Berita Samarinda Terkini

Isi Waktu Ngabuburit, Warga Kelurahan Masjid Samarinda Seberang Ngobrol Sambil Menganyam Ketupat

Jelang Hari Raya Idul Fitri, tradisi menganyam ketupat kembali marak di berbagai daerah, termasuk di Samarinda.

TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI
KETUPAT - Wiwi bersama rekannya menganyam ketupat di halaman rumah, Kelurahan Masjid RT 13 Kecamatan Samarinda Seberang, menunggu waktu berbuka puasa sambil menjalankan tradisi, Sabtu (23/3/2024).TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Jelang Hari Raya Idul Fitri, tradisi menganyam ketupat kembali marak di berbagai daerah termasuk di Samarinda.

Ketupat, yang identik dengan hidangan khas Lebaran, tak hanya lezat dinikmati, namun proses pembuatannya pun sarat makna dan tradisi.

Menganyam ketupat merupakan simbol kebersamaan dan gotong royong, di mana anggota keluarga ataupun tetangga saling membantu dalam menyiapkan ketupat.

Daun janur dianyam dengan cekatan dan telaten, membentuk ketupat dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Suasana ini hadir di Kelurahan Masjid RT 13, Kecamatan Samarinda Seberang. Sejak empat hari lalu, sekumpulan warga tengah sibuk menganyam daun ketupat di halaman rumah Wiwi, ketua Gang Makassar RT 13 Kelurahan Masjid.

Saat dikunjungi TribunKaltim.co pukul 15.00 Wita, Wiwi bersama dengan dua warga lainnya sudah berhasil mengumpulkan lebih dari 500 buah ketupat.

Baca juga: Harga Menu Lezatnya Ketupat Kandangan Makanan Khas Banjar di Balikpapan

Baca juga: Diremas Pakai Tangan, Ini Cara Unik Menikmati Ketupat Kandangan di Kaltim

"Tergantung daunnya, kalau banyak sampai ribuan bisa 2 sampai 3 hari. Tapi ini daun nipah, di ambil dari empang, muara, jauh dari sini sekitar 3 jam di hutan-hutan," ungkap Wiwi di sela-sela kesibukannya menganyam, Sabtu (23/3).

Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas tahunan bagi Wiwi dan warga lainnya. Di bulan Ramadan, tradisi menganyam ketupat bukan hanya untuk menyambut Lebaran saja, melainkan juga sebagai selingan waktu menunggu berbuka puasa.

"Ini kegiatan rutin, sudah tahun ke empat di bulan puasa kami begini. Kalau saya kan sambil buka warung sambil buat ketupat, yang lain juga sambil kerja. Ini selingan kami saja," jelasnya.

Di luar bulan puasa, Wiwi dan beberapa warga lainnya juga terbiasa membuat ketupat untuk dijual. Dalam sebulan Ramadan, mereka mampu menghasilkan hingga 5.000 ketupat yang dipasok ke pengepul.

Tradisi ini tak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membuka peluang ekonomi. Dalam sehari, Wiwi dan Ernawati mampu menghasilkan 300-400 ketupat, dengan harga Rp 10.000 per ikat (100 biji).

"Tapi kami cuma pengrajin kulit ketupatnya, nanti kami serahkan ke bos yang punya. Sehari kadang sanggupnya 300-400 ketupat saya hasilkan, tapi kalau kita fokus mungkin bisa 500 buah lebih," ungkap Wiwi.

Bagi Wiwi dan Ernawati, salah satu warga yang turut menganyam, tradisi ini bukan hanya tentang menghasilkan ketupat, tetapi juga tentang kebersamaan dan kegembiraan.

"Kami bahkan gak bosan, malah senang mengrajin ini sambil bercerita sama teman-teman yang lain. Ndak susah, kalau dijalani enak saja, kami sambil bergurau jadi ndak terasa," kata Wiwi.

Ernawati menambahkan, tradisi ini menjadi bagian penting dalam melestarikan budaya dan mempererat tali persaudaraan antar warga.

Baca juga: 7 Tindak Pidana Sepanjang Operasi Ketupat Mahakam 2023 di Balikpapan

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved