Berita Nasional Terkini
Alasan Golkar Pasang Badan untuk Setnov yang Terjerat Kasus Korupsi e-KTP dan Kini Bebas Bersyarat
Sikap Golkar yang pasang badan untuk Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi e-KTP dan kini bebas bersyarat tuai sorotan.
Pada tahun 1999, Setya Novanto terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar.
Ia lantas terpilih sebagai anggota dewan, hingga tahun 2009 menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar.
Politisi Partai Golkar itu, juga pernah menjadi Ketua DPR RI periode 2014-2019.
Terjerat Kasus Korupsi E-KTP
Namun, di tengah masa jabatannya, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto ini, berawal dari kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Saat itu, Nazaruddin mengungkap adanya aliran uang korupsi proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang diduga kecipratan uang senilai 2,6 juta dollar AS.
Baca juga: Anak Setya Novanto Lolos ke DPR RI, Pengamat Soroti Karakter Pemilih Indonesia Transaksional
Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus ini, menguat setelah namanya disebut dalam sidang.
Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Dari total anggaran tersebut, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek.
Sementara sisanya, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Berdasarkan fakta persidangan tersebut, KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Dalam perkembangannya, Setya Novanto lantas melakukan upaya perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada 29 September 2017 hakim mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dan menyatakan penetapan tersangka Novanto tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
KPK terus mengusut kasus Setya Novanto serta kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Tak tinggal diam, Setya Novanto kembali mengajukan praperadilan pada 10 November 2017.
Namun, proses hukum Setya Novanto ini diwarnai berbagai drama.
Pasalnya, sejak ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI tak pernah memenuhi panggilan KPK dengan berbagai alasan.
Mulai dari sakit hingga meminta KPK menunggu proses praperadilan selesai.
Hingga akhirnya KPK mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 November 2017.
Namun, upaya paksa KPK saat itu tidak berhasil membawa Setya Novanto.
Drama Kecelakaan hingga Aksi di Sidang Perdana
Pada 17 November 2017, Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak menabrak tiang lampu.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, Jakarta Barat.
Saat itu, pengacara membuat pernyataan bila kepala Setya Novanto mengalami benjolan sebesar bakpao.
Akibat drama tersebut, pengacara Fredrich Yunadi dijatuhi hukum terkait kasus perintangan penyidikan.
Selanjutnya, KPK menjemput Setya Novanto dari Rumah Sakit, kemudian mengantarnya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan karena mengalami luka-luka saat kecelakaan.
Selanjutnya, Setya Novanto ditahan KPK pada 19 November 2017.
Saat menjalani sidang perdana pada 13 Desember 2017, Setya Novanto kembali berulah.
Ia tak mau berbicara sama sekali dan memperlihatkan raut orang yang sedang dalam kondisi tidak sehat.
Padahal, hasil pemeriksaan dokter, Setya Novanto dinyatakan sehat dan bisa menjalani persidangan.
Upaya tersebut, diduga dalam rangka mengulur waktu karena pada waktu bersamaan PN Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang diajukan Setya Novanto.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Setya Novanto diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Majelis hakim juga mencabut hak politik Setya Novanto selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Selanjutnya, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum.
Melalui kuasa hukumnya, Novanto mengajukan Peninjauan Kembali pada Rabu (28/8/2019).
Perkara tersebut diregistrasi Mahkamah Agung pada 6 Januari 2020 selanjutnya Permohonan PK didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020.
Permohonan PK diputus dalam waktu yang lama kurang lebih 1.956 hari.
Mahkamah Agung mengabulkan PK Setya Novanto.
Perkara nomor: 32 PK/Pid.Sus/2020 yang diajukan Setya Novanto diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Surya Jaya dengan hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono.
Panitera Pengganti Wendy Pratama Putra.
Putusan dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
Dengan putusan PK tersebut Setya Novanto dihukum lebih ringan dari vonis, yakni menjadi 12 tahun dan 6 bulan dari yang semula 15 tahun penjara.
Setya Novanto menjadi warga binaan Lapas Sukamiskin atas kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999.
Bebas Bersyarat
Seiring perkembangan, Setya Novanto mendapatkan pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025.
Pemberian pembebasan bersyarat kepada Setya Novanto dilakukan setelah ia dinyatakan memenuhi syarat substantif dan administratif, termasuk telah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana, berkelakuan baik, serta aktif mengikuti program pembinaan selama menjalani hukuman.
Meski bertepatan peringatan HUT RI, Ditjenpas menegaskan, pembebasan bersyarat ini bukan bagian dari program remisi khusus kemerdekaan, melainkan hasil dari proses hukum sesuai prosedur.
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.