Berita Nasional Terkini
Asal-usul SHGB di Area Pagar Laut Tangerang Milik Agung Sedayu Group, Lokasinya di Desa Kohod
Agung Sedayu Group ungkap asal-usul sertifikat HGB di pagar laut Tangerang miliknya, lokasinya di Desa Kohod, Pakuhaji.
TRIBUNKALTIM.CO - Agung Sedayu Group ungkap asal-usul sertifikat HGB di pagar laut Tangerang miliknya, lokasinya di Desa Kohod, Pakuhaji.
Agung Sedayu Group (AGS) mengungkapkan dari mana SHGB yang dimilikinya.
Diberitakan sebelumnya, AGS disebut-sebut memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di area pagar laut Tangerang lewat anak perusahaannya.
Pagar laut Tangerang menjadi sorotan, setelah pagar terbuat dari bambu itu membentang sejauh 30 kilometer di laut Kabupaten Tangerang.
AGS akhirnya memberikan konfirmasi mengenai kepemilikan SHGB di area pagar laut Tangerang.
Baca juga: Firman Soebagyo Pilih Lepas Pin DPR, Legislator Golkar Malu Pagar Laut Tangerang Tak Diseriusi KKP
Pengacara AGS, Muannas Alaidid, menjelaskan bahwa SHGB yang dimaksud terletak di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, dan bukan di tengah laut, sebagaimana yang banyak dipahami oleh masyarakat.
Muannas menegaskan bahwa lokasi tersebut berjarak sekitar 30 kilometer dari enam kecamatan terdekat dan hanya mencakup satu kecamatan, yaitu Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
"Itu 30 kilometer dari enam kecamatan, paling cuma satu kecamatan. Yang PANI, PIK 2 cuma di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang," ujar Muannas saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (23/1/2025).
Penjelasan ini disampaikan sebagai respons terhadap penelusuran yang dilakukan oleh warganet di aplikasi BHUMI ATR/BPN, yang menunjukkan bahwa area sekitar pagar laut Tangerang memiliki sertifikat HGB.
Dari Mana Asal-usul Tanah SHGB yang Dikuasai AGS?
Menurut Muannas, tanah yang dimiliki oleh AGS tersebut dibeli dari masyarakat lokal beberapa tahun yang lalu.
Meskipun terdapat pagar laut, Muannas menjelaskan bahwa area yang dimaksud sangat terbatas.
"Itu bukan (di lautan yang ada pagar laut), ya walaupun ada, itu paling cuma sedikit gitu ya," kata Muannas.
Muannas menduga pagar laut berfungsi sebagai pembatas untuk melindungi tanah masyarakat yang terpengaruh oleh abrasi.
Lebih lanjut, Muannas menjelaskan bahwa pada saat itu, masyarakat berjuang keras untuk mempertahankan aset mereka ketika pemerintah tidak hadir.
Oleh karena itu, ketika AGS membeli tanah tersebut, mereka justru mendapat tuduhan yang tidak tepat.
"Pagar laut itu bisa jadi pembatas warga yang tanahnya hilang. Waktu itu pemerintah enggak ada, mereka harus juang setengah mati buat mempertahankan harta bendanya. Giliran kita beli, kita disalahi," kata pengacara AGS menambahkan.

Berapa Banyak SHGB yang Tercatat di Pagar Laut Tangerang?
Data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menunjukkan bahwa terdapat 263 bidang SHGB di kawasan pagar laut Tangerang.
Dari jumlah tersebut, PT IAM memiliki 234 bidang, PT CIS memiliki 20 bidang, dan sembilan bidang lainnya dimiliki oleh individu.
Selain SHGB, terdapat juga 17 bidang yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sertifikat SHGB dan SHM di kawasan pagar laut Tangerang, Banten, dikeluarkan berdasarkan girik yang diterbitkan pada 1982.
Hal ini diungkapkan oleh Kasubag Umum dan Humas Kantor Wilayah BPN Banten, Mutmainah, dalam percakapan telepon dengan Kompas.com.
Bagaimana Proses Pendaftaran Tanah di Kawasan Pagar Laut?
Mutmainah menjelaskan bahwa informasi mengenai dasar penerbitan sertifikat di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, berasal dari girik tahun 1982.
"Kemarin sudah disampaikan di satu kesempatan bincang oleh Pak Ossy, Pak Wamen ATR/Wakil Kepala BPN, dasar penerbitan sertifikat di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, dari Girik tahun 1982," kata Mutmainah.
Pendaftaran tanah pertama kali dan pengakuan hak dilakukan pada 2023 di Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan girik, wilayah yang kini memiliki SHGB dan SHM dulunya merupakan tanah milik adat yang kemudian diakui haknya melalui proses di Kantor Pertanahan.
Tentang status tanah tersebut, apakah sebelumnya merupakan daratan yang terkena abrasi, Mutmainah menyatakan bahwa informasi tersebut belum dapat dipastikan dan memerlukan pengecekan lebih lanjut.
Ia juga menambahkan bahwa saat ini masih diperlukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (Dirjen SPPR) serta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mendapatkan data fisik yang lebih jelas.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.