Berita Nasional Terkini
Kata BRIN Soal Banjir Demak dan Kemunculan Selat Muria, Sejarah Gunung Muria Terpisah dari Jawa
Banjir yang melanda di Demak, Jawa Tengah, dan sekitarnya memunculkan perdebatan baru mengenai kemunculan Selat Muria.
TRIBUNKALTIM.CO - Masyarakat sering mengkaitkan banjir Demak dengan Selat Muria yang kini ramai diperbincangkan.
Banjir bandang kembali menerjang wilayah Kabupaten Demak dan Kudus, mulai Sabtu 16 Maret 2024 lalu.
Tidak banyak yang tahu, jika banjir Demak Kudus ini tidak hanya disebabkan curah hujan tinggi, namun juga faktor geografi wilayah tersebut yang terjadi sejak 400 tahun lalu, era Kasultanan Demak.
Banjir yang melanda di Demak, Jawa Tengah, dan sekitarnya memunculkan perdebatan baru mengenai kemunculan Selat Muria.
Baca juga: 9 Desa di Demak Tunda Pemilu 2024, Cek Nasib 26 Ribu Pemilih tak Bisa Nyoblos Gara-gara Banjir
Baca juga: Koordinator Jual Kalender di PPU Catut Nama Pesantren di Demak, Hasil Dipakai Modal Judi Online
Baca juga: Modus Jual Kalender untuk Pesantren, 8 Orang asal Demak Diamankan Satpol PP PPU
Pembahasan ini bermula dari unggahan akun X @nuruzzaman2 yang mengunggah foto perbandingan zona banjir pada 2024 dengan foto citra Selat Muria pada abad ke-7 dan ke-16.
“Benarkah Selat Muria Akan Hidup Kembali. Memasuki tahun 2024, Semenanjung Muria dua kali dihantam banjir besar,” tulis akun tersebut, Selasa (19/3/2024).
“Memang daerah ini sudah rutin menjadi langganan banjir akibat limpas sungai Wulan. Namun apa yang terjadi awal tahun 2024 ini sungguh di luar dugaan,” sambungnya.
Unggahan tersebut memicu perdebatan dan telah ditayangkan sebanyak 2,4 juta kali serta mendapatkan ratusan komentar.
Lantas, benarkah banjir di Demak merupakan isyarat kemunculan Selat Muria?
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa banjir yang merendam Demak dan sekitarnya tidak berkaitan dengan kemunculan Selat Muria.
Hal ini disampaikan oleh peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Eko Soebowo, yang mengatakan bahwa banjir di Demak murni terjadi karena pengaruh alam, yakni cuaca ekstrem yang melanda Demak dan sekitarnya.
"Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi," ucap Eko, Rabu (20/3), seperti dikutip dari Antara.
Selain cuaca ekstrem, kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan juga memicu sedimentasi di sisi selatan.

Pengambilan air tanah yang berlebihan di kawasan pesisir pantai utara Jawa juga membuat permukaan tanah mengalami penurunan hingga 5-10 sentimeter per tahun.
Eko menegaskan, satu hal yang menyebabkan daratan berubah menjadi selat adalah adanya kenaikan permukaan air laut, bukan banjir.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.