Berita Nasional Terkini

Respons tak Terduga PKS Soal Pemakzulan Gibran Rakabuming, Muzzammil: Ini Cerminan Negara Demokrasi

Respons tak terduga PKS soal pemakzulan Gibran Rakabuming Raka. Muzzammil sebut pemakzulan ini cerminan negara demokrasi.

Kolase Tribun Kaltim / Kompas.com / Nicolas
PEMAKZULAN GIBRAN - Politikus PKS dan Gibran Rakabuming. Respons tak terduga PKS soal pemakzulan Gibran Rakabuming Raka. Muzzammil sebut pemakzulan ini cerminan negara demokrasi. (Kolase Tribun Kaltim / Kompas.com / Nicolas) 

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa proses pemakzulan Gibran dari posisi Wapres, yang diusulkan oleh Forum Purnawirawan TNI, harus dimulai dari DPR agar dianggap sebagai bentuk ekspresi politik yang sah. 

"Jadi, langkah pertama harus beres dulu di DPR. Dua per tiga (suara DPR) harus setuju dengan tuntutan dengan berbagai alasan dan pertimbangannya untuk dibuktikan tadi (di MK)," kata Jimly, saat ditemui di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (6/6/2025). 

Jimly mengatakan, MK memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pemakzulan, namun proses tersebut hanya dapat berjalan jika DPR menyetujui usulan itu dengan dukungan dua per tiga suara anggota DPR dan dua per tiga seluruh fraksi dalam sidang paripurna. 

Baca juga: Respons Jokowi terkait Desakan Pemakzulan Gibran, Ikuti Saja Sesuai Proses Ketatanegaraan Kita

Aturan Pemakzulan 

Diketahui, pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan Wapres diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. 

Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. 

Kemudian, Pasal 7A tersebut juga mensyaratkan pemberhentian dalam masa jabatan harus ada usulan dari DPR ke MPR RI. Pasal 7A UUD 1945 berbunyi, "Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. 

Apalagi, Pasal 7B secara jelas telah mengatur alur dari proses pemakzulan tersebut yang harus melewati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu.

Aturan mengenai pelibatan MK tersebut termaktub dalam Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. 

Dengan kata lain, sebelum diusulkan ke MK, DPR harus mengajukan ke MK terlebih dahulu untuk mendapatkan keputusan. 

Baca juga: Polemik Jejak Digital Gibran, Akun Fufufafa Disinggung di Usulan Pemakzulan dan Unfollow Akun Judol

Namun, untuk diajukan ke MK, mayoritas fraksi atau 2/3 anggota DPR harus setuju. 

Setelah ada putusan MK, baru DPR bisa mengusulkan ke MPR atau mengundang DPD, untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. 

Dalam sidang MPR itu, baru akan diputuskan bersalah dan dimakzulan. Hanya saja, ada aturan kuorum yang harus dipenuhi. 

Ketentuan pemakzulan melalui MPR termaktub dalam Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Soal Desakan Pemakzulan Gibran, PKS: Ini Cerminan Negara Demokrasi"

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved