Tribun Kaltim Hari Ini

Potensi Kerugian Capai Rp1.000 Triliun, 212 Merek Beras Diduga Oplosan, Beras Biasa Diklaim Premium

Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan menemukan 212 merek beras yang produknya tidak sesuai standar atau berisi beras oplosan.

Editor: Doan Pardede
Tribun Kaltim
BERAS OPLOSAN - Headline Tribun Kaltim 13 Juli 2025. Potensi Kerugian Capai Rp1.000 Triliun, 212 Merek Beras Diduga Oplosan, Beras Biasa Diklaim Premium.(Tribun Kaltim) 

News Analysis

Pengawasan Standar Mutu Lemah 

PENGAMAT Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) mengenai peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).

Eliza menilai adanya temuan 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 

Selain itu, ia mengatakan praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar, dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku.

"Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali- kali lipat," kata Eliza kepada Tribunnews.

Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas.

Hal ini menurutnya dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial. 

Baca juga: Harga Beras di Indonesia Termahal di ASEAN tapi Pendapatan Petani Rendah, Ini Respons Jokowi

Selain itu, kata Eliza, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, di mana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai 40 persen dari nilai tambah produk tersebut. 

Tak hanya itu, Eliza juga menyoroti kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen.

Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang. 

"Nah, pedagang yang melakukan praktik oplosan pun memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen
dirugikan banyak," jelasnya. 

Menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera. Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok.

Dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen. 

Kemudian, lanjutnya, untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan.

"Adanya sertifikasi ini akan meningkaktkan traceability sehingga konsumen tau beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya," katanya.
(tribun network/ibr/dod)

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved