Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Rekam Jejak Halim Kalla, Adik JK yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi PLTU di Kalbar, Apa Perannya?
Rekam jejak Halim Kalla, adik JK yang jadi tersangka kasus korupsi PLTU mangkrak di Kalbar, apa perannya?
TRIBUNKALTIM.CO - Rekam jejak Halim Kalla yang jadi tersangka kasus korupsi PLTU mangkrak di Kalimantan Barat (Kalbar).
Polri melalui Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) resmi menetapkan pengusaha Halim Kalla sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Proyek senilai Rp1,2 triliun tersebut diketahui mangkrak selama hampir satu dekade.
Direktur Tindak Kortas Tipidkor Polri, Brigadir Jenderal Totok Suharyanto, menjelaskan bahwa Halim Kalla diduga terlibat dalam pemufakatan untuk mengatur hasil lelang proyek agar dimenangkan oleh konsorsium tertentu.
Baca juga: Kajati Kaltim Supardi Fokus Berantas Korupsi Pertambangan Batubara, Bakal Ekspose dalam Waktu Dekat
Dalam skema tersebut, Halim disebut berperan bersama mantan Direktur Utama PLN, Fahmi Mochtar, dan seorang pihak swasta dari PT BRN.
“FM selaku Dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan RR selaku pihak PT BRN,” ujar Totok dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Proyek PLTU Kalbar yang menjadi objek perkara memiliki kapasitas 2x50 megawatt dan berlokasi di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Proyek ini semula dirancang untuk memperkuat pasokan listrik di wilayah tersebut, namun pelaksanaannya terhambat dan tidak berjalan sesuai rencana.

Rekam Jejak Halim Kalla
Halim Kalla dikenal sebagai sosok pengusaha yang piawai membaca peluang pasar dan berani mengambil langkah inovatif.
Halim adalah adik Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI.
Meski sempat menghadapi tantangan berat saat krisis moneter 1998, bisnis yang ia rintis mampu bertahan dan terus berkembang.
Salah satu terobosan penting yang pernah ia lakukan terjadi pada tahun 2006, ketika Halim menjadi pelaku usaha pertama di Indonesia yang memperkenalkan teknologi Digital Cinema System (DCS).
Sistem ini membawa revolusi dalam industri perfilman nasional, khususnya dalam proses produksi, distribusi, dan penayangan film di bioskop.
Baca juga: Kejati Kaltim Selidiki Dugaan Korupsi Tambang Batubara
Kiprah Politik dan Latar Belakang
Selain aktif di dunia bisnis, Halim Kalla juga pernah terjun ke dunia politik.
Ia menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009–2014, mewakili Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Halim lahir di Ujung Pandang pada 1 Oktober 1957 dan menempuh pendidikan tinggi di State University of New York at Buffalo, Amerika Serikat.
Dikutip dari situs resmi KPU RI, Halim pernah menjabat sebagai Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II periode 2009-2014:
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 1 Oktober 1957
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Lembang No. 9 RT/RW 006/005 Menteng Jakarta Pusat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Jumlah anak : dua orang
Pekerjaan : Direktur Utama Intim Wira Energi Wisma Nusantara Jakarta
Direktur PT BRN
Pendidikan Terakhir : State Univ. of New York at Buffalo, USA
Perolehan Suara : 34.755
Dalam karier profesionalnya, Halim menjabat sebagai Direktur Utama Intim Wira Energi dan Direktur PT BRN.
Ia memperoleh 34.755 suara dalam pemilu legislatif yang mengantarkannya ke Senayan.
Di bidang teknologi otomotif, Halim turut berkontribusi melalui pengembangan kendaraan listrik di bawah bendera Haka Auto.
Meski masih dalam tahap prototipe, produk-produk yang dikembangkan menunjukkan potensi besar untuk mendukung transisi energi bersih di Indonesia.
Tiga model kendaraan listrik yang diperkenalkan adalah:
- Smuth EV: Mobil pikap bertenaga listