Wacana Buaya Riska Balik ke Bontang
Alasan DPRD Tolak Buaya Riska Dikembalikan ke Kota Bontang
Untuk penangkaran di aturan pada Peraturan Menteri KLHK P19 Tahun 2013. Kemudian untuk Konservasi, di aturan dalam Permen KLHK Nomor 22.
Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bontang melalui Komisi I, Muhammad Irfan, dengan tegas menolak Buaya Riska dikembalikan lagi ke Bontang, Kalimantan Timur.
Menurut Anggota Komisi I DPRD Bontang ini, urusan Buaya Riska sudah selesai.
Pemerintah tidak perlu menghabiskan energi hanya mengurus satu ekor predator air tersebut.
Pasalnya, untuk membawa pulang buaya itu hanya ada dua pilihan yang ditawarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, sebagai lembaga yang berkewenangan memberikan izin. Penangkaran atau membentuk kawasan konservasi.
Baca juga: Jika Buaya Riska Dipulangkan, BKSDA Kaltim Tegaskan 40 Buaya Asal Bontang juga Harus Diangkut
Sementara, ia memperkirakan anggaran yang harus digelontorkan pemerintah untuk dua hal tersebut pastinya tidak sedikit.
DPRD Bontang Menilai Buaya Riska tak Sebanding
Tidak sebanding dengan dampak ekonomi yang digaungkan, dari sisi potensi wisata baru.
Di Bontang dulu ada kebun binatang yang di kelola PKT, dengan beragam jenis hewan.
"Tapi buktinya tidak berkembang. Dampak ekonominya, saya anggap minim," kata Irfan kepada Tribunkaltim.co, Rabu (14/11/2023).
Baca juga: BREAKING NEWS: DPRD, Pemkot Bontang dan BKSDA Kaltim Bahas Wacana Buaya Riska Balik ke Habitatnya
Selain itu, Irfan mengimbau, Buaya Riska tidak akan semenarik saat berada di alam liar. Meski pilihannya adalah kawasan konservasi.
Lantaran dalam penjelasan BKSDA, kemarin, saat rapat dengar pendapat di kantor DPRD, bersama Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Lukman, Camat Guntung Zainuddin, Tokoh Masyarakat dan perwakilan Taman Nasional Kutai, diungkapkan tidak diperkenankan lagi ada bentuk peragaan ektrem seperti, mencium atau memuluk buaya.
Padahal itulah yang menarik banyak wisatawan untuk datang melihat.
"Kalau masalah ini bisa diselesaikan disana (Balikpapan), ya sudah tidak usah lagi dibawa kesini (Bontang)," pungkasnya.
Sarankan Konservasi Ex Situ
Berita sebelumnya. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan dua pilihan, jika Pemerintah Kota Bontang ingin membawa pulang Buaya Riska dari penangkaran Teritip, Balikpapan. Yaitu Penangkaran atau konservasi.
Opsi tersebut, kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Kaltim, Deny Mardiono juga telah disampaikan saat pihaknya diundang Pj Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik, untuk berdiskusi pada 27 Oktober lalu.
Menurut Deny, dua hal tersebut merupakan solusi yang disebut dengan Konservasi Ex Situ, yang telah diatur dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga: Babak Baru Buaya Riska, 45 Hari Terpisah dari Ambo, Kini Bakal Kembali ke Bontang
Untuk penangkaran di aturan pada Peraturan Menteri KLHK P19 Tahun 2013. Kemudian untuk Konservasi, di aturan dalam Permen KLHK Nomor 22 tahun 2019.
"Silakan yang mana mau ditempuh," kata Denny dalam rapat dengar pendapat DPRD Bontang, Selasa (14/11/2023).
Ia menjelaskan, dari dua opsi itu yang paling berpeluang adalah pola konservasi.
Hal tersebut juga sudah menjadi kesimpulan dari hasil pertemuan dengan Akmal Malik.
Lantaran secara khusus, jika pilihannya adalah penangkaran tidak diperkenankan adanya peragaan.
Baca juga: Inilah Alasan Buaya Riska Akan Dikembalikan ke Habitatnya di Sungai Guntung Bontang
"Jadi penangkaran ini murni pengembang biakan saja," bebernya.
Sementara jika bentuknya adalah lembaga konservasi diizinkan ada kegiatan yang sifatnya interaksi, tetapi dalam batas tertentu.
"Maksudnya peragaan sesuai standar. Tidak dibolehkan dicium (buaya) atau dielus-elus dan sebagainya,"bebernya.
Menurut Denny, hal tersebut diatur secara ketat atas dasar keamanan dan keselamatan manusia.
Baca juga: Nasib Buaya Riska, Pj Gubernur Kaltim Turun Tangan, Kembali ke Sungai Guntung atau di Penangkaran
Pasalnya, buaya adalah satwa liar yang memiliki sifat predator dan hal itu tidak akan hilang.
Kalau kita memberi peluang kepada pengelola lembaga konservasi untuk melakukan peragaan, seperti mencium itu sama saja menyerahkan nyawa orang.
"Siapa yang akan menjamin?, namanya satwa liar pasti punya sifat buas. Itu tidak akan hilang," bebernya.
Libatkan Badan Usaha
Lebih lanjut, Denny menjelaskan, dari dua opsi itu pemerintah daerah tidak diperkenankan untuk mengelola secara langsung, harus badan usaha atau pihak ketiga. Hal tersebut diatur dalam Permen KLHK.
"Semua yang melakukan adalah badan usaha. Baik koperasi, CV, PT atau BUMD, jadi tidak boleh langsung pemerintah," ungkapnya.
Selain itu, BKSDA juga menegaskan bahwa dalam upaya dilakukan Pemkot Bontang jangan hanya berpikir untuk memulangkan Buaya Riska.
Tetapi juga semua buaya yang sebelumnya di relokasi yang jumlahnya 40 ekor.
Jadi kalau mau buat penangkaran atau lembaga konservasi, teknis yang akan dibahas adalah 40 buaya, minimal.

"Jadi jangan hanya berpikir buaya Riska. Ada ompong dan buaya-buaya yang lain," tegasnya.
Menanggapi itu, Asisten II bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Bontang Lukman mengatakan apa yang disampaikan pihak BKSDA adalah, masukan penting untuk laporan yang akan diserahkan kepada Wali Kota Basri Rase.
Baca juga: Usai Buaya Riska, Kini BKSDA Kaltim Sasar Buaya Ompong, Masih Tunggu Jawaban Pemkot Bontang
"Ini akan kami masukan sebagai satu poin penting dalam laporan yang akan kami serahkan kepada pimpinan," pungkasnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.