Demo Tolak UU Cipta Kerja

Proses Hukum 2 Orang Masih Tetap Berjalan dalam Dugaan Demo Anarkis di Samarinda

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Press Release yang digelar Polresta Samarinda terkait massa aksi yang diamankan di gedung vicon lantai tiga, Polresta Samarinda Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Karang Asam Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur, pada Jumat (6/11/2020) lalu. TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD FAIROUSSANIY

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Usai aksi unjuk rasa yang digelar massa aksi dari Aliansi Mahakam Kalimantan Timur, pada Kamis (5/11/2020) lalu, di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur ( DPRD Kaltim ), jajaran Polresta Samarinda mengamankan sembilan orang yang diduga melakukan aksi di luar kepatutan mahasiswa semestinya.

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Arif Budiman, melalui Kasat Reskrim Polresta Samarinda, Kompol Yuliansyah menegaskan, dari sembilan orang, tujuh orang lain sudah dipulangkan usai dilakukan pemeriksaan secara intensif. 

Selain itu ditanya terkait penambahan pelaku lain dari massa aksi yang tadinya sembilan menjadi 12 orang (sesuai press rilis dari pihak Aliansi, pada Sabtu malam kemarin), Kompol Yuliansyah menjawab tidak ada, hanya dua orang saja yang tetap dilakukan penahanan dan diproses secara hukum terkait perkara yang menjeratnya.

"Nggak ada (penambahan hingga 12 orang). Sampai saat ini tercatat sembilan orang, nah tujuh orang sudah dipulangkan. Dua orang lain tetap lanjut (proses hukum) dan ditetapkan tersangka," sebutnya, Minggu (8/11/2020).

Baca Juga: ASN Wajib Netral, Ketua DPRD Balikpapan Abdulloh Keluarkan Maklumat

Baca Juga: Polres PPU Ringkus 3 Pelaku Pengedar Narkoba di Sotek Penajam Paser Utara

Baca Juga: Grebek Kampung Narkoba, BNNK Samarinda Tidak akan Berhenti Pada Dua Pelaku Saja

Baca Juga: BREAKING NEWS Aksi Damai di Depan Kantor Gubernur Kaltim, Serukan Boikot Produk Prancis

Dasar dua orang yang ditetapkan tersangka ini, terkait dengan kasus berbeda, satu orang tersangka atas kepemilikan sajam tersebut, sedangkan satu lainnya tentang penganiayaan.

Disinggung adanya keterkaitan pelaku lainnya, Kompol Yuliansyah menerangkan, masih memeriksa berdasar foto dan video milik kepolisian saat press rilis Jumat (6/11/2020) berdurasi 2 menit 03 detik, saat massa aksi melakukan tindakan yang dianggap pihaknya mengarah kepada pengerusakan, anarkis dan provokasi.

Berdasar hasil penyelidikan, ia menyebut tiga orang lain terindikasi.

"Masih dicari lagi, kita masih mencari dari gambar-gambar, foto-foto, dan video. Berdasar petunjuk, masih dugaan, ada sekitar tiga orang," terang Kompol Yuliansyah.

Dia juga merincikan, terkait pasal penganiayaan yang disangkakan pada satu tersangka, ia memaparkan satu petugas teraniaya terkena lemparan batu dari tersangka yang kami tahan.

"Satu polisi yang terluka (korban). Tersangka yang melempar, buktinya dari video. Saat melempar dan terkena, ada sarafnya yang kena, saraf mata." tutup Kompol Yuliansyah.

Pandangan Pengamat tentang Pengamanan Kepolisian

Pengamat Hukum Kalimantan Timur yang juga Dosen Hukum Fakultas Universitas Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menilai, pengamanan jalannya aksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian saat aksi mengemukakan pendapat di muka umum pada Kamis (5/11/2020) lalu, di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, tak sejalan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008.

Tentang Pengamanan dan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Pengamanan tersebut dinilai melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP)

Castro, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa pengamanan aksi yang dilakukan pihak kepolisian, tidak seharusnya dengan tindakan represif.

