Pilkada 2024

KPU Diminta Abaikan Revisi UU Pilkada Buatan DPR, Segera Tindak Lanjuti Putusan MK

KPU diminta abaikan revisi UU Pilkada buatan DPR, segera tindak lanjuti Putusan MK.

KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA
Bisakah putusan MK dibatalkan DPR? Suasana rapat kerja (raker) Baleg DPR dan Pemerintah membahas RUU Pilkada di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). KPU diminta abaikan revisi UU Pilkada buatan DPR, segera tindak lanjuti Putusan MK. 

TRIBUNKALTIM.CO - Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta abaikan revisi UU Pilkada buatan DPR, segera tindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah menjadi sorotan.

Pasalnya, Baleg DPR RI disinyalir akan mengakal-akali Putusan MK terkait Pilkada.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen.

Baca juga: Baleg DPR Buka Lagi Peluang Kaesang Maju Pilkada 2024, Sepakat Syarat Usia Ikut Putusan MA Bukan MK

Hal ini dilontarkannya sehubungan dengan tindakan pemerintah dan DPR hari ini yang mendadak merevisi Undang-Undang Pilkada melalui rapat Badan Legislasi (Baleg) untuk merespons Putusan MK atas UU Pilkada kemarin.

"KPU bagaimana? Ikut Putusan MK atau perppu? Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi," ujar Bivitri kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024).

Ia menegaskan, beleid yang harus dipatuhi oleh KPU adalah undang-undang/perppu yang konstitusional, dalam hal ini undang-undang/perppu yang selaras dengan Putusan MK selaku lembaga penafsir utama UUD 1945 yang tingkatannya lebih tinggi daripada undang-undang/perppu.

Baca juga: Baleg DPR Dituding Anulir Putusan MK Soal Ambang Batas Pencalonan di Pilkada, Fraksi PAN Membantah

"Kalau perppu atau undang-undangnya itu melanggar Putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian Putusan MK)," jelas Bivitri.

Ia memberi contoh, pada 2018, KPU sempat diperhadapkan pada "ketidakpastian hukum" terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melibatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta.

Saat itu, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai Mahkamah Agung (MA) yang menguntungkan Oesman, sedangkan MK telah lebih dulu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh rangkap jabatan di partai politik sehingga Oesman harus mundur.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com)

KPU pada akhirnya bertindak tepat dengan tetap bersikukuh pada Putusan MK dan mencoret Oesman dari daftar calon anggota DPD yang akan berlaga di Pileg 2019.

Bivitri mengingkatkan, jika KPU membangkang Putusan MK, legitimasi calon yang berlaga di pilkada juga akan rentan digugat sengketa.

Pada akhirnya, MK sebagai lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, juga dapat membuat calon hasil pembangkangan konstitusi itu tidak sah.

"Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK," tegas Bivitri. 

Istilah pembangkangan konstitusi juga keluar dari mulut MK merespons sengkarut hukum pencalonan Oesman Sapta ketika itu.

Dalam putusan nomor 98/PUU-XVI/2018, majelis hakim konstitusi ketika itu menegaskan bahwa sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal.

Baca juga: Putusan MK Soal Pilkada 2024 Berlaku Sejak Diketuk Palu, KPU Tindaklanjuti Sebelum Pendaftaran

Pengabaian itu dapat berarti penggunaan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, padahal oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

"Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi," tulis putusan tersebut. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Ikuti berita populer lainnya di Google NewsChannel WA, dan Telegram.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved