Kebebasan Pers di Era Disrupsi Digital

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi sangat menjunjung tinggi adanya kebebasan berpendapat.

HO/DOKUMENTASI PRIBADI
Fhierly Shaqirah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 

Oleh: Fhierly Shaqirah

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

 

INDONESIA adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi tentunya sangat menjunjung tinggi adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu hak dasar yang dapat menjadi tiang dari demokrasi. Adanya kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat, dimana kebebasan pers juga menjadi salah satu pilar utama dalam negara demokrasi.

Kebebasan pers artinya bebas dalam mendirikan usaha penerbitan maupun peyiaran, kerja jurnalistik dalam mendapatkan akses informasi, kebebasan editorial, maupun jaminan hak-hak jurnalis. Namun, disini kebebasan pers bukan berarti pers dapat semena-mena dalam hal penyampaian informasi. Kebebasan pers harus juga disertai dengan tanggung jawab sosial, karena Informasi atau berita yang dikeluarkan oleh pers tentunya dapat langsung dikonsumsi oleh public dan dapat mempengaruhi pemikiran public secara langsung. Sehingga, pers harus memiliki tanggung jawab yang besar dalam setiap informasi dan pemberitaan yang dikeluarkan.

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sudah menjadi kewajiban untuk menegakkan adanya kebebasan pers yang dapat menjadi cerminan ideal dalam negara demokrasi. Karena, melalui kebebasan pers Masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa. Salah satunya adanya transaparansi dari kinerja pemerintah sehingga, adanya mekanisme check and balance dan kontrol terhadap kekuasan dari Masyarakat dengan melalui pers.

Kebebasan pers seiring berjalannya waktu pun mengalami berbagai dinamika, apalagi dewasa ini yang memasuki era disrupsi digital. Disrupsi digital sendiri merupakan perubahan secara signifikan dalam berbagai aspek kehidupan akibat adanya teknologi digital yang semakin canggih. Tak terkecuali era ini mempengaruhi dalam dunia pers.

Masifnya perkembangan teknologi saat ini mengakibatkan pola akses dan konsumsi informasi di Masyarakat pun mengalami perubahan. Contohnya, saat ini media-media konvensional sudah banyak yang berlaih ke media digital. Masyarakat sekarang lebih memilih untuk menerima dan mencari informasi melalui platform media daring dan jejaring sosial seperti, Instagram, tiktok, youtube dan sebagainya, dibandingkan dengan media konvensional seperti koran.

Berkembangnya media informasi di era disrupsi digital pun membawa kekhawatiran sendiri bagi dunia pers, yang dimana kejahatan dalam dunia digital semakin marak terjadi. Kejahatan tersebut biasanya menyasar pada aktivis maupun jurnalis yang kritis terhadap rezim pemerintahan. Serangan tersebut berupa peretasan maupun penutupan dan pembatasan akses informasi di media digital.

Dalam laporan Global cybersecurity index 2020, Indonesia menduduki posisi ke-24 dari 182 negara. Hal ini sangat jauh dari kata aman, yang mana Indonesia masih sangat rentan mendapatkan serangan digital. Dewasa ini pun banyak media-media digital yang diretas akibat pemberitaanya yang mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti tahun 2022 lalu terjadi serangan siber terbesar dalam Sejarah dunia pers di Indonesia.

Serangan tersebut ditujukan pada media Narasi milik Najwa Shihab dengan 31 orang karyawan narasi dan 7 orang eks karyawan narasi mengalami peretasan. Bukan hanya akun pribadi awak media yang mengalami peretasan namun situs berita narasi pun sempat diserang. Media lain yang kritis terhadap rezim kekuasaan seperti Tempo.co pun pernah mengalami peretasan oleh oknum yang tidak diketahui, seperti yang baru ini terjadi media Tempo di hack setelah memberitakan terkait penangkapan Ferdy sambo, dan masih banyak  lagi contoh kasus lain yang mengalami penyerangan siber.

Serangan siber semakin meluas dan kerap kali menyasar Jurnalis, akademisi, aktivis atau pembela HAM, dan sebagainya. Bentuk penyerangan digital yang dilakukan seperti hacking, doxing, dan spionase, menandakan masih lemahnya keamanan digital saat ini. Oleh sebab itu, pers masih mudah disusupi dan dikendalikan oleh oknum untuk membungkam kebebasan berpendapat melalui pers.

Semakin kompleksnya pembungkaman pers di era disrupsi yang kerap kali menyasar pada media massa atau jurnalis, mencerminkan masih cacatnya kebebasan pers di Indonesia yang mana hal ini dapat sangat mengganggu jalannya demokrasi.

Berbagai bentuk pelemahan pers di ranah digital menjadi tantangan tersendiri bagi kebebasan pers. Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya mampu menjamin hak asasi manusia dalam hal ini yaitu mendukung kebebasan pers dengan membuat payung hukum yang dapat menjamin kebebasan pers dan perlindungan bagi media atau pers di Indonesia. Karena regulasi yang ada sekarang masih belum mampu mengakomodir untuk melindungi media atau pun pers. Hal ini dibuktikan masih banyak jurnalis maupun aktivis yang dipenjarakan mengguakan pasal karet dalam UU ITE, yang menjadikan Masyarakat semakin takut untuk berpendapat dan berkekpresi.

Tak selalu buruk, era disrupsi digital juga membawa keuntungan bagi Indonesia, dimana semakin canggih teknologi memudahkan Masyarakat untuk membaca berita di mana dan kapan saja melalui media online. Bukan hanya itu, kekuatan media online saat ini mampu menggerakkan publik untuk mempopulerkan sebuah permasalahan atau kasus sehingga dapat di usut tuntas oleh pihak berwajib.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Maraknya Fenomena Sound Horeg

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved