Berita Samarinda Terkini
Masa Kampanye Pemilu 2024, Inilah Pentingnya Penerapan Prinsip Kesantunan Berbahasa
Pentingnya penerapan prinsip kesatuan berbahasa pada masa kampanye Pemilu 2024.
Penulis: Nevrianto | Editor: Diah Anggraeni
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Tinggal hitungan hari, masyarakat Indonesia akan menyambut pesta demokrasi.
Mulai dari peserta pemilu, partai politik, tim pemenangan, hingga pendukung aktif saling berlomba mencari dukungan dari masyarakat.
Guru SMA Istiqamah Muhammadiyah Samarinda sekaligus mahasiswa pascasarjana MPBSI FKIP Universitas Mulawarman, Muhammad Reza Ardhana mengatakan, bahasa menjadi alat komunikasi yang digunakan sebagai sarana penyampai gagasan, pikiran, serta perasaan.
Kehendak manusia dapat direalisasikan melalui bahasa.
"Momen pemilu menjadi momen di mana peran bahasa terasa sangat penting. Semakin kian dekatnya hari pemilihan menjadikan tingkat intensitas suasana terasa semakin memanas, khususnya di antara para pendukung. Memberi komentar ataupun kritik yang beragam terhadap calon lainnya menjadi hal yang lumrah sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Namun, sangat disayangkan pesta demokrasi 5 tahunan ini seperti selalu mengabaikan prinsip kesantunan, termasuk kesantunan dalam berbahasa," tuturnya, Kamis (4/1/2023).
Baca juga: Berikan Bantuan Hukum hingga Pengawasan, Kejati Kaltim Dirikan 14 Posko Pemilu 2024
Lanjut Muhammad Reza Ardhana menjelaskan, bahasa dapat merepresentasikan penuturnya bahkan dapat mencerminkan budaya suatu bangsa.
Nababan (1993) pernah menjelaskan 2 hubungan kebudayaan, yaitu hubungan filogenetik dan hubungan ontogenetik.
Hubungan filogenetik yang menggambarkan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan hubungan ontogenetik merupakan hubungan bahwa seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya.
Santun merupakan salah satu budaya dan karakter masyarakat Indonesia.
"Oleh karena itu, kesantunan sebagai salah bentuk pola kepribadian yang baik wajib diamalkan dalam praktik kehidupan sehari-hari termasuk saat berbahasa,"lanjutnya.
Guru SMA Istiqamah Muhammadiyah Samarinda itu juga mengingatkan tentang kesantunan, yakni aturan yang disepakati bersama untuk mengatur perilaku sosial di masyarakat.
"Maka dari itu, diperlukan acuan atau tolok ukur yang objektif bagaimana bahasa dapat dikatakan santun, kurang santun, atau bahkan tidak santun. Ahli bahasa, linguistik asal Inggris Geoffrey Leech kemudian memperkenalkan 6 prinsip kesantunan berbahasa yang dikenal dengan 6 maksimnya, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, maksim kesimpatian (penjelasan secara rinci tentang setiap maksim akan penulis jelaskan dalam tulisan tersendiri). Oleh karena itu, 6 prinsip inilah yang dapat menjadi acuan kesantunan dalam berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa ini diajarkan dalam mata kuliah Pragmatik di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia," urainya.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Kasatpol PP Kaltim Tekankan Anggotanya Harus Netral
Selain itu, penjelasan secara singkat, kepatuhan terhadap enam prinsip kesantunan Leech akan meminimalisasikan kerugian antara penutur dan lawan tuturnya sehingga risiko konflik akan terhindarkan.
Sebaliknya, kepatuhan terhadap prinsip kesantunan juga akan memaksimalkan dan menghadirkan hasil-hasil positif berupa saling memahami, tenggang rasa, dan toleransi.
"Saat ini, budaya dan karakter bangsa Indonesia yang terpuji, santun, dan berbudi pekerti luhur telah mulai memudar dan dengan mudahnya saling mencaci-maki dan mencela terhadap orang lain yang berbeda pendapat. Bercermin pada pemilu 5 tahun yang lalu, berbagai istilah seperti cebon, kampret, pasukan nasi bungkus, monalismin, dan sebagainya muncul untuk mencela orang lain yang berbeda pendapat. Tidak jauh berbeda, hari ini kita juga masih ditampilkan pemandangan yang sama dengan masih banyaknya ujaran kebencian yang beredar," katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.