Berita Nasional Terkini
Setelah Tolak Perpanjangan Usia Pensiun TNI, Kini MK Larang Prajurit Aktif Jadi Pj Kepala Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang ada kaitannya dengan TNI, kini berkaitan dengan Pj Kepala Daerah
TRIBUNKALTIM.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang ada kaitannya dengan TNI.
Sebelumnya, MK menolak permohonan perpanjangan masa pensiun TNI, kini MK memutuskan melarang anggota TNI dan Polri aktif menjadi penjabat (Pj) kepala daerah.
Dengan demikian, bakal tidak ada lagi TNI maupun Polri aktif yang menjadi Pj Gubernur, hingga Wali Kota selama masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024.
Terkait itu, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut keputusan itu sudah ditempatkan pada proporsinya.
"Putusan itu sudah meluruskan dan menempatkan duduk masalah pada proporsinya. Karena beda ranah, meskipun sama sama masalah manajerial," kata Abdul dilansir dari Tribunnews.com berjudul Putusan MK Larang TNI-Polri Aktif Jadi Penjabat Gubernur hingga Wali Kota, Ini Kata Pengamat, Sabtu (23/4/2022).
Abdul menyebut TNI-Polri dasar penempatan posisi jabatan dan pengambilan keputusan itu dari pimpinan.
Baca juga: TNI AL Mulai Perketat Pengawasan Buntut dari Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng
Baca juga: Berkat Rekaman Drone Pengintai, TNI-Polri Temukan Lokasi KKB Papua, Diduga Tengah Buat Markas Baru
Baca juga: KRONOLOGI Puluhan KKB Papua vs 3 Prajurit Satgas Cartenz TNI-Polri, 29 Peluru Bersarang di Mobil
"Sedangkan pimpinan Pemerintahan Daerah (Gubernur, Bupati, Wali Kota dan sebagainya) dilakukan secara demokratis melalui Pemilu," ungkapnya.
Maka menurutnya, putusan MK itu sudah sesuai dengan koridor yang ada.
"Sehingga pengisian pejabatnya pun harus diisi oleh pejabat-pejabat hasil pemilihan," jelasnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review UU Pilkada.
Keputusan itu diantaranya tidak memperbolehkan anggota TNI-Polri aktif menjadi penjabat (Pj) Gubernur hingga Wali Kota selama masa transisi menuju Pilkada Serentak 2024.
Prajurit TNI dan anggota Polri diperbolehkan menjabat jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari instansinya.
Meski begitu, MK memberikan sejumlah syarat bagi pemerintah menunjuk penjabat kepala daerah.
Diantaranya pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/20.
Sementara itu, Ketua Fraksi Gerindra DPR RI Ahmad Muzani mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait anggota TNI Polri aktif tidak memungkinkan menjabat sebagai penjabat (Pj) gubernur.
Baca juga: Pernyataan Panglima TNI Jadi Patokan, Kolonel Inf Priyanto Terlepas dari Jerat Hukuman Mati
Menurut Muzani, pernyataan presiden itu sebagai bentuk komitmen pemerintah terhadap semangat reformasi.
"Saya kira pernyataan itu sebagai komitmen Presiden Jokowi dalam menjaga semangat dan amanah dari reformasi. Dimana TNI Polri tidak lagi diperkenankan terlibat dalam politik praktis. Jadi menurut saya itu adalah sebuah langkah maju bagi demokrasi Indonesia," kata Muzani dalam keterangannya, Jumat (21/1/2022).
Jabatan kepala daerah merupakan jabatan politik.
Oleh sebab itu, kata Muzani, keputusan presiden melarang anggota TNI Polri aktif menjadi Pj Gubernur patut diapresiasi.
Karena itu merupakan sebuah keputusan baik untuk menjaga integritas dan netralitas seorang perwira TNI maupun Polri.
"Keputusan presiden ini juga patut diapresiasi. Karena presiden tahu apabila Pj dijabat oleh TNI Polri, maka itu resisten terhadap keterlibatan dalam politik praktis. Tapi, dengan keputusan ini presiden menjamin adanya netralitas dan integritas di tubuh TNI Polri," kata Sekjen Partai Gerindra itu.
Menurut Muzani Indonesia sebagai negara demokratis menjunjung tinggi supermasi sipil.
Supremasi sipil tersebut sangat berkaitan dengan prinsip dasar demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
"Oleh karena itu Indonesia sebagai negara demokrasi harus berprinsip pada supermasi sipil. Angkatan bersenjata juga harus di bawah kontrol demokrasi, yang intinya adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi," kata Muzani.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa anggota TNI/Polri aktif tidak memungkinkan menjabat Pj gubernur karena aturan dasar dari UU Pilkada tidak memungkinkan.
Baca juga: SIASAT Cerdas TNI Lenyapkan Sniper Handal KKB Papua, Bermula dari Ritual Adat Teroris Sukses Dibunuh
Penunjukkan Penjabat (Pj) gubernur merupakan agenda pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Pejabat TNI-Polri aktif tidak mungkin menjadi penjabat kepala daerah tingkat I (Gubernur), UU-nya tidak memungkinkan," ungkap Presiden Jokowi pada pertemuan dengan beberapa pemimpin redaksi media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/1/2021).
Terpisah, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, sebaiknya yang menjadi penjabat (Pj) kepala daerah bagi gubernur/wali kota yang masa jabatannya habis pada 2022-2023 adalah sekretaris daerah (sekda).
Hal itu, kata dia, bisa dilakukan apabila pemerintah tetap tidak ingin menggunakan opsi menormalkan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke tahun 2022-2023.
"Pilihan yang lebih kondusif ya sudah di setiap daerah itu kan kalau provinsi sekda itu JPT madya atau jabatan pimpinan tinggi madya," kata Titi dalam diskusi daring, Selasa (12/10/2021).
"Kalau di kabupaten/kota sekda itu jabatan pimpinan tinggi pratama. Mereka saja yang langsung menjadi penjabat kepala daerah," kata dia.
Menurut Titi, apabila masih khawatir sekda akan menimbulkan konflik kepentingan di Pilkada, baiknya yang dilakukan adalah memperkuat pengawasan, baik dari pemerintah pusat, Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ombudsman, dan perangkat negara lainnya.
"Jadi pengawasan yang optimal dan proporsional dari pemerintah," ujar dia.
Menurut dia, apabila TNI/Polri menjadi Pj kepala daerah, akan menggoda mereka masuk dalam ekses atau hal yang melampaui batas secara lebih luas.
"Penjabat kepala daerah TNI/Polri aktif bisa jadi kotak pandora membuka, kotak pandora yang menggoda pada ekses yang lebih luas," ujar dia.
Baca juga: BERMULA dari Ritual Adat, Sniper KKB Papua Sukses Dibantai, Tengok Siasat Cerdas TNI Buru Teroris
Titi mengatakan, memberikan toleransi dan upaya memberi legitimasi lebih besar pada keterlibatan TNI/Polri di politik dengan argumen kompetensi, kapasitas, profesional dan lain-lain harus dihindari.
Ia mengatakan, penghindaran tersebut merupakan bagian dari amanat dari reformasi, terutama terkait dwifungsi TNI/Polri.
"Bukan kita ingin mendelegitimasi peran TNI/Polri. Peran TNI/Polri sangat legitimate di bidang pertahanan, pengayoman, masyarakat dan penegakan hukum," ujar dia.
"Oleh karena itu, karena legitimasinya ada di sana. Jangan kemudian membuka kotak pandora untuk menarik-narik mereka, menggoda mereka untuk memberikan misalnya toleransi atau perlakuan yang lebih permisif pada ekses politik praktis," kata dia.
Titi menegaskan, hal ini bukan menjadi keraguan pada legitimasi peran TNI/Polri, tetapi justru sebagai penghormatan dan menjaga muruah TNI/Polri sebagai penjaga pertahanan, pengayoman dan penegakan hukum di masyarakat. (*)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.