli beras Ia hanya menghabiskan Rp 120 ribu untuk persediaan sebulan.
Sisa upahnya dia belikan minyak goreng dan tabung gas.
Beruntung, lahan satu hektar milik orang ia tanami berbagi sayur mayur. Sehingga Sakka tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk membeli sayur.
"Rp 200 ribu itu cukup mas, saya cuman makan nasi dan sayur dari kebun. Tanah ini milik orang saya jaga. Jadi saya tanami sayur aja biar bisa dipake makan," terang Sakka.
Hidup sendrian tentu membuatnya sepi. Namun di sisi lain ia beruntung, carut marut hidup yang ia jalani tak bisa ia keluhkan dalam curahan.
"Mau ngeluh ke siapa, kan saya tinggal sendirian. Walaupun berat saya tetap jalani saja. Entah sampai kapan," kata Sakka.

Sesekali anaknya datang menjenguknya. Tapi itu hanya setahun sekali. Bahkan tidak semua anaknya.
Hanya beberapa lantaran tak cukup uang untuk memulangkan semuanya.
Itupun tak bisa lama. Hanya beberapa hari saja. Lantaran dirinya tak mau anaknya larut dalam kesedihan melihat ibunya.
"Enggak lama. Sebentar aja. Paling dua malam. Kalau lama nanti kasihan anak saya. Takut dia sedih ngeliat kehidupan asli mamanya. Nanti bisa mengganggu pikiranya belajar di pesantren," tuturnya.
Untuk menambah penghasilan, Sakka pun perlahan merintis usaha.
Upah hasi kerjanya ia sisipkan sedikit demi sedikit untuk dijadikan modal.
Rumah kecilnya ai sulap jadi lapak jualan kopi dan minuman dingin.
Rencananya, Sakka ingin menyudahi pekerjaanya sebagai buruh pemecah batu.
Usianya yang tak muda lagi membuat fisiknya tak kuat seperti dulu.
Baca juga: NEWS VIDEO Buruh Bangunan Asal Banjarmasin ditemukan Tewas di Perumahan Green Palm Samarinda
"Mau jualan kopi aja mas. Tapi masih coba-coba. Kalau ternyata hasil bisa lebih banyak. Saya akan berhenti jadi buruh pemecah batu. Karena saya sudah mulai tua," kata Sakka.
Harapan Sakka satu-satu setelah tua nanti, salah satu anaknya usai lulus dari pesantren bisa mendapat pekerjaan layak agar bisa membahagiakan ibunya.
Ia tak ingin anaknya bernasib sama dengannya.
"Kalau tua nanti semoga anak-anak saya mau rawat saya. Harapannya lulus nanti bisa dapat pekerjaan layak dan tidak susah lagi seperti orangtuanya," tukasnya. (*)
Penulis: Ismail Usman | Editor: Mathias Masan Ola