Ibu Kota Negara
Alasan Penulis Sejarah Lokal dari Samarinda Usul Prasasti Yupa Dipindahkan ke IKN Nusantara
Kata dia, prasasti Yupa yang asli atau orisinal sebaiknya dipindahkan juga ke IKN Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur
Penulis: Ilo | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, NUSANTARA - Muhammad Sarip, penulis sejarah lokal di Kalimantan Timur memberikan usulan kepada Otorita IKN Nusantara terkait prasasti Yupa di Kalimantan Timur, Sabtu (9/3/2024).
Kata dia, prasasti Yupa yang asli atau orisinal sebaiknya dipindahkan juga ke IKN Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Hal itu disampaikan saat dalam kegiatan talkshow, IKN-Talk bertema “Ibu Kota Nusantara dan Kalimantan Timur dalam Konstruksi Sejarah dan Perspektif Lingkungan," di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Menurut Muhammad Sarip, Prasasti Yupa hakikatnya adalah siaran pers pertama di Kepulauan Nusantara yang menjadi tonggak peradaban Indonesia.
Baca juga: OIKN Sebut Hanya Sisa 23 Persen Wilayah di IKN Nusantara yang Perlu Direforestasi Jadi Hutan Tropis
Dengan IKN Nusantara di Kalimantan Timur maka sudah sepantasnya prasasti dari Kalimantan Timur itu dikembalikan ke bumi etam, Kalimantan Timur.
Sekarang kan prasasti Yupa ditaruh di Museum Nasional yang ada di Jakarta.
Mungkin bisa diletakkan di istana presiden yang baru.

"Usul ini juga pernah saya sampaikan langsung kepada Tim Komunikasi Presiden RI di Sekretariat Negara tahun lalu,” ujar Sarip, pria kelahiran Samarinda, 20 Desember 1980.
Audiens IKN-Talk mayoritas berasal dari pengurus organisasi mahasiswa internal UINSI, undangan pengurus ormawa, pegiat, komunitas, dosen, dan jurnalis. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor II UINSI Prof. Zamroni.
Mengenal Sejarah Prasasti Yupa
Keberadaan Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Nusantara dipertegas oleh beberapa peninggalan.
Yang paling terkenal tentu saja Yupa, tapi apakah itu satu-satunya peninggalan kerajaan Kutai Martadipura?
Mengutip dari majalah instisari Grid.id berjudul "Prasasti Yupa, Peninggalan Kerajaan Kutai Martapura Paling Penting" dijelaskan.
Kerajaan Kutai dikenal sebagai kerajaan Hindu tertua, sekaligus kerajaan tertua di Nusantara.
Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-4 Masehi dan terletak di hulu Sungai Mahakam, wilayah Muara Kaman yang kini telah berganti nama menjadi wilayah Kalimantan Timur.
Sebagai kerajaan yang bercorak Hindu, Kutai Martadipura ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India karena banyak pedagang India yang datang ke Nusantara pada masa itu.
Baca juga: Titik Nol IKN Nusantara Ditutup Sementara, Cek Alternatif Lokasi Lain yang Bisa Dikunjungi
Selain berdagang, orang-orang India yang datang ke Nusantara juga turut menyebarkan kebudayaan dari negara asal mereka sehingga banyak rakyat Nusantara yang mengikuti budaya India.
Nama Kutai diambil dari sebuah prasasti bernama Yupa yang oleh para ahli mitologi dipercaya merupakan peninggalan asli dari Kerajaan Kutai.
Dari prasasti Yupa, ditemukan juga nama Maharaja Kudungga yang merupakan pendiri Kerajaan Kutai Martadipura.
Setelah Maharaja Kudungga, hampir seluruh keturunannya menggunakan kata ‘Warman’ di belakang namanya terinspirasi dari bahasa Sansekerta yang biasa digunakan oleh masyarakat India bagian selatan.

Selain Maharaja Kudungga, ada nama Maharaja Mulawarman yang juga populer karena berhasil membuat kerajaan dan rakyatnya menjadi lebih makmur.
Baca juga: Usulan Tinjau Sistem Perhitungan Kuota BBM Balikpapan, Buntut Antrean Panjang di SPBU
Kejayaan Kerajaan Kutai pada masa pemerintahan Maharaja Mulawarman juga ikut ditulis dalam Prasasti Yupa.
Dalam prasasti tersebut, dikatakan bahwa Mulawarman melakukan sebuah upacara pengorbanan emas dengan jumlah sangat banyak yang dijadikan sebagai persembahan untuk para dewa sekaligus juga dibagikan kepada para rakyatnya.
Sayangnya, kejayaan Kerajaan Kutai Martadipura ini mulai terasa goyah setelah meninggalnya Maharaja Mulawarman.
Raja-raja pengganti Mulawarman banyak yang tidak kompeten dan terlalu banyak membuat masalah sehingga kerajaan ini mulai berada dalam kondisi yang lemah dan tidak stabil.
Pada abad ke-13, terjadi peperangan antara Kerajaan Kutai Martadipura yang bercorak Hindu dan Kerajaan Kutai Kartanegara yang bercorak Islam.
Maharaja Dharma Setia yang merupakan raja terakhir dari Kutai Martadipura berhasil dikalahkan oleh Aji Pangeran Anum Panji Mendapa dari Kutai Kartanegara.
Baca juga: Status DKI Hilang dari Jakarta, Kapan IKN Nusantara Jadi Ibu Kota Indonesia Ada di Tangan Jokowi
Peristiwa ini menjadi penanda berakhirnya masa Kerajaan Kutai Martadipura di Nusantara.
Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kutai di Nusantara ditandai dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang berwujud Yupa.
Yupa adalah sejenis tiang batu yang bertuliskan tentang sejarah Kerajaan Kutai, ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Isi dari Prasasti Yupa ini menceritakan tentang sebuah kerajaan Hindu yang menetap di wilayah Muara Kaman, hulu Sungai Mahakam, tepatnya di Kalimantan Timur.
Singkatnya, Prasasti Yupa ini mengisahkan tentang latar belakang Kerajaan Kutai yang didasarkan pada kehidupan politik, sosial, dan budaya para pemimpinnya. Salah satu prasasti yang bernama Prasasti Muarakaman III kini tersimpan dan bisa kamu lihat secara langsung di Museum Nasional.
Sayangnya, Yupa menjadi satu-satunya peninggalan Kerajaan Kutai Hindu yang paling dikenang.
Lokasi IKN Nusantara Bukan Hutan Primer
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UINSI Samarinda yang dipimpin Syifa Hajati berhasil menghadirkan pimpinan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) di kampusnya.
Dr. Myrna A Safitri yang merupakan pimpinan tinggi madya OIKN tampil sebagai narasumber IKN-Talk bertema “Ibu Kota Nusantara dan Kalimantan Timur dalam Konstruksi Sejarah dan Perspektif Lingkungan."
Acara dialog publik ini digelar di Auditorium 22 Dzulhijjah Kampus 2 Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda Seberang.
DEMA UINSI juga menghadirkan sejarawan Muhammad Sarip dan pegiat literasi Nanda Puspita Sheilla. Keduanya merupakan tim penulis Historipedia Kalimantan Timur yang diberi prolog oleh Deputi Myrna.
Myrna A Safitri yang menjabat Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LHSDA) OIKN menyatakan, hal yang dikhawatirkan sebagian orang bahwa pembangunan IKN akan merusak hutan itu tidaklah benar.
Baca juga: Usai Dampingi Jokowi ke IKN Nusantara, AHY Temui Prabowo, Pengamat Ungkap Sinyal Putra Sulung SBY
“Lokasi IKN adalah bekas areal hutan tanaman industri yang dipenuhi tanaman eukaliptus.
Bukan hutan primer, melainkan hutan sekunder. Justru pembangunan IKN sebagai kota hutan itu berupaya melakukan rehabilitasi lahan,” kata Myrna.
Menurut Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Leiden Belanda tersebut, pembangunan IKN itu selaras dengan alam.
Area hijau akan mendominasi struktur perkotaan. Terhadap kawasan terbuka dan lahan kritis dilakukan reforestasi untuk menjadikan IKN sebagai kota hutan.
“Memilih Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru juga bermaksud untuk memulihkan lingkungan dan kejayaan hutan tropis di kawasan ini,” ungkap Myrna.
Presiden DEMA UINSI Syifa Hajati, yang bertindak sebagai moderator, Sabtu (9/3/2024) mengaku bersyukur dan bangga bisa mengadakan IKN-Talk di akhir periode kepengurusan organisasinya.
Kegiatan berdurasi sekitar 2,5 jam ini terselenggara atas kerja sama DEMA UINSI dan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kota Samarinda yang diketuai oleh Dr. Rusmadi Wongso.
Dalam sesi tanya jawab, terdapat 10 peserta yang bertanya juga mengkritisi.
Pertanyaan audiens membahas seputar isu keterlibatan warga lokal dalam pembangunan IKN, kekhawatiran penduduk setempat terpinggirkan dan sekadar menjadi penonton, persoalan tambang ilegal, kebudayaan, dan sebagainya.
Baca juga: Pemilu 2024 Usai, Jokowi Ungkap Investor Sudah Antre Masuk IKN Nusantara, Wilayah Barat Paling Padat
Deputi Myrna menyatakan, jika ditanya kepada dirinya pribadi tentang peluang kiprah di pusat negara, dia sendiri telah membuktikan bahwa dirinya mampu.
“Saya pikir, Presiden mengangkat saya sebagai deputi di OIKN bukan semata-mata saya orang Kaltim. Tapi tentu karena ada portofolio dan kompetensi yang saya miliki.
Sebelum jati diri saya diungkap ke publik, saya tidak pernah menyebut-nyebut saya anaknya siapa, cucunya siapa. Bukan saya juga yang mengungkap bahwa kakek saya adalah pejuang ’45 di Samarinda,” tutur Myrna.
(TribunKaltim.co/Nevrianto dan Grid.id)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.