Berita Nasional Terkini
Alasan Golkar Pasang Badan untuk Setnov yang Terjerat Kasus Korupsi e-KTP dan Kini Bebas Bersyarat
Sikap Golkar yang pasang badan untuk Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi e-KTP dan kini bebas bersyarat tuai sorotan.
TRIBUNKALTIM.CO - Sikap Partai Golkar yang pasang badan untuk mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) yang terjerat kasus korupsi KTP Elektronik (e-KTP) dan kini bebas bersyarat menuai sorotan.
Di tengah kritik dari pegiat antikorupsi dan akademisi, Partai Golkar justru memilih untuk membela eks Ketua Umum mereka yang pernah divonis dalam kasus korupsi e-KTP.
"Jadi bukan soal pantas atau tidak pantas. Tapi, memang itu hak yang memang dimiliki yang dia lakukan. Dia menjalankan haknya saja," ujar Wakil Ketua Umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (18/8/2025).
Ia menegaskan bahwa Golkar tidak mengintervensi proses hukum.
Baca juga: Moeldoko Cium Motif Politik Dibalik Pengakuan Agus Rahardjo Soal Jokowi Minta Stop Kasus Setnov
“Kami hanya menghormati keputusan hukum yang berlaku. Kalau sudah diputuskan oleh lembaga resmi, ya kami terima,” katanya.
Setya Novanto atau Setnov merupakan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP Kemendagri tahun anggaran 2011–2013, yang merugikan negara Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun.
Ia menerima gratifikasi berupa 7,3 juta dolar AS dan sebuah jam tangan mewah Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS.
Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Juli 2017, sempat menang praperadilan, namun kembali ditetapkan pada November dan ditahan setelah sempat menghilang dan mengalami kecelakaan mobil.

Pada April 2018, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti.
Hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Tanpa mengajukan banding atau kasasi, Setnov kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung pada Juni 2025.
Hukuman dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan.
Ia juga menerima remisi total 28 bulan 15 hari, sehingga dinyatakan memenuhi syarat administratif dan substantif untuk bebas bersyarat.
Namun, pembebasan ini menuai kritik dari berbagai pihak.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebutnya sebagai “kado buruk bagi pemberantasan korupsi.”
Ia menilai keputusan ini bertolak belakang dengan pidato Presiden Prabowo yang menjanjikan komitmen besar melawan korupsi.
“Janji Presiden terasa hambar ketika dunia penegakan hukum kita justru bermain dengan hukuman bagi pelaku yang sudah divonis,” ujarnya.
Lucius menyebut ironi ini sebagai “suguhan tak lucu” di tengah perayaan HUT ke-80 RI.
“Kita pun jadi makin sadar, bahwa omongan paling berani soal pemberantasan korupsi bisa jadi tinggal omon-omon saja,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa jika pemerintah serius, maka tak boleh ada revisi, amnesti, atau pembebasan bersyarat bagi koruptor.
“Dengan pembebasan bersyarat Novanto ini, jalan menuju pembebasan bangsa dari korupsi nampaknya semakin jauh,” pungkasnya, seperti dilansir Tribunnews.com di artikel berjudul Golkar Pasang Badan untuk Setnov usai Bebas Bersyarat: Bukan Soal Pantas atau Tidak.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut pembebasan Setnov sebagai “tamparan bagi gerakan antikorupsi.”
Ia menilai bahwa meskipun secara hukum sah, secara moral keputusan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.
Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Pesan yang tersampaikan justru berbahaya: bahwa korupsi bisa dinegosiasikan,” tegasnya.
Senada, Yudi Purnomo Harahap menyoroti dampak pencabutan PP No. 99/2012 yang membuka celah bagi koruptor non-justice collaborator untuk tetap mendapat remisi. Ia menekankan pentingnya kesadaran moral hakim.
“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa,” pungkasnya.
Meski sah secara hukum, publik bertanya: apakah keadilan cukup ditegakkan lewat prosedur semata? Korupsi tetap menjadi luka terbuka dalam demokrasi kita—dan setiap kompromi hanya memperdalamnya.
Baca juga: Alasan Setya Novanto Bebas Bersyarat, Formappi: Pemberantasan Korupsi Bisa Jadi Tinggal Omon-omon
Profil Setya Novanto
Dikutip dari Tribunnews.com di artikel berjudul Profil Setya Novanto, Eks Ketua DPR Terjerat Kasus KTP Elektronik Ditahan 2017 Kini Bebas Bersyarat, Setya Novanto merupakan pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, pada 12 November 1955. Tahun ini, memasuki usia 70 tahun.
Ia lahir pasangan R Soewondo Mangunratsongko dan Julia Maria Sulastri.
Mengenai akademisnya, Setya Novanto menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar (SD) di Bandung, Jawa Barat.
Ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia pindah ke Jakarta. Ia sekolah di SMP Negeri 73 Tebet.
Pada tahun 1970, ia masuk ke SMA Negeri 9 Jakarta.
Dikutip dari TribunnewsWiki.com, Setya Novanto melanjutkan pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, jurusan akuntansi.
Di kampus tersebut, ia lulus pada tahun 1979.
Kemudian, Setya Novanto melanjutkan pendidikan di Universitas Trisakti Jakarta jurusan akuntansi manajemen dan selesai pada tahun 1983.
Perjalanan Karier
Setya Novanto pernah bekerja sebagai sopir dan pembantu rumah tangga.
Pekerjaan itu, dilakukannya ketika sedang menempuh pendidikan di Universitas Trisakti.
Bahkan, Setya Novanto menumpang di rumah keluarga Hayono Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga.
Ia bertugas mengantar anak-anak Hayono Isman ke sekolah, mencuci baju, dan membersihkan lantai rumah.
Sementara itu, untuk membiayai hidup ketika kuliah di Universitas Widya Mandala Surabaya, Setya Novanto berjualan beras.
Kehidupan mulai berubah setelah ia lulus kuliah.
Pada tahun 1987, Setya Novanto menjadi Komisaris Utama PT Nagoya Plaza Hotel, yang diemban hingga tahun 2004.
Pada tahun 1999, Setya Novanto terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar.
Ia lantas terpilih sebagai anggota dewan, hingga tahun 2009 menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar.
Politisi Partai Golkar itu, juga pernah menjadi Ketua DPR RI periode 2014-2019.
Terjerat Kasus Korupsi E-KTP
Namun, di tengah masa jabatannya, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto ini, berawal dari kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Saat itu, Nazaruddin mengungkap adanya aliran uang korupsi proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang diduga kecipratan uang senilai 2,6 juta dollar AS.
Baca juga: Anak Setya Novanto Lolos ke DPR RI, Pengamat Soroti Karakter Pemilih Indonesia Transaksional
Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus ini, menguat setelah namanya disebut dalam sidang.
Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Dari total anggaran tersebut, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek.
Sementara sisanya, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Berdasarkan fakta persidangan tersebut, KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Dalam perkembangannya, Setya Novanto lantas melakukan upaya perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada 29 September 2017 hakim mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dan menyatakan penetapan tersangka Novanto tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
KPK terus mengusut kasus Setya Novanto serta kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Tak tinggal diam, Setya Novanto kembali mengajukan praperadilan pada 10 November 2017.
Namun, proses hukum Setya Novanto ini diwarnai berbagai drama.
Pasalnya, sejak ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI tak pernah memenuhi panggilan KPK dengan berbagai alasan.
Mulai dari sakit hingga meminta KPK menunggu proses praperadilan selesai.
Hingga akhirnya KPK mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 November 2017.
Namun, upaya paksa KPK saat itu tidak berhasil membawa Setya Novanto.
Drama Kecelakaan hingga Aksi di Sidang Perdana
Pada 17 November 2017, Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak menabrak tiang lampu.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, Jakarta Barat.
Saat itu, pengacara membuat pernyataan bila kepala Setya Novanto mengalami benjolan sebesar bakpao.
Akibat drama tersebut, pengacara Fredrich Yunadi dijatuhi hukum terkait kasus perintangan penyidikan.
Selanjutnya, KPK menjemput Setya Novanto dari Rumah Sakit, kemudian mengantarnya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan karena mengalami luka-luka saat kecelakaan.
Selanjutnya, Setya Novanto ditahan KPK pada 19 November 2017.
Saat menjalani sidang perdana pada 13 Desember 2017, Setya Novanto kembali berulah.
Ia tak mau berbicara sama sekali dan memperlihatkan raut orang yang sedang dalam kondisi tidak sehat.
Padahal, hasil pemeriksaan dokter, Setya Novanto dinyatakan sehat dan bisa menjalani persidangan.
Upaya tersebut, diduga dalam rangka mengulur waktu karena pada waktu bersamaan PN Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang diajukan Setya Novanto.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Setya Novanto diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Majelis hakim juga mencabut hak politik Setya Novanto selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Selanjutnya, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum.
Melalui kuasa hukumnya, Novanto mengajukan Peninjauan Kembali pada Rabu (28/8/2019).
Perkara tersebut diregistrasi Mahkamah Agung pada 6 Januari 2020 selanjutnya Permohonan PK didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020.
Permohonan PK diputus dalam waktu yang lama kurang lebih 1.956 hari.
Mahkamah Agung mengabulkan PK Setya Novanto.
Perkara nomor: 32 PK/Pid.Sus/2020 yang diajukan Setya Novanto diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Surya Jaya dengan hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono.
Panitera Pengganti Wendy Pratama Putra.
Putusan dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
Dengan putusan PK tersebut Setya Novanto dihukum lebih ringan dari vonis, yakni menjadi 12 tahun dan 6 bulan dari yang semula 15 tahun penjara.
Setya Novanto menjadi warga binaan Lapas Sukamiskin atas kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999.
Bebas Bersyarat
Seiring perkembangan, Setya Novanto mendapatkan pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025.
Pemberian pembebasan bersyarat kepada Setya Novanto dilakukan setelah ia dinyatakan memenuhi syarat substantif dan administratif, termasuk telah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana, berkelakuan baik, serta aktif mengikuti program pembinaan selama menjalani hukuman.
Meski bertepatan peringatan HUT RI, Ditjenpas menegaskan, pembebasan bersyarat ini bukan bagian dari program remisi khusus kemerdekaan, melainkan hasil dari proses hukum sesuai prosedur.
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.