Mahasiswa yang disebut-sebut kepolisian melakukan tindakan anarkis, seharusnya tidak semestinya diamankan dengan tindakan represif oleh petugas berpakaian sipel seperti video berdurasi 1 menit 54 detik, yang beredar.

Castro menyebut, tindakan yang disebutnya vandalisme ini semestinya kepolisian mengamankan dengan mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ya pasti pihak kepolisian akan sebut sudah sesuai dengan SOP. Tapi fakta di lapangan tidak begitu. Didalam Perkap Nomor 9 Tahun 2008, itu kan mestinya yang dikejar itu mereka-mereka yang melakukan vandalisme (anarkis)," tegas Castro, Minggu (8/11/2020).

Baca Juga: Indonesia Resmi Resesi, Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal III 2020 Minus 3,49 Persen

Baca Juga: Satpol PP Kukar Segel Tower Tidak Berizin di Tenggarong Kutai Kartanegara

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Tarakan, Tambah 4 Kasus Konfirmasi Positif Covid-19

Baca Juga: Bayi Hidrosefalus di Berau Dirawat di Rumah Sederhana, Butuh Biaya Besar untuk Operasi

Fakta terbalik menurutnya, tentang proses pengamanan, Castro menyebut berbanding terbalik dengan peraturan yang sudah dibuat sendiri oleh Korps Bhayangkara.

"Proses pengamanannya pun tidak serta merta dengan kekerasan bahkan bisa dikatakan penganiayaan. Kan faktanya terbalik," sebutnya.

Pria berkacamata ini juga menjelaskan, semestinya aparat penegak hukum bisa membedakan anatra pelaku vandalisme dengan pelaku unjuk rasa yang sama sekali tidak melanggar ketentuan hukum.

Pengamanan tidak bisa diberlakukan secara rata bahwa mereka semua melakukan vandalisme.

Baca Juga: Pakar Ekspresi Menganalisis Gestur Gisel Saat Buka Suara tentang Video Syur Mirip Dirinya

Baca Juga: Pria Asal Tangerang Rudapaksa Wanita 21 Tahun di Kebun, Modus Ramal Membaca Garis Tangan

"Kekhawatiran saya mulai dari Kapolri, Kapolda, Kapolres dan jajarannya malah lupa dengan peraturannya sendiri. Yang dibuat kan sudah jelas. Mesti dibedakan jangan sapu rata tanpa pandang bulu," tegas Castro.

Sorotan Castro juga tertuju pada massa aksi yang ditetapkan tersangka.

Menurutnya, polisi harus menyertakan uraian peristiwa hukum yang ada, jika ada terjadi penganiayaan juga harus menyebutkan siapa korbannya.

Untuk disebut sebagai tindakan penganiayaan harus dijelaskan dalam uraian hukum. Kenanya siapa, lukanya apa.

"Jadi belum bisa dikonfirmasi adanya penganiayaan atau tidak karena belum dijelaskan," terangnya. 

Baca Juga: Indonesia Resmi Resesi, Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal III 2020 Minus 3,49 Persen

Baca Juga: Satpol PP Kukar Segel Tower Tidak Berizin di Tenggarong Kutai Kartanegara

Baca Juga: UPDATE Virus Corona di Tarakan, Tambah 4 Kasus Konfirmasi Positif Covid-19

Baca Juga: Bayi Hidrosefalus di Berau Dirawat di Rumah Sederhana, Butuh Biaya Besar untuk Operasi

Ia juga menilai aneh, salah satu massa unjuk rasa ditetapkan tersangka penganiayaan namun beberapa oknum diduga polisi berpakaian sipil tak dijerat hal serupa. 

Justru aneh, menurut saya jika ditetapkan pasal penganiayaan tetapi banyak mereka yang diduga aparat berpakaian sipil atau intelejen itu melakukan penganiayaan.

"Saya pikir itu bukan lagi pengamanan ujuk rasa, itu penganiayaan. Apalagi, dilakukan yang berpakaian sipil," tandas Castro.

(Tribunkaltim.co/Mohammad Fairoussaniy)

Berita Terkini