Breaking News

Wawancara Eksklusif

Strategi Kepala BKKBN Kejar Terget 14 Persen Angka Stunting di 2024, Pakai Aplikasi dan Ubah Mindset

BKKBN telah membangun infrastruktur dari tingkat pusat hingga daerah untuk menurunkan angka stunting sejak tahun 2022 lalu.

Editor: Adhinata Kusuma
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menjadi narasumber pada wawancara khusus dengan Tribun Network di Kantor BKKBN, Jakarta Timur, Kamis (19/1/2023) 

TRIBUNKALTIM.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para kepala daerah untuk menekan angka gagal tumbuh pada anak atau stunting di daerahnya masing-masing.

Hal tersebut penting mengingat Indonesia akan memiliki bonus demografi yang puncaknya pada tahun 2030-2035 sehingga pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus terus dioptimalkan.

Presiden menyampaikan itu saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia Tahun 2023, di Sentul International Convention Centre (SICC), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa lalu.

Kepala Negara mengungkapkan, angka stunting nasional terus mengalami penurunan dari 37 persen pada tahun 2014 menjadi 24 persen pada tahun 2021 dan pada tahun 2022 diperkirakan berada di angka 21 persen.

Meski sudah turun drastis, Presiden menargetkan prevalensi stunting mampu ditekan hingga berada di bawah 14 persen di tahun 2024.

Presiden Jokowi pun mendorong para kepala daerah untuk memanfaatkan teknologi dan platform aplikasi dalam memantau stunting di daerahnya.

Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr.(HC). dr. Hasto Wardoyo, SP.OG. mengatakan, pihaknya terus melakukan berupaya secara besar-besaran dalam menurunkan angka stunting di Tanah Air. Termasuk, menyiapkan langkah-langkah strategis dan terukur dalam melakukan tindakan di lapangan.

Pasalnya, arahan Presiden Jokowi meminta agar angka stunting bisa di 14 persen pada tahun 2024 mendatang.

Hasto menyebut, bahwa pihaknya telah membangun infrastruktur dari tingkat pusat hingga daerah untuk menurunkan angka stunting sejak tahun 2022 lalu.

Tak hanya itu, dia mengatakan telah membentuk tim khusus yang bekerja untuk mempercepat angka penurunan stunting di Indonesia. Mulai tingkat pusat yang dikomandoi oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin hingga tingkat desa yang dikomandoi oleh kepala daerah atau kepala desa setempat.

Hal itu diungkapkan Hasto saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberiraan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor BKKBN, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (19/1).

"Kita bentuk ada tim percepatan penurunan stunting di pusat, diketuai Tim pengarahnya Pak Wakil Presiden, Ketua Pelaksana saya, kemudian ada wakil ketua pelaksana dari Kementerian lembaga. Kemudian di daerah itu ada kepala daerah sebagai ketua pengarah, wakil kepala daerah sebagai ketua pelaksana. Kemudian sampai di tingkat Desa, clear sampai hari ini di tingkat Desa pun sudah 97 persen terbentuk tim itu," kata Hasto.

Mantan Bupati Kulon Progo ini juga membeberkan sejumlah wilayah di Tanah Air yang menunjukan progres penurunan angka stunting. Yakni, berada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera hingga Bali.

Namun demikian, Hasto menyadari jika ada sejumlah daerah yang masih kesulitan untuk menurunkan angka stunting. Yakni, daerah-daerah yang berada di Indonesia bagian Timur.

Pria kelahiran 30 Juli 1964 ini juga menjelaskan soal aplikasi Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) yang digunakan guna mendata angka stunting.

Di mana, aplikasi itu digunakan guna mensetralisasi angka stunting secara nasional guna melakukan evaluasi kinerja menekan penurunan stunting.

Selain itu, Hasto mengatakan bahwa tugas yang tak kalang penting dilakukan oleh jajajarnnya di BKKBN adalah mengubah cara berfikir atau mindset masyarakat. karena, pihaknya menemukan bahwa masyarakat tidak begitu peduli terkait asupan makanan bagi ibu hamil serta bayi yang baru lahir.

