Liputan Khusus

DLH Samarinda: Seluruh Izin Baru dan Permohonan Perpanjangan Kegiatan Tambang Ditolak Mulai 2026

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda mempertegas batas waktu berakhirnya era pertambangan di kota Tepian

|
Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Nur Pratama
TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI
IZIN TAMBANG - Kepala DLH Samarinda, Endang Liansyah, menjelaskan bahwa mulai 2026 tidak akan ada lagi izin baru maupun perpanjangan izin tambang di Samarinda, seiring dengan kebijakan RTRW yang menutup seluruh ruang untuk aktivitas pertambangan. Jumat (2/5/25). (TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Di tengah komitmen Pemerintah Kota Samarinda untuk keluar dari bayang-bayang industri ekstraktif, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda mempertegas batas waktu berakhirnya era pertambangan di kota ini.

Kepala DLH Samarinda, Endang Liansyah, menyatakan bahwa seluruh izin baru dan permohonan perpanjangan kegiatan tambang akan ditolak mulai tahun 2026, seiring dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2023–2042 yang menutup seluruh ruang tata wilayah untuk aktivitas pertambangan.

“Yang jelas 2026 itu tidak ada izin baru atau izin perpanjangan yang diberikan. Tapi kalau izin lama misalnya berakhir di tahun 2028, maka tetap berjalan sampai habis masanya. Setelah itu tidak bisa diperpanjang lagi,” tegas Endang pada TribunKaltim, Jumat (2/5).

Baca juga: Samarinda Bebas Tambang 2026, Andi Harun Tak Lagi Perpanjang IUP, Fokus Sektor Perdagangan dan Jasa

Pernyataan tersebut menguatkan langkah strategis Pemkot Samarinda yang sebelumnya diumumkan oleh Walikota Andi Harun, bahwa Samarinda menargetkan status bebas tambang secara penuh pada 2026.

Namun, secara teknis, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan pertambangan tetap berada dalam ranah otoritas pusat.

Endang menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), seluruh kewenangan pemberian izin tambang berada di tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sementara itu, pemantauan lingkungan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), meski dalam praktiknya, kementerian kerap melibatkan DLH daerah dalam proses pengawasan.
“Pemantauan juga dari KLHK, ada PP-nya. Kalau mereka minta, DLH bisa mendampingi. Biasanya KLHK turun dan minta didampingi DLH kota atau provinsi,” ungkapnya.

Dengan tertutupnya ruang bagi industri tambang di dalam RTRW Kota Samarinda, maka semua proses perizinan yang sebelumnya bersifat sentralistis kini harus tunduk pada satu peta nasional. Hal ini berarti, meski pengajuan izin dilakukan di tingkat pusat, jika tidak terdapat alokasi ruang tambang di dokumen RTRW, maka permohonan tersebut akan otomatis tertolak secara sistemik.

Endang juga mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 2013 hingga 2014, tercatat ada sekitar puluhan perusahaan tambang yang beroperasi di Kota Samarinda, di luar yang memiliki status PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dari jumlah tersebut, tak semua perusahaan tambang tercatat aktif melakukan kegiatan operasional.

“Kalau di Samarinda kalau tidak salah dulu ada sekitar 63 perusahaan di luar PKP2B. Namun sekitar 47 perusahaan yang aktif di Samarinda pada tahun 2013–2014,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved