Dugaan Korupsi Kuota Haji
PBNU Bantah Terlibat Korupsi Kuota Haji Kemenag, Minta KPK Ungkap Nama, Bukan Institusi
PBNU bantah terlibat korupsi kuota haji, minta KPK ungkap nama, bukan institusi.
TRIBUNKALTIM.CO - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas membantah tudingan bahwa pihaknya menerima aliran dana dari kasus korupsi kuota haji yang tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus dugaan korupsi haji yang mencuat sejak 2024 hingga 2025 ini disebut sebagai salah satu skandal besar yang melibatkan pejabat tinggi Kementerian Agama dan sejumlah pihak swasta.
Kuota haji merupakan batas jumlah jemaah yang diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah dalam satu tahun, berdasarkan alokasi resmi dari Pemerintah Arab Saudi kepada setiap negara.
Sedangkan kuota haji tambahan, adalah kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi di luar jumlah reguler.
Ketua Tanfidziyah PBNU, Ahmad Fahrur Rozi atau yang akrab disapa Gus Fahrur, meminta KPK untuk menyebutkan secara jelas nama-nama individu yang terlibat, bukan menyebut institusi secara umum.
Baca juga: KPK Ungkap Modus Korupsi Kuota Haji Tambahan 2024, Memanfaatkan SK Menteri Agama
“Saya sudah menyampaikan bantahan keras terkait berita aliran dana haji ke PBNU dan meminta KPK melakukan klarifikasi agar tidak menjadi fitnah. Secara organisasi, sudah saya cek, tidak ada kaitan dana tersebut ke bendahara PBNU,” ujar Gus Fahrur, Minggu (14/9/2025).
Gus Fahrur menilai bahwa pernyataan publik dari KPK yang tidak diikuti dengan tindakan hukum konkret justru menimbulkan kerugian besar, baik bagi institusi yang disebut maupun masyarakat luas.
“Pertama, kerugian reputasi bagi institusi yang disebut-sebut. Kedua, kerugian bagi masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya asas due process of law dalam penegakan hukum, termasuk hak-hak individu yang disebut dalam dugaan perkara.
Due process of law secara harfiah berarti proses hukum yang adil.
Ini adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum yang menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlakuan hukum yang adil, tidak sewenang-wenang, dan sesuai prosedur.
Dilansir dari hukumonline.com, prinsip ini berasal dari dokumen bersejarah Magna Charta (1215) dan kemudian diadopsi dalam berbagai sistem hukum modern, termasuk Indonesia.
Dalam praktiknya, due process of law menuntut agar negara tidak boleh merampas hak hidup, kebebasan, atau harta seseorang tanpa melalui proses hukum yang sah dan transparan
Menurut Gus Fahrur, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
“Jika seseorang atau institusi sudah diseret ke ruang publik tetapi tidak segera dibawa ke pengadilan, maka hak atas kepastian hukum itu dilanggar,” tegasnya.
Baca juga: 8.400 Jemaah Reguler Gagal Berangkat, Aliran Dana Korupsi Kuota Haji 2024 Diduga Sampai ke Menteri
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.