Berita Internasional Terkini

Profil Sammy Basso, Penyintas Penyakit Langka Progeria yang Meninggal di Usia 28 Tahun

Sammy Basso meninggal dunia pada Minggu (6/10/2024) pada usia 28 tahun usai menjadi penyintas terlama penyakit langka progeria

Instagram/aiprosab
Sammy Basso penyintas terlama penyakit progeria meninggal pada usia 28 tahun 

TRIBUNKALTIM.CO - Penulis dan aktivis asal Italia, Sammy Basso meninggal dunia pada Minggu (6/10/2024) pada usia 28 tahun usai menjadi penyintas terlama penyakit langka progeria.

Kabar Sammy Basso meninggal dunia disampaikan Asosiasi Progeria Italia yang dia dirikan bersama orangtuanya melalui akun media sosial lembaga tersebut.

"Hari ini cahaya kami, pemandu kami, telah padam. Terima kasih Sammy karena telah menjadikan kami bagian dari kehidupan yang luar biasa ini," tulis asosiasi itu lewat akun Instagram-nya.

Diberitakan Reuters, Minggu (6/10/2024), Sammy yang menderita penyakit genetik langka progeria dikenal publik usai muncul dalam dokumenter National Geographic Sammy's Journey.

Pada usia 28 tahun, dia dikenal sebagai penderita progeria terlama di dunia. Pasien progeria rata-rata memiliki harapan hidup hanya 13,5 tahun tanpa pengobatan.

Profil Sammy Basso

Sammy Basso lahir pada 1 Desember 1995 di Schio, wilayah Veneto, Italia. Mengutip dari The Progeria Research,  diagnosis atas penyakit progeria yang diderita oleh Sammy sudah ditemukan sejak usia 2 tahun.

Baca juga: Penyakit Gondongan di Balikpapan Merebak, Bulan September 2024 Ada 72 Kasus 

Penyakit penuaan dini yang langka ini tidak menyurutkan kecerdasan dan kemampuan Sammy Basso. Dirinya pernah dipilih sebagai pembicara sejak usia 10 tahun di acara bertajuk Sammy Basso Italian Association for Progeria

Pada usia sepuluh tahun, Sammy lalu mendirikan Asosiasi Progeria Sammy Basso Italia bersama orangtuanya.

Sammy dikenal usai penayangan dokumenter National Geographic Sammy's Journey. Acara itu mengikuti perjalanannya sepanjang Route 66 dari Chicago ke Los Angeles, Amerika Serikat bersama orangtua dan salah satu sahabatnya, Riccardo.

Pada 2018, Sammy lulus dari University of Padua dengan penelitian tentang penyembuhan progeria melalui rekayasa genetika. Adapun tesis untuk kelulusannya dari perguruan tinggi menggunakan pendekatan penyuntingan genetik terhadap tikus HGPS.

Kecerdasan Sammy Basso bahkan sempat diapresiasi dengan penganugerahan Knight of the Order of Merit of The Italian Republic.

Status itu diperolehnya lantaran penelitian tentang disabilitas beserta kemitraan (hubungan) dengan pemerintah Italia.

Baca juga: Cara Mencegah Penyakit Menular Gondongan Versi Kadis Kesehatan Kaltim dr Jaya Mualimin

Pada 2020, Sammy menjadi bagian gugus tugas regional dan nasional Veneto untuk mengungkap informasi COVID-19. Adapun gelar pendidikan kedua “Biologi Molekuler” baru saja diterimanya tahun 2021.

Melalui tesis mengenai kombinasi Lamin A dan Interleukin-6, ia menganalisa suatu pendekatan untuk mengobati progeria. Secara khusus tesis itu menyebutkan penggunaan protein beracun bernama “progerin” untuk mengatasi penuaan dini langka.

Pria ini juga tercatat menjadi orang pertama yang menjalankan uji klinis PRF. Pengujian ini mengharuskan Sammy Basso mengonsumsi obat bernama “lonafarnib” yang dipakai untuk pengobatan progeria.

Apa itu penyakit Progeria?

Progeria atau sindrom Hutchinson–Gilford (HGPS) adalah penyakit genetik sangat langka yang menyebabkan seseorang cepat menua sehingga tampak lebih tua dari usia aslinya.

Progeria pertama kali dijelaskan secara medis oleh Jonathan Hutchinson pada 1886 dan dilanjutkan Hastings Gilford pada 1897. Nama dua dokter itu lalu digunakan untuk menamai penyakit ini.

Penderita progeria diperkirakan memiliki kualitas hidup yang berkurang dengan harapan hidup hanya 13,5 tahun tanpa pengobatan.

Penyakit ini menyerang satu dari setiap 20 juta orang di seluruh dunia. Sejauh ini, diketahui baru ada 130 kasus progeria dengan empat pasien berada di Italia.

Baca juga: Dokter Spesialis Jantung RSPB Beberkan Penyebab Penyakit Jantung Koroner di Usia Produktif 

Namun, Asosiasi Progeria Italia memperkirakan kemungkinan ada sebanyak 350 kasus progeria di seluruh dunia. Sebab, penyakit ini sulit dilacak terutama di negara berkembang.

Progeria terjadi akibat mutasi salah satu salinan gen LMNA yang terdapat dalam genom manusia (DNA), yakni timin menggantikan sitosin.

Meski jarang, penyakit ini bisa disebabkan mutasi lain pada gen yang sama. Normalnya, seseorang memiliki protein lamin A, C, dan dua jenis lamin sekunder lain.

Namun, penderita progeria memiliki bentuk abnormal lamin A yang disebut progerin. Kondisi ini menyebabkan terdapat banyak gen abnormal memproduksi protein berlebihan.

Penumpukan protein menjadi racun dalam sel. Hal ini menyebabkan penuaan dini karena terjadi perlambatan drastis dalam pembelahan sel.

Dilansir dari Cleveland Clinic, progeria dapat dialami bayi yang baru lahir.

Gejalanya baru muncul saat bayi itu berusia satu sampai dua tahun. Anak dengan progeria memiliki kecerdasan normal. Namun, mereka akan mengalami gejala sebagai berikut:

  • Rambut rontok hingga botak
  • Mata menonjol
  • Kulit yang menua dan keriput
  • Hidung tipis dan berparuh
  • Wajah terlalu kecil jika dibandingkan ukuran kepala
  • Kehilangan lemak di kulit dan tubuh
  • Kulit keriput dan keras
  • Sendi kaku dan rentang gerak berkurang
  • Gigi tumbuh terlambat dan rahang kecil
  • Dislokasi pinggul
  • Katarak Artritis  
  • Penumpukan plak di arteri.

Penyakit progeria terjadi karena mutasi baru. Ini berarti tidak ada riwayat biologis yang diwariskan orangtua kepada penderitanya. Progeria selalu berakibat fatal bagi pasien.

Rata-rata usia kematian penderita berkisar antara 13,5-14,5 tahun. Beberapa orang dewasa dapat hidup hingga awal usia 20-an.

Perawatan penyakit Progeria

Penderita progeria dapat didiagnosis melalui gejala yang muncul pada kondisi fisiknya. Kemudian, dia akan menjalani tes genetik untuk memastikan positif menderita penyakit itu.

Saat ini, belum ada obat untuk progeria. Namun, para peneliti sedang mempelajari beberapa obat untuk mengobati kondisi tersebut. Pengobatan progeria meliputi penggunaan obat lonafarnib.

Obat ini awalnya dikembangkan untuk mengobati kanker tapi terbukti memperbaiki kondisi akibat progeria.

Obat tersebut juga meningkatkan kelangsungan hidup anak-anak yang mengidap penyakit tersebut. Misalnya, pada pembuluh darah, tulang, berat badan, dan pendengaran.

Terapi fisik juga dijalani pasien agar memiliki kemampuan gerak, keseimbangan, postur, serta mengurangi nyeri pinggul dan kaki. Terapi okupasi juga bantu pasien mampu makan, menjaga kebersihan, dan menulis.

Selain itu, tenaga kesehatan akan memantau pasien dengan pencitraan MRI serta pemeriksaan mata, jantung, pendengaran, gigi, kulit, dan tulang. Asupan nutrisinya juga dipantau.

Meski begitu, penderita progeria berpotensi meninggal akibat komplikasi aterosklerosis parah. Aterosklerosis terjadi ketika plak menumpuk dalam dinding arteri jantung.

Akibatnya, arteri kurang elastis sehingga menyebabkan serangan jantung atau stroke . (*)

 

Ikuti berita populer lainnya di Google NewsChannel WA, dan Telegram.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved