Jejak Islam di Bumi Etam

Jejak Islam di Bumi Etam 13 - Masjid Shirathal Mustaqiem, Kisah 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Masjid tersebut dikenal dengan masjid tua atau Masjid Shirathal Mustaqiem yang memiliki makna jalan lurus.

TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shirathal Mustaqiem di Samarinda, Kalimantan Timur. Tiang-tiang ini disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891. TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO 

Masjid yang juga sering disebut sebagai "masjid tua" ini merupkan bukti sejarah syiar Islam di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Di balik bentuk bangunannya yang masih kokoh, Masjid Shirathal Mustaqiem menyimpan cerita unik di balik pendirian empat tiang utama saat awal pembangunan.

TRIBUNKALTIM.CO - Dalam sejarah Kesultanan Kutai ada sebuah bangunan masjid di ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki nilai penting dalam jejak syiar Islam di Kota Samarinda.

Masjid tersebut dikenal dengan masjid tua atau Masjid Shirathal Mustaqiem yang memiliki makna jalan lurus.

Bangunan yang berdiri di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang tersebut bukan sekadar bangunan tua yang dikenang hanya karena sejarahnya.

Masjid ini senantiasa dimakmurkan menjadi pusat kegiatan masyarakat hingga saat ini sejak berdiri 133 tahun yang lalu, menurut H Sofyan yang juga pengurus Masjid Shirathal Mustaqiem.

Dari masjid yang didirikan seorang ulama bernama Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf atau Pangeran Bendahara ini, syiar Islam dimulai di Kota Samarinda.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 12 - Aroma Minyak Gaharu di Makam Abu Thalhah

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 11 - Abu Thalhah, Diutus Sebarkan Islam Bersama 4 Saudara

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 10 - Makam Kelambu Kuning, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Kesultanan Kutai

Dikisahkan Sofyan, adapun Pangeran Bendahara adalah nama gelar yang diberikan kepada Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang bertakhta kala itu.

Ia diangkat menjadi pemimpin atau kepala di kawasan Samarinda Seberang pada tahun 1880.

Sebagai tokoh masyarakat, Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf ingin mengubah kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai "kampung maksiat" menjadi "kampung masjid".

Awal pembangunan masjid tua yakni mendirikan empat tiang utama, di mana Habib Abdurachman dibantu warga sekitar.

Tiang yang lebih dikenal sebagai soko guru itu disumbangkan oleh empat tokoh, yakni Kapitan Jaya, Pettaloncong, dan Lusulunna, serta Habib Abdurachman sendiri.

"Sebelum masjid berdiri, lokasi ini merupakan tempat maksiat. Judi, sabung ayam, minuman keras dan lain sebagainya. Siang dan malam masyarakat seperti itu.

"Beliau (tekun) berdakwah dengan lemah lembut, pelan-pelan, artinya hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun berganti, Allah SWT memberikan kesadaran kepada masyarakat ini untuk bertaubat, setelah itu semua dipikul oleh Habib Abdurrahman Assegaf," kata Sofyan.

"Masyarakat setuju, dan masing-masing mencari bahan untuk keperluan masjid untuk empat pilar masjid yang bakal didirikan bangunan," sambungnya.

Baca juga: Jejak Islam di Bumi Etam 9 - Pangeran Noto Igomo Membuka Perkebunan Sembari Berdakwah

Keempat tiang soko guru merupakan sumbangan dari para tokoh adat, diawali satu tiang dari Habib Abdurachman didatangkan dari Dondang, Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Halaman
123
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved