Breaking News

Berita Balikpapan Terkini

Serikat Pekerja Mathilda Beri Kritik Subholding Pertamina Setelah 2 Tahun Berjalan

Pembentukan Perusahaan Sub Holding Pertamina dianggap tak memberikan dampak yang cukup signifikan meski sudah berjalan dua tahun.

Penulis: Ardiana | Editor: Aris
Tribun Kaltim/Niken
Pengamat Ekonomi/ Kebijakan Publik, Ichsanuddin Noorsy komentari soal Pembentukan Perusahaan Sub Holding Pertamina dianggap tak memberikan dampak yang cukup signifikan meski sudah berjalan dua tahun. (Tribun Kaltim/Niken) 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Pembentukan Perusahaan Sub Holding Pertamina dianggap tak memberikan dampak yang cukup signifikan meski sudah berjalan dua tahun.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Serikat Pekerja Mathilda Kalimantan, Mugiyanto. Minggu, (24/7/2022).

Ia mengatakan bisnis inti Pertamina saat ini sudah tidak ada, semenjak Pertamina membentuk enam perusahaan sub holding, pada 2020 lalu.

Diantaranya adalah Subholding Upstream, Subholding Refining dan Petrochemical, Subholding Commercial and Trading, Subholding Gas, Subholding Integrated Marine Logistics, dan Subholding Power and New Renewable Energy.

Baca juga: Dirawat di RS Pertamina, Korban Laka Laut di Mentawir PPU Alami Luka Bakar Hingga Dislokasi Bahu

Mugiyanto menyebut, Sejak membentuk perusahaan sub holding, Pertamina Persero hanya berstatus sebagai perusahaan portofolio semata.

“Bisnis inti sekarang tidak ada. Sekarang jadi sub holding punya entitas sendiri. Usaha operasional diserahkan ke sub holding. Ada enam sub holding,” jelas Mugiyanto di sela seminar Kilas Balik Pembentukan Sub Holding Pertamina dalam rangka HUT SP Mathilda ke-21, di gedung Banua Patra, Balikpapan Sabtu (23/7/2022) kemarin.

Ia menambahkan kondisi ini membuat peran Pertamina sebagai kepanjagan tangan negara jadi terdegradasi. Pertamina dinilai tak bisa lagi menjalankan perannya dalam pengelolaan energi untuk menjamin ketersediaan energi nasional.

“Karena sub holding ini akan mencari keuntungan masing-masing, sehingga Perpres 91 tahun 2014, yang mengatur distribusi harga BBM tidak bisa lagi dilakukan sebab sub holding ini statusnya perusahaan swasta,”tambahnya.

Baca juga: Ramaikan Desa Sekerat Selama Sepekan, Festival Sekerat Nusantara Resmi Ditutup

Lebih lanjut, ia menduga ada misi tersendiri dari Kementerian BUMN di balik perusahaan-perusahaan sub holding tersebut. Sehingga dalam seminar kemarin, SP Mathilda juga mengundang Direktur Keuangan Pertamina.

”Kami ingin transparan, golnya (subholding) ini apa? Ini sudah dua tahun berjalan. Kami akan evalusi dan ternyata dampaknya tidak semakin baik,” ucapnya.

Salah satu isu yang dia sorot adalah harga BBM yang tidak terkendali karena diserahkan kepada mekanisme pasar. Ia pun mempertanyakan siapa pihak yang paling diuntungkan dalam kebijakan ini.

“Apakah ini untuk memperkuat BUMN? Saya rasa tidak. Apakah ini ada pesanan oligarki? Itu yang  jadi tanda tanya besar,” ungkapnya.

Baca juga: Disnakertrans Paser Verifikasi Data Puluhan Serikat Pekerja Perusahaan Batubara dan Perkebunan

Mengenai hal tersebut, Pengamat Ekonomi/ Kebijakan Publik, Ichsanuddin Noorsy menilai pembentukan sub holding oleh Kementerian BUMN merupakan model liberalisasi. Terutama liberalisasi pada BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak.

“Asal muasal pada pendekatan komoditas atau sektor. Lalu itu tidak cukup, ternyata BUMN-BUMN itu tetap menguasai, contoh saja Pertamina masih menguasai SPBU. Bagi mereka melawan market leader SPBU (Pertamina) ini berat. Nah kemudian masuk pada kelembagaan dan keuangan tujuan tetap sama yakni liberalisasi,” jelas Noorsyi, yang menjadi salah satu pembicara pada seminar tersebut.

Baca juga: Laka Laut Kapal Tugboat Blue Dragon 12 di Mentawir PPU, Dipicu Ledakan dari Lambung Tengah

Soal libelarisasi ini, sejatinya tak hanya dialami Pertamina, namun BUMN lain, salah satunya adalah PLN.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved