Berita Nasional Terkini
Dampak Negatif Hidrometeorologi Ekstrim Bagi Petani dan Nelayan
Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami El Nino yang cukup kuat karena berbarengan dengan fenomena di Samudra Hindia
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Catatan sejarah, berbeda jika dibandingkan El Nino pada tahun 1997-1998.
Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami El Nino yang cukup kuat karena berbarengan dengan fenomena di Samudra Hindia.
Tetapi efeknya tidak berpengaruh signifikan pada pertanian.
“Efeknya pada pertanian tidak separah tahun 1991-1994, tapi kita mengalami kondisi yang lebih parah di sektor kehutanan karena kebakaran hutan,” ujar Akhmad Faqih, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FMIPA IPB, Rabu (24//11/2021).
Baca juga: Peringatan Dini Prakiraan Cuaca Balikpapan Rabu 24 November 2021, Sepanjang Hari akan Hujan
Baca juga: Fenomena La Nina Diprediksi Terjadi di Akhir 2021, BMKG Nunukan Imbau Warga Waspada Cuaca Ekstrem
Baca juga: CUACA EKSTREM Gelombang Panas Tewaskan 500 Warga Kanada Hanya dalam 5 Hari, Suhu Capai 49 Derajat
Kata dia, perubahan iklim telah memicu bencana hidrometeorologi ekstrim di sebagian besar wilayah Indonesia yang dapat memicu gagal panen hingga turunnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan.
Ia berujar perubahan iklim telah mempengaruhi setiap wilayah berpenghuni di seluruh dunia, dengan pengaruh manusia berkontribusi pada banyak perubahan kejadian cuaca dan iklim ekstrem.
“Kalo bicara Indonesia, bencananya sebagian besar bencana hidrometeorologi yang merupakan turunan dari curah hujan, baik itu yang ekstrim basah atau kering,” kata Faqih.
Dosen IPB itu mengatakan berbicara perubahan iklim akan berkiblat dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Baca juga: Waspada Cuaca Ekstrem Jumat 11 Juni 2021, Hujan Lebat dan Petir Bakal Terjadi di Kalimantan Timur
IPCC adalah lembaga yang melaporkan secara berkala perkembangan kondisi perubahan iklim lewat jurnal yang telah dikaji ribuan peneliti.
Berdasarkan kajian IPCC diawal tahun 2021, iklim dunia telah meningkat dimana manusia menjadi penyumbang kontribusi yang dominan dalam perubahan iklim.
Faqih mengatakan, bicara pertanian banyak hal yang memicu terjadinya kejadian gagal panen, baik dari sisi banjir dan kekeringan.
Walaupun kalau dari kajian IPCC, secara regional di Asia Tenggara ada kecendrungan ada yang meningkat dan menurun.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Bertahan Hingga Sepekan, BPBD Malinau Ingatkan Warga di Wilayah Berpotensi Banjir
Kalau melihat dari sejarah, bencana hidrometeorologi di Asia Tenggara disebabkan fenomena El Nino dan La Nina.
Misalnya dari faktor kekeringan dipengaruhi fenomena El Nino, dan ekstrim basah dipengaruhi La Nina seperti waktu belakangan.
Hal ini meningkatkan bencana hidrometeorologis di Indonesia.
“Kita mengalami kondisi La Nina tahun ini dan tahun lalu juga, yang itu cukup meningkatkan berbagai bencana hidrometeorologis yang ada di Indonesia. Banjir-banjir yang juga kita catat ada sebagian yang sebelumnya tidak ada,” ujarnya.
Baca juga: Waspada! Peringatan Dini BMKG Sabtu, 20 Februari 2021, 21 Wilayah Berpotensi Alami Cuaca Ekstrem
Faqih mengatakan, IPB pernah melakukan kajian terkait curah hujan di seluruh Indonesia.
Untuk kejadian El Nino atau kekeringan misalnya, setiap tahun Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda.
Sebagian contoh El Nino pada rentang waktu tahun 1991-1994, saat itu merupakan El Nino yang cukup lama dengan kategori yang lemah dan paling berpengaruh pada curah hujan di bagian selatan Indonesia, termasuk Jawa.
“Saat itu kita mengalami penurunan produksi hasil padi karena kekeringan yang lama,” katanya.
Berbeda jika dibandingkan El Nino pada tahun 1997-1998.
Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami El Nino yang cukup kuat karena berbarengan dengan fenomena di Samudra Hindia, tapi efeknya tidak berpengaruh signifikan pada pertanian.
“Efeknya pada pertanian tidak separah tahun 1991-1994, tapi kita mengalami kondisi yang lebih parah di sektor kehutanan karena kebakaran hutan,” ujarnya.
Saat ekstrim kering, tangkapan ikan menurutnya justru lebih banyak ketimbang saat ekstrim basah.
Ketika La Nina, karena ombak yang tinggi, nelayan lebih susah untuk melaut.
Faqih mengatakan setiap kejadian El Nino maupun La Nina memiliki karakteristik yang berbeda, tergantung bagaimana intensitasnya dan durasinya.
Dengan perubahan iklim, hal ini tentu menjadi ancaman yang semakin besar, baik itu di sektor pertanian maupun di sektor kelautan.
Pemanfaatan informasi ini bisa dimaksimalkan untuk memperkuat sektor yang satu dan lainnya.
Khususnya menjadi panduan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam menghadapi perubahan iklim.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Dosen IPB: Bencana Hidrometeorologi Ekstrim Picu Gagal Panen Hingga Turunnya Tangkapan Ikan