Demo di Jakarta

Ahmad Sahroni, Uya Kuya hingga Nafa Urbach Masih Anggota DPR Meski Dinonaktifkan, Masih Terima Gaji

Ahmad Sahroni, Uya Kuya hingga Nafa Urbach masih anggota DPR meski status dinonaktifkan. Banggar DPR menyebut masih terima gaji dan tunjangan

|
Editor: Amalia Husnul A
Tribunnews.com
ANGGOTA DPR - Dari kiri ke kanan: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patro dan Adies Kadir, lima anggota DPR RI yang dinonaktifkan partainya. Meski status nonaktif namun kelimanya masih anggota DPR RI. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR menyebut kelimanya masih terima gaji dan tunjangan hingga resmi ada Pergantian Antar Waktu (PAW). (Tribunnews.com) 

Pemberhentian itu pun ada syaratnya, misalnya tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan selama tiga bulan tanpa keterangan, melanggar sumpah jabatan, hingga dijatuhi pidana minimal lima tahun.

“(Syarat lain) diusulkan oleh partai politiknya, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, melanggar larangan dalam UU MD3, diberhentikan sebagai anggota partai politik, atau menjadi anggota partai politik lain,” kata Titi.

Mekanisme tersebut, lanjut Titi, dibuat agar tidak ada kursi baru di luar hasil pemilu.

Selain PAW, UU MD3 juga mengatur pemberhentian sementara, yakni ketika seorang anggota DPR menjadi terdakwa perkara tindak pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara atau kasus khusus seperti korupsi dan terorisme.

“Kalau putusan pengadilan menyatakan bersalah, barulah yang bersangkutan diberhentikan tetap.

Jika tidak bersalah, maka statusnya dipulihkan.

Selama pemberhentian sementara, anggota DPR tetap memperoleh sebagian hak keuangan,” ujar Titi. 

Penonaktifan timbulkan kerancuan

Dengan demikian, Titi berpandangan bahwa istilah “nonaktif” yang digunakan partai politik hanya berdampak internal pada hubungan kader dengan partainya, bukan pada status hukum anggota DPR.

Terlebih lagi, belum ada kepastian apakah partai politik telah secara resmi mengusulkan pemberhentian kadernya dari anggota dewan ke pimpinan DPR RI.

Para kader juga tidak diberhentikan dari keanggotaan partai politik.

“Dari perspektif akuntabilitas publik, penggunaan istilah nonaktif adalah di luar koridor UU MD3 dan Tatib DPR, sehingga bisa menimbulkan kerancuan bagi publik.

Agar lebih jelas dan demi menjaga kepercayaan masyarakat, maka partai politik harus mempertegas apa yang dimaksud dengan penonaktifkan tersebut.

Serta menjelaskan kepada masyarakat konsekuensi dari penonaktifan terhadap status dan hak keanggotaan dari anggota DPR yang dinonaktifkan itu,” ungkap Titi.

Eks Direktur Eksekutif Perludem itu menambahkan, yang lebih dibutuhkan saat ini adalah perbaikan mekanisme akuntabilitas.

Salah satunya melalui gagasan “recall” oleh konstituen, agar wakil rakyat yang bermasalah bisa diganti berdasarkan aduan pemilih, bukan semata keputusan elite partai.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved