Berita Nunukan Terkini
Seorang Ibu di Nunukan Olah Sampah Rumah Tangga dan Daun Pandan Jadi Kerajinan Tangan Menarik
Seorang ibu di Nunukan mengolah sampah rumah tangga dan daun pandan jadi kerajinan tangan yang menarik
TRIBUNKALTIM.CO,NUNUKAN - Seorang ibu di Nunukan mengolah sampah rumah tangga dan daun pandan jadi kerajinan tangan yang menarik.
Amelia (42), warga RT 013, Jalan Sei Bilal, Kelurahan Nunukan Barat, mulai menggeluti kerajinan tangan dari olahan sampah rumah tangga dan daun pandan, sejak 2018 lalu.
Berasal dari suku Tidung yang identik dengan karya kerajinan tangan membuat ibu tiga anak itu sudah terbiasa berlatih sejak kecil.
"Saya suka kerajinan tangan dari kecil, karena keluarga saya juga melakukan hal yang serupa. Kalau saya pulang sekolah dulu bantu ibu di sawah, malamnya buat tikar anyam," kata Amelia kepada TribunKaltim.Co, Selasa (16/11/2021), sore.
Lalu inovasi kerajinan tangan muncul saat sekolah tempat dia mengajar yakni SD 002 Nunukan mengikuti program Adiwiyata (Green School). Saat itu Amelia ditunjuk sebagai ketua pelaksana di sekolah itu.
Baca juga: Sektor Industri Kerajinan Andalan Masa Depan, Disdagkop dan UKM Gelar Pelatihan Pelaku IKM
Baca juga: Geliat Kerajinan Tangan di Malinau, Pengrajin Lokal Usulkan Dibentuk Sentra Pemasaran
Baca juga: Ibu Rumah Tangga di Malinau Bisa Hasilkan Rp 3 Juta Sebulan dari Kerajinan Tangan Lokal
"Saya berusaha memberikan pelajaran kepada anak-anak pentingnya mendaur ulang sampah dan pentingnya cinta lingkungan," ucapnya.
"Dari situ saya mulai mencoba mendaur ulang sampah seperti koran bekas, gelas Aqua, gelas Ale-ale, dan teh gelas. Termasuk juga daun pandan jenis Belungis," tambahnya.
Untuk daun pandan Belungis, Amelia olah menjadi anyaman tikar yang lembut. Daun pandan Belungis biasa tumbuh di rawa-rawa dan sungai secara liar.
Dari semua jenis kerajinan tangan yang dibuat Amelia, proses mengolah daun pandan Belungis menjadi sebuah anyaman tikar terbilang rumit.
Ia menjelaskan, setelah mengambil daun pandan Belungis dari pohonnya, lalu menghilangkan durinya dengan sisir yang terbuat dari besi.
Setelah itu, diikat daunnya lalu direbus pakai kayu api selama 2 jam sampai warna daunnya agak kecokelatan.
Kemudian, diangkat dan tiriskan lalu diurut daunnya pakai bambu. Berikutnya, didiamkan beberapa menit, lalu direndam satu malam dengan posisi daun harus tenggelam. Esok paginya dijemur di bawah terik matahari selama tiga hari.
"Intinya sampai warna daun agak cokelat terang. Lalu diurut lagi dan mulailah dianyam. Kalau sendiri anyam bisa satu minggu tapi kalau tiga orang bisa empat hari selesai. Total waktu yang dibutuhkan hingga selesai anyam bisa sampai dua minggu," ujarnya.
Untuk harga jualnya mulai Rp300 ribu. Namun biasa harga jual untuk kawinan sampai Rp700 ribu. Karena harus dimodifikasi termasuk dilengkapi renda.
Selain tikar anyaman, juga ada Guci dari anyaman koran bekas. Lalu, bagian atas gelas Aqua, gelas Ale-ale dan teh gelas yang diolah jadi tas keranjang dan piring parcel. Kemudian, daun padan Belungis yang juga diolah jadi bakul.
"Kalau Guci harus dilipat baru digulung. Dan setiap anyaman disambung lagi, jadi perlu konsentrasi. Apalagi koran kan agak keras bahannya. Setelah dianyam baru divernis dan dijemur selama satu jam. Proses anyamnya bisa seminggu," tuturnya.
Untuk Guci dijual dengan harga Rp70 ribu. Kalau piring parcel mulai Rp20-25 ribu.
"Bahan yang saya beli itu seperti vernis satu kaleng Rp70 ribu dan bisa dipakai untuk membuat 10 buah guci. Lalu, kawat emas satu gulung Rp30 ribu dan satu gulung kawat bisa hasilkan 10 piring parcel. Lem harganya Rp18 ribu. Selang untuk pegangan tas plastik dan benang wol," ungkapnya.
Terhenti Lantaran SDM Tak Ada
Kerajinan tangan yang dikoordinir oleh Amelia dengan 10 rekannya sejak awal pandemi 2020 lalu, terhenti.
Hal itu karena banyak rekannya yang memilih untuk mabetang (mengikat rumput laut) demi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Begitu pandemi mereka semua mengikat rumput laut, akhirnya berhenti produksi. Di samping itu saya sebagai guru juga sibuk dan permintaan juga tidak ada. Tapi kalau ada pesanan atau pameran baru mulai produksi lagi," imbuhnya.
Baca juga: Berjuang Jaga Eksistensi Kerajinan Seraung, Hargai Warisan Budaya Leluhur
Tak hanya itu, kata Amelia dirinya susah mendapatkan koran bekas lagi termasuk gelas Ale-ale dan teh gelas yang menurutnya sudah jarang dijual di pasaran Nunukan.
"Koran bekas dulu saya ambil di sekolah. Kadang juga beli di pemulung tapi sekarang susah sudah dapatkan koran bekas. Untuk membuat tas keranjang saya olah dari gelas Aqua. Biasa ada di acara kawinan saya minta tolong dikumpulin," pungkasnya. (*)