TRIBUNKALTIM.CO - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tersisa beberapa bulan lagi sebelum Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI.
Jelang berakhirnya pemerintahan Jokowi, kondisi perekonomian Indonesia menjadi sorotan terkait dengan besarnya utang yang bakal diwariskan pada Prabowo Subianto.
Besarnya warisan utang Jokowi pada Prabowo ini menjadi sorotan bahkan ekonom juga mengingatkan sejumlah utang besar yang bakal jatuh tempo di tahun 2025 nanti.
Besarnya nilai utang pemerintah menjadi perhatian sejumlah kalangan.
Baca juga: Beban Utang dan Defisit Anggaran jadi Beban di APBN Pertama yang Ditanggung Kabinet Prabowo-Gibran
Baca juga: Tantangan Menkeu Kabinet Prabowo-Gibran, Gambaran APBN Pertama: Beban Utang hingga Defisit Anggaran
Baca juga: Fakta! Utang Negara Rp 8.000 Triliun Jadi Warisan Jokowi ke Pemerintah Prabowo dan Gibran
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah hingga April 2024 ini mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Posisi utang pemerintah jauh lebih tinggi ketimbang lima tahun lalu.
Per akhir 2019, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 4.779,28 triliun.
Sementara utang tersebut naik sebesar Rp 76,33 triliun dibandingkan bulan Maret 2024.
Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,64 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Kamis (6/6/2024) kemarin mengatakan, posisi utang pemerintah tersebut masih dalam kondisi aman.
Menurut Sri Mulyani, rasio utang Indonesia tersebut lebih rendah jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (60,4 persen), Thailand (61 persen), India (88,5 persen), hingga Argentina (85 persen).
Bahkan Sri Mulyani menyebut, dalam kondisi 10 tahun yakni pada tahun 2012 ke 2022, hampir semua negara mengalami lonjakan rasio utang.
"Kita lihat hampir G20 semua naik dari sisi debt GDP ratio, even seperti negara Rusia dalam hal itu.
Saudi pun juga kenaikan dari utangnya karena mereka ingin membangun," katanya seperti dikutip TribunKaltim.co dari kontan.co.id.
Mantan Direktur Bank Dunia ini menjelaskan, meski pada tahun 2020 angka defisit melonjak, namun pemerintah bisa melakukan konsolidasi fiskal dalam waktu yang segera.
Baca juga: Terjawab Alasan Indonesia Tambah Utang Baru Lagi, Sri Mulyani Ungkap Jumlahnya Ratusan Triliun