Berikut paparan langkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo terkait kinerja Lembaganya dalam menekan penurunan angka stunting saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra :

Saya mendapat cerita, bagaimana progres dari penanganan stunting, seperti yang juga disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu yang lalu di Sentul, bahwa beliau bertekat dan memerintahkan supaya jajaran pemerintah tentu saja BKKBN untuk bisa mencapai target (14 persen di 2024) itu?

Jadi Pak Presiden sudah mengamanahkan Perpres, Perpresnya no 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Nah sejak Perpres itu dibuat, kemudian kami BKKBN sebagai koordinator membuat namanya rencana aksi percepatan penurunan stunting.

Kemudian setelah itu, kita bentuk infrastrukturnya dari pusat hingga daerah dalam hal ini katakanlah struktur dari organisasi manajemen untuk percepatan penurunan stunting itu. Kita bentuk ada Tim Percepatan Penurunan Stunting di pusat, diketuai tim pengarahnya Pak Wakil Presiden, ketua pelaksana saya, kemudian ada Wakil Ketua Pelaksana dari Kementerian/Lembaga. Kemudian di daerah itu ada kepala daerah sebagai ketua pengarah, wakil kepala daerah sebagai ketua pelaksana. Kemudian sampai di tingkat Desa, clear sampai hari ini di tingkat Desa pun sudah 97 persen terbentuk tim itu.

Nah, itulah progres yang dilakukan di Tahun 2022. Nah sambil jalan di tahun 2022 ini tentu program-program berjalan Jadi gerakan dari Bupati, Walikota untuk mendata menggerakan penimbangan harus lebih banyak lagi yang datang, supaya balita terukur dengan baik.

Kemudian alat-alat ukur yang tidak sesuai kemudian dibenahi karena ini menyangkut masalah ukuran, jadi supaya mendapat ukuran, potret yang tepat, supaya tidak salah diagnosis, salah ukur, maka alat ini harus dilengkapi juga dari Kementerian Kesehatan ini juga sudah membelanjakan alat ukur untuk antropometri.

Sehingga di tahun 2023 ini relatif sudah tinggal di berjalan karena sebagian besar keperluan dan infrastruktur meski belum 100 persen, tetapi sudah luar biasa.

Meskipun angka pastinya belum keluar pasti, Pak Hasto bisa cerita daerah mana yang patut diapresiasi karena capaiannya sudah optimal, dan daerah mana yang perlu meningkatkan lagi supaya target di tahun 2024 datang, secara nasional tercapai?

Ya kalau lihat misalkan di Sumatera seperti daerah Sumatera Selatan ini bisa menjadi bagian dari pilot project, dari Sumatera Selatan gerakan-gerakan misalnya penurunan di beberapa daerah lumayan. Nanti kita lihat sebentar lagi angka akan kita keluarkan nanti kita lihat.

Di Jawa ini rata-rata, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah ini semua mengalami suatu penurunan angka stunting. Jadi provinsi yang ada di pulau Jawa ini mayoritas mengalami penurunan yang signifikan juga untuk stuntingnya.

Sehingga secara nasional itu mudah-mudahan pulau Jawa dan di beberapa luar Jawa penduduk besar bisa membandul, sehingga kita berharap penurunannya cukup signifikan ketika di Pulau Jawa ini menurun.

Tetapi memang kalau kita bicara di daerah-daerah yang agak perifer seperti katakanlah Papua, kemudian di daerah NTT, termasuk NTB dan di daerah Sulawesi yang sebagian besar agak sulit. Seperti Sulawesi Barat itu daerah-daerah yang memang masih berat, angkanya masih bisa jadi naik.

Pak Hasto, tadi disebutkan ada beberapa daerah yang angkat stantingnya dari awal sudah rendah seperti di Provinsi Bali. Bagaimana ceritanya?

Ya kita tahu stunting ini banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor yang mempengaruhi adalah faktor sensitif. Faktor sensitif itu ada lingkungan, tempat tinggalnya, air bersih, jambannya. Sedangkan kalau faktor spesifiknya itu gizinya, sehatnya badan sakit atau tidak.

