Jejak Islam di Bumi Etam

Jejak Islam di Bumi Etam 17 - Orang Kepercayaan Sultan Dipilih jadi Arsitek Masjid

Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin menjadi warisan jejak sejarah dari peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.

TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Bagian atap Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin berbentuk limas segi lima serupa Joglo, merupakan salah satu ciri khas masjid ini. Konon, masjid yang terletak di komplek Kedaton Kutai Kartanegara ini dirancang oleh arsitek kepercayaan sultan. TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO 

Meski berusia lebih dari satu abad, Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin masih kokoh berdiri. Konon, desain masjid ini dirancang oleh orang kepercayaan sultan. Struktur bangunan utamanya mayoritas berbahan ulin, komoditas khas hutan Kalimantan yang terkenal kekokohannya.

TRIBUNKALTIM.CO - Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin menjadi warisan jejak sejarah dari peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang masih bisa dilihat, bahkan dapat dikunjungi.

Masjid tersebut berdiri satu komplek dengan Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Tepatnya berada di persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo, Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Masjid yang berada di jantung Kota Raja ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan syiar Islam di Tanah Kutai.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 16 - Masjid Warisan Sultan Kutai untuk Syiar Islam

Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin dibangun sejak zaman Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Sulaiman sekitar tahun 1874 Masehi.

Konon, 16 tiang kayu ulin yang ada dalam masjid tersebut digunakan sebagai tiang saka yang hendak digunakan sebagai alat untuk proses ritual adat pemandian "menduduskan" Putra Mahkota Aji Penggeuk yang akan naik takhta.

Namun sayangnya, sebelum ritual pemandian dilakukan, Putra Mahkota Aji Penggeuk justru meninggal dunia.

Bangunan Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Bangunan Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (DOK TRIBUNKALTIM.CO)

Selang sekian waktu, kayu ulin tersebut akhirnya digunakan untuk proses peletakan batu pertama pembangunan masjid.

Pada 1874 waktu subuh, itulah mulai pertama rakyat bergotong-royong mendirikan masjid.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 15 - Ubah Kampung Maksiat jadi Kampung Masjid

Pengurus Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin, Muhammad Maidy menerangkan bangunan masjid tersebut bentuknya menyerupai masjid yang ada di Demak.

Ketika dibangun, diarsiteki orang kepercayaan Kesultanan Kutai.

Didirikan dengan gaya rumah lokal dan pengaruh budaya Melayu pada 1930.

Dengan atapnya yang bertumpang tiga, kemudian bagian puncak atapnya berbentuk limas segi lima serupa Joglo.

Struktur bangunan utamanya mayoritas berbahan ulin, komoditas khas hutan Kalimantan yang terkenal kekokohannya.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 14 - Peninggalan Imam Pertama di Masjid Shirathal Mustaqiem

Bangunan menara yang masih tampak berdiri kokoh terbangun di samping masjid, dengan desain simple.

Tak lupa, tempat wudhu yang juga dibuat dengan atap limas bertumpang dua yang terlihat menyatu dengan bangunan masjid.

Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin memiliki luas area bangunan 50 x 50 meter persegi dengan kapasitas dapat menampung sekitar 1.000 jemaah.

Sementara jika menghitung luas sampai di halaman depan masjid bisa menampung sekitar 1.600 jemaah.

Dari pintu masuk, sebanyak 19 buah pintu dengan tinggi sekitar 2,5 meter berwarna krem khas, kemudian 16 tiang utama penyangga langit-langit yang terbuat dari ulin.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 13 - Masjid Shirathal Mustaqiem, Kisah 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Dibangun berjejer dengan dasar keramik klasik berwarna khas.

Adapun dinding luarnya berlapis cat putih yang tiap tepinya diberi aksen hijau tua.

Masuk ke dalam masjid, mata kita akan dimanjakan dengan ruangan yang luas dan tampak klasik.

Lengkap dengan beberapa bagian bangunan masjid yang masih asli seperti mihrab, mimbar dan juga tiang soko gurunya.

Meski usia bangunannya sudah memasuki satu setengah abad atau hampir 150 tahun, masjid tersebut masih menjadi sentra kegiatan ibadah dan keagamaan warga setempat.

Terlebih, konstruksi dari bangunan masjid tersebut masih relavan dengan gaya arsitektur yang khas.

"Beberapa kali dilakukan pemugaran, tapi tidak mengurangi arsitekturnya dari awal. Karena masjid ini masuk di dalam cagar budaya," kata Maidy.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 8 - Kisah Pangeran Noto Igomo, Ulama Besar di Kesultanan Kutai

Di dalam pengurusan masjid sendiri, Maidy menuturkan tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan didalam masjid selain hari-hari besar keagamaan dan salat berjemaah.

"Kecuali hari Jumat malam Sabtu, itu kita mengadakan pengajian rutin mingguan di sini. Biasanya jadwalnya setelah salat maghrib berjemaah, pengajian tentang fiqih hari-hari dan lain sebagainya," ulasnya.

Sementara untuk aktivitas di bulan Ramadan, Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin rutin mengadakan buka puasa bersama. Di selingi sebuah kegiatan, yakni kuliah tujuh menit.

Biasanya, kegiatan tersebut dilakukan sebelum salat tarawih dan dilanjutkan pelaksanaan salat tarawih berjemaah.

Selain itu, kegiatan lainnya selama bulan Ramadan ialah juga terdapat kegiatan kuliah dzuhur dan juga kuliah subuh yang pembahasan materinya tergantung dari sang penceramah.

"Kuliah dzuhur itu dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Kamis, kemudian Jumat itu khatib, dan untuk Sabtu dan Minggu libur kegiatan di masjid. Kalau kuliah subuh itu seminggu sekali, setelah salat subuh," pungkas Maidy.

(TribunKaltim.co/Ary Nindita Intan R S)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved