OPINI
Belajar dari Kasus Bupati Pati: Perlunya Kepala Daerah Memahami Proses Pengambilan Kebijakan
Belajar dari kasus Bupati Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.
BELAJAR DARI KASUS BUPATI PATI: Perlunya Kepala Daerah Memahami Proses Pengambilan Kebijakan
Oleh: Dr. Drs. Moh. Jauhar Efendi, M.Si., CH.Ps., Widyaiswara Ahli Utama BPSDM Kaltim. Mantan Camat Babulu dan Penajam, mantan Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Prov Kaltim, dan mantan Pjs. Bupati Kutai Timur.
Dalam kurun waktu satu minggu ini, media mainstream maupun media sosial (mendsos) menyuguhkan berita yang cukup viral, yaitu upaya Pemerintah Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.
Sebenarnya kenaikan PBB tersebut sudah berlaku sejak Bulan Mei 2025. Namun, kebijakan kenaikan pajak tersebut memicu perlawanan atau protes dari masyarakat.
Bupati Pati, Sudewo, beralasan kebijakan kenaikan PBB ini perlu, karena PBB di Pati sudah tidak pernah naik selama 14 tahun dan pendapatan daerah tertinggal dari Kabupaten tetangga (lihat nasional.kompas.com, tanggal 7 Agustus 2025).
Baca juga: Bupati Pati Sudewo dan Rekam Jejak Kasus yang Tak Kunjung Lenyap: Minta Maaf, Tapi Tetap Didemo
Jika merujuk pada Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Retribusi (UU PDRD) memang dimungkinkan pemerintah daerah menaikkan pajak daerah maupun retribusi daerah.
Hanya saja menurut Wakil Ketua Komisi II DPR-RI, Dede Yusuf, kenaikannya tidak boleh melebihi 50 persen.
Kalau naiknya di atas 50 persen dianggap tidak wajar, dan termasuk katagori maladministrasi (lihat detiknews, 8/8/2025).
Masyarakat yang tidak setuju dengan kenaikan PBB-P2 melakukan penggalangan donasi sejak tanggal 1 Agustus 2025.
Rencana demo akan dilaksanakan tanggal 13 Agustus 2025, di Alun-Alun Kabupaten Pati. Donasi yang dikumpulkan tidak boleh dalam bentuk uang, tetapi hanya logistik berupa minuman dan makanan.
Posko donasi didirikan di depan pagar Kompleks Kantor Bupati Pati.
Namun pada tanggal 5 Agustus 2025. Plt. Sekretaris Daerah Kabupaten Pati, Riyoso memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menyita donasi warga masyarakat, berupa air mineral sebanyak 50 dus, dan diangkut mobil Satpol PP.
Sempat terjadi ketegangan antara Plt. Sekda Pati dengan Koordinator Lapangan (Korlap).
Selanjutnya masyarakat yang mengumpulkan donasi menggeruduk Kantor Satpol PP agar mengembalikan air mineral yang diangkut oleh mobil Satpol PP.
Bupati Pati, Sudewo, mengatakan, dia tidak akan mundur dalam pengambilan kebijakan, karena maksud menaikkan PBB-P2 sebesar 250 persen untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) untuk pembangunan infrastruktur, seperti memperbaiki jalan yang rusak, renovasi rumah sakit dan lain-lain.
Baca juga: Kenaikan PBB 250 Persen di Pati Batal, Pakar Undip: Bupati Sudewo Harus Dengar Rakyat Kalau Mau Aman
Lebih lanjut, Sudewo menjelaskan, bahwa kenaikan tarif PBB yang 250 persen itu batas maksmimal, akibat kenaikan NJOP (nilai jual obyek pajak). Ada yang naik antara 0 – 10 persen, 10 sampai 20 persen dan 20 sampai 30 persen.
Sudewo mengklaim, hingga pertengahan Bulan Juni 2025 sekitar 50persen wajib pajak sudah bayar PBB yang dinaikkan tanpa protes.
Sudewo juga mengklaim, bahwa terbitnya Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2024 tentang Besaran Persentase dan Pertimbangan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), merupakan turunan dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ia juga mengklaim turunnya Perbub dimaksud sudah mendapatkan persetujuan dari Gubernur maupun Mendagri, makanya Perbub tersebut setelah secara prosedural memenuhi persyaratan, kemudian diberlakukan.
Mengacu pada fakta-fakta di lapangan, menurut penulis, mencuatnya kegaduhan tersebut adalah dampak dari cara berkomunikasi dan tindakan di lapangan yang kurang mengedepankan pendekatan soft humanis. Pelaksana Tugas (Plt.)
Sekda Pati, Riyoso, yang turun di lapangan, berdasarkan video yang beredar, tidak mengedepankan pendekatan ”pamong praja”, yang lebih bersifat melindungi.
Tetapi justru mengedepankan pendekatan ”pangreh praja”, yaitu mengedepankan pendekatan kekuasaan.
Plt. Sekda lah yang memerintahkan Plt. Kepala Satpol PP untuk menyita donasi dari warga masyarakat yang sudah susah payah dikumpulkan selama beberapa hari.
Selain itu, kalimat Bupati Pati yang mengatakan ”Silakan kalau ada pihak-pihak yang mau demo, silakan. Saya tidak akan gentar, tidak akan mundur satu langkah. Lima ribu atau Lima puluh ribu massa, silakan”.
Pernyataan yang diunggah akun TikTok @ekosuswanto09 ini memicu reaksi luas, terutama jelang demo besar tanggal 13 Agustus 2025.
Pada tanggal 7 Agustus 2025, Bupati sudah memohon maaf dan melakukan klarifikasi. Ia mengatakan, bahwa ”ia tidak menantang rakyat, mosok rakyat saya tantang”.
Baca juga: Bupati Pati Batalkan Kenaikan PBB 250 Persen, Alasan Demo 13 Agustus 2025 Tetap akan Dilaksanakan
Selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 2025, Sudewo mengumumkan pembatalan kenaikan PBB 250persen melalui konferensi pers.
”Kami menyampaikan bahwa mencermati perkembangan situasi dan kondisi serta mengakomodir aspirasi yang berkembang, saya memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan PBB-P2 sebesar 250persen” (lihat Inews.id, 9/8).
Persoalannya situasi di lapangan sudah berbeda.
Masyarakat tetap akan menggelar demo dengan jumlah massa yang besar, sesuai dengan tantangan Bupati Pati.
Bahkan, isu tuntutan sudah mulai bergeser, dari ”pembatalan kenaikan tarif PBB, ke arah isu pelengseran Sudewo sebagai Bupati Pati”.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Diponegoro, sudah mengingatkan agar isu kenaikan PBB-P2 tidak melebar ke mana-mana.
Pemahaman tentang proses pengambilan kebijakan juga harus dipahami secara benar oleh pucuk pimpinan. Pengambilan kebijakan itu tidak boleh dengan cara ”trial and error”.
Mencoba dan gagal.
Pengambilan kebijakan harus mendasarkan data yang sahih.
Data yang tepat dan akurat.
Sebaiknya proses formulasi kebijakan, apalagi menyangkut pungutan mesti dilakukan diskusi publik.
Kumpulkan semua pemangku kepentingan serta masyarakat yang tergabung dalam berbagai komunitas, agar kebijakan yang akan diambil bisa disampaikan secara benar dan tidak bias.
Di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat, situasi di lapangan harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh para pimpinan daerah.
Kepala daerah tidak boleh gegabah dalam mengambil kebijakan.
Kendatipun kebijakan tersebut sudah bisa diputuskan, tetapi perlu adanya masa inkubasi, yaitu masa atau waktu pengendapan, sehingga tugas pemerintah adalah bagaimana memaksimalkan dampak positif dari sebuah kebijakan, dan meminimalkan dampak negatif dari sebuah kebijakan.
Selain itu, kebijakan yang membebani masyarakat haruslah realistis dengan kondisi riil kemampuan masyarakat. Jadi sebuah kebijakan tersebut tidak boleh asal jadi.
Belajar dari kasus kegaduhan di Kabupaten Pati, moga bisa menjadi pelajaran bagi semua pimpinan dalam semua tingkatan atau jenjang apapun untuk mau belajar bagaimana cara melakukan komunikasi yang efektif, dengan menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan serta memahami bagaimana proses pengambilan kebijakan secara ilmiah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.