Nah, daerah-daerah katakanlah Bali, Yogyakarta, DKI ini kan stuntingnya cenderung rendah. Karena memang secara umum lingkungannya Bali, lingkungannya mayoritas sarana air bersihnya ada, kemudian rumahnya kumuh praktis tidak banyak, kemudian juga katakanlah jamban di Bali di daerah turis sudah hampir tidak ada.

Bisa dibayangkan jika dibandingkan dengan daerah tertentu di luar Jawa yang masih BAB di sungai. Di Jawa saja masih ada daerah yang BAB di sungai. Ini kan beda sekali. Sehingga faktor penyebabnya seperti itu.

Pak Hasto, sebenarnya apakah benar pemantauan angka stunting itu bisa dilakukan lewat aplikasi tertentu?

Iya saya kira aplikasi itu bisa macam-macam intinya kan. Kita ini mau memantau harus ada datanya yang masuk, apa saja kan bisa dipantau dengan aplikasi. Jadi itu hanya bagaimana sistem penyelenggaraan pemerintahan secara elektronik, ada istilah SPBE, misalkan kita ingin memantau rumah tangga.

Kalau BKKBN ini memantau rumah tangga, siapa anaknya, berapa jaraknya, berapa umurnya, berapa kan semuanya bisa terpantau. Sehingga ketika penimbangan di Posyandu itu dijalankan dengan baik tertib.

Kemudian diukur dengan benar, kemudian yang datang banyak dan datanya diinput di dalam aplikasi tentu itu menjadi potret, sehingga kita bisa tahu, siapa, di mana, yang berat badannya tidak naik, panjang badannya tidak naik.

Kalau misalkan saya memantau satu wilayah hari ini, bulan ini dikasih penimbangan semua kan secara otomatis, secara saya sebagai kepala wilayah bisa melihat dong ini saya punya warga di desa A ternyata beratnya naik atau tidak naik, saya rasa sangat bisa.

Pak, apa benar yang sudah menerapkan menggunakan aplikasi itu baru Kabupaten Sumedang, atau memang ada di daerah-daerah lain. Sepengetahuan dari Pak Hasto?

Kan secara nasional sudah ada namanya E-PPGBM, jadi E-PPGBM itu aplikasi Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat. Nah ini secara nasional sudah ada, dan Kemenkes setiap tahun mengumpulkan data lewat E-PPGBM. Karena, Posyandu diharapkan berjalan tiap bulan ada penimbangan. Hasil penimbangan di input ke E-PPGBM ini. Kemudian data E-PPGBM ini secara nasional tesentralisasi juga. Sehingga menjadi evaluasi.

Sebetulnya sudah ada aplikasi secara nasional ada sistemnya. Kemudian daerah-daerah juga banyak yang sudah punya aplikasi sendiri-sendiri. Saya kira Sumedang serius dengan satu aplikasi dan barangkali dikerjakan betul dalam arti tertib aplikasinya, ada kadernya, dilatih mengisi aplikasi input datanya dan dikontrol betul-betul.

Sumedang ceritanya Bupati, angka stunting turun, harus disertai dengan SDM yang juga dilatih dan juga disiplin untuk input data.

Pak, kalau kita mau mencapai target 14 persen, krusial poinnya sebenarnya di mana untuk mencapai itu. Apa yang paling krusial?

Sebetulnya yang paling krusial itu perubahan perilaku. Karena, masyarakat ini kan punya pola makan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan pola makannya yang benar menurut kesehatan. Sehingga ada yang makan itu karbohidrat semua, beli mie, kemudian mienya dipakai untuk lauk makan nasi, ditambah kerupuk lagi, semua karbohidrat, itu contohnya.

Mereka juga ada di daerah-daerah yang banyak menghasilkan ikan, malah ikannya dijual untuk beli mie. Kan salah juga. Kemudian lingkungan sangat berpengaruh jadi maksud saya misalkan ada orang yang lingkungannya BAB nya sungai. Orang BAB di sungai ini kan mengeluarkan bakteri namanya ecoli nah bakteri ini membuat diare. Anak kecil balita ini kalau dikasih makanan dan sebaik apapun kalau diare kan otomatis berat badannya tidak naik-naik, panjangnya tidak naik-naik.

Ada juga orang yang rumahnya itu tidak diperhatikan kumuh, jendelanya tidak diperhitungkan, lantainya kotor, berjubel begitu, ini kan TBC datang. TBC membuat anak itu sakit-sakitan, meskipun diberikan makanannya hebat-hebat kalau sakit-sakitan, gimana.

Jadi makannya pola makan, kemudian perilaku hidup sehat itu menjadi contoh sederhana juga, mindset ini ya orang itu kalau mau nikah itu yang dipikirkan apa bagaimana nanti kalau hamil sehat atau yang dipikirkan prewedding? Prewedding yang dipikirkan. Bukan prekonsepsi. Yang dipikirkan preweding, foto disana, disini.

Kenapa tidak periksa laboratorium ke dokter, padahal ada uangnya dan sebabnya bukan hanya karena tidak punya uang tetapi perilaku penting.

Pak Hasto, kalau dilihat dari faktor mana yang lebih penting, faktor ketika ibu hamil atau pasca itu yang mempengaruhi adanya stunting?

Mencegah itu lebih penting. Sebelum hamil, jadi orang mau hamil itu harus sehat. Kalau orang tidak sehat terus hamil berat juga. Jadi makanya kalau mau memanage itu di hulunya. Jadi orang sebelum hamil kemudian hamil.

Makannya program BKKBN kan supaya yang mau menikah, 3 bulan sebelumnya diperiksa dulu.

Apa yang harus diperiksakan Pak?

Yaa HB, lingkar lengan atas, berat badan, tinggi badan, minimal itu. Jadi kalau perempuan terlalu kurus lingkarannya kurang dari 23,5 cm otomatis kalau hamil kan anaknya beresiko stunting.

Itu berpengaruh ya Pak?

Sangat, kena anemi, HB nya kurang, hamilnya stunting. Perempuan-perempuan banyak juga yang kurang vitamin D, jadi akhirnya kalau hamil plasentanya tipis akhirnya stunting. Tetapi mereka semua itu tidak berpikir bagaimana persiapan hamil, kita kan pengetahuannya kurang.

Pak, setelah hamil melahirkan tadi Bapak ceritakan soal asupan lingkungannya. Kalau dilihat persentase mana yang paling besar berpengaruh, pra menikah, lalu kemudian hamil atau pascamelahirkan?

Secara umum tadi saya bicara dua faktor, faktor lingkungan yang disebut dengan faktor sensitif dan faktor hubungannya dengan hamil sakit gizi spesifik. Faktor spesifik ini 30 persen dan faktor sensitif itu 70 persen.

Jadi misalkan suatu masyarakat lingkungannya itu diperbaiki sebaik-baiknya airnya semuanya air bersih, rumahnya semuanya rumah sehat, kemudian bab-nya di jamban yang bagus, kemudian dikasih makan yang baik ini, maka faktor yang masalah lingkungan tadi 70 persen yang ini 30 persen kira-kira seperti itu.

Jadi bisa dibayangkan ini saling mempengaruhi, disediakan makanan yang bagus-bagus tetapi lingkungannya membuat sakit-sakitan. Kemudian tidak imunisasi ya sama saja. Gambarannya seperti itu dan kalau kita melihat angka boleh.

Di Indonesia riset kesehatan Dasar tahun 2018 bayi-bayi yang lahir sebelum waktunya itu sekitar 29 persen prematur jadi otomatis kalau prematur itu sama dengan lahir belum jadi, otomatis ini menjadi potensi untuk gangguan pertumbuhannya yang panjang badannya kurang dari 48 cm lahir itu. Jadi agak pendek gitu kan 22,6 persen berarti itu sudah berkontribusi begitu lahir saja sudah kurang standar itu sudah segitu.

Pak Apa Bapak bisa cerita proses yang sudah dilakukan BKKBN sebagai fronline untuk mengurangi stunting ini wujudnya seperti apa?

Ya BKKBN tadi sudah saya cerita di depan, bahwa kita membuat infrastruktur sampai ke tingkat daerah itu kan kita dan BKKBN merekrut tim pendamping keluarga sebanyak 600.000 orang. Itu supaya mendampingi keluarga yang mau menikah, kemudian yang hamil kemudian yang melahirkan.

Di desa-desa itu sudah ada tim pendamping keluarga, jadi kalau ada yang mau menikah itu ada tim pendamping keluarga yang mendorong untuk kamu melakukan pemeriksaan, karena itu penting nanti kalau dia sudah hamil ada tim yang mendorong untuk segera periksa kehamilan dan nanti bayinya untuk di USG. Karena itu harus ada tim provokatornya. Nah itu peran BKKBN.

Karena BKKBN itu markomnya merubah mindset. Kalau dulu BKKBN itu kampanyenya ayo 'dua anak cukup' seluruh Indonesia. Nah kalau sekarang kampanyenya 'ayo anaknya harus sehat' kalau mau hamil harus direncanakan.

Dan BKKBN juga merekrut generasi muda namanya Genre, generasi berencana. Itu satu Desa kita rekrut 2 orang jadi seluruh Indonesia. Ada anak-anak muda yang bisa menjadi duta Genre, generasi berencana. Jadi kalau orang-orang tua seperti saya ini ngomong dengan remaja kan sering kehabisan kosakata. Tetapi kalau yang ngomong sesama remaja itu teman sebaya kan itu bagus.

Kalau saya bilang, eh jangan kawin usia muda ya kawinnya paling cepat usia 20 tahunan. Tetapi kawinnya jangan tua-tua loh, perempuan jomblonya jangan lama-lama. Perempuan kalau udah lebih dari 35 tahun, kan hasilnya tidak bagus bayinya beresiko juga.

Kalau yang ngomong teman sebaya kan lebih enak makanya kita terus membentuk Duta Genre itu.

Program penurunan stamping ini output kolaborasi dengan kepala daerah ada tidak krusial point Ketika Harus berkoordinasi dengan kepala daerah karena bapak juga pernah jadi kepala daerah. Ada tidak Pak krusial poinnya atau hambatannya?

Dulu ada komitmen kepala daerah itu masih bervariasi, tetapi semenjak ada peraturan presiden ini komitmen itu menjadi pilar pertama bahwa semua komitmennya sama.

Dulu kalau nyanyi tentang stunting itu antara kepala satu dengan kepala daerah lain sesuai dengan animonya dan komitmennya berbeda-beda, tetapi kalau sekarang sudah harus sama.

Karena stunting sudah menjadi indikator keberhasilan kepala daerah dan sekarang sudah bisa kita syukuri itu dibandingkan dulu.

Tetapi yang menjadi tantangan sekarang adalah masalah keuangan daerah karena urusan untuk memberi makan kepada ibu hamil kepada bayi balita itu kan sebetulnya urusan dasar wajib dasar yang urusan kesehatan, urusan kelaparan ini kan praktis urusan yang dikerjakan oleh Bupati Walikota. Nah anggaran yang dari pusat tidak serta-merta harus memenuhkan semua kebutuhan yang ada di daerah.

Sementara di daerah tantangannya diminta untuk infrastruktur pembangunannya yang kelihatan sehingga kalau rapat di DPR antara anggaran untuk beli makan untuk pencegahan stunting atau bangun jalan, kadang-kadang rakyat merasa butuh jalan itu karena jalan itu dirasakan. Tetapi kalau ini uangnya dipakai untuk stunting masyarakat belum tentu ini yang menjadi tantangan.

Tadi kita rapat dengan kepala daerah, ada kepala daerah yang ruang fiskalnya itu cukup rendah ya merasa memang ini bagaimana ya untuk memberi makan tambahan uangnya dari mana. Karena sudah habis dipakai untuk keperluan-keperluan lain. Sebelum ini digerakkan secara serius mungkin keperluan untuk stunting nomor kesekian. (Tribun Network/ Yuda/Bagian 1/Bersambung)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved