Berita Tenggarong Terkini

Sejarah Kota Raja Tenggarong yang Hari ini 28 September 2024 Merayakan Ulang Tahun ke-242

Dalam acara ziarah makam raja yang digelar, Camat Tenggarong Sukono, menjelaskan asal-usul berdirinya Kota Raja Tenggarong

Penulis: Miftah Aulia Anggraini | Editor: Nur Pratama
TribunKaltim.co/Miftah Aulia Anggraini
Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara pada masanya. Kini dikenal sebagai Museum Mulawarman, yang menyimpan koleksi benda bersejarah kerajaan kutai.  

TRIBUNKALTIM.CO, TENGGARONG - Tenggarong, yang dikenal dengan julukan Kota Raja, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-242 pada 28 September 2024. 

Di balik perayaan ini, tersimpan sejarah panjang dan menarik mengenai perjalanan kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dalam acara ziarah makam raja yang digelar, Camat Tenggarong Sukono, menjelaskan asal-usul berdirinya Kota Raja Tenggarong

Ia menyoroti bagaimana pusat pemerintahan mengalami dua kali perpindahan selama tujuh abad eksistensi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Baca juga: Peringatan Hari Jadi Tenggarong ke-242 dengan Agenda Ziarah ke Makam Sultan Kutai

Perpindahan pertama, tahun 1734 masehi pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739 M). Pusat pemerintahan berpindah dari Kutai Lama ke Pamarangan  yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Loa Kulu.

Kemudian, pada masa pemerintahan Aji Imbut gelar dari Sultan Muhammad Muslihuddin (1780-1816 M) yang merupakan Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura XV.

Pusat pemerintahan kembali pindah dari Jembayan ke Tepian Pandan, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tenggarong hingga masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit.

Hal ini dikarenakan sejak pusat kerajaan di Kutai Lama hingga di Pemarangan sering terjadi gangguan keamanan dari pihak lanun dan perompak Solok serta Filipina. 

“Karena adanya peristiwa yang dianggap membahayakan dan mencemaskan kehidupan rakyatnya, maka Pemarangan sebagai pusat kerajaan dianggap tidak bertuah lagi. Samarinda Seberang sebagai pintu gerbang dan benteng utama Kerajaan Kutai Kartanegara merasa khawatir akan keselamatan dan keamanan kerajaan,” jelasnya. 

“Maka para tokoh dan pemuka adat suku Bugis yang diprakarsai oleh Puak Adok Latojeng, Daeng Penggawa Mangkubumi Dipato Prabangsa, dan Pangeran Masjurit bermusyawarah dan mufakat untuk mengusulkan kepada Aji Imbut agar pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan dari Pemarangan ke tempat lain,” sambungnya.

Dengan adanya pertimbangan tersebut tidak lama kemudian Aji Imbut beserta abdi kerajaannya berangkat menyusuri sungai Mahakam, bertujuan mencari rantau atau tempat yang dapat dijadikan pusat pemerintahan kerajaan yang aman dan sejahtera.

“Sampailah di suatu rantauan Gersik yang terletak di antara Teluk Dalam dan sungai sebelah hulunya dan tepat berseberangan dengan sungai rantauan Tepian Pandan,” ujarnya. 

Kurang lebih 40 hari, Aji Imbut dan kelompok abdi kerajaannya bermalam di Gersik untuk mencari nyahu atau petunjuk yang baik. 

Hingga di suatu malam yang penuh berkah, turunlah petunjuk dari yang maha kuasa melalui mimpi kepada sang raja agar mencari sebuah daerah dengan syarat carilah daerah atau rantauan yang berbau harum dan dihadapannya ada dua ekor naga yang sedang merebutkan sebuah kemala.

Pada keesokan harinya, Aji Imbut menyampaikan mimpi itu kepada para pengikutnya untuk menafsirkan arti dan makna dari mimpinya semalam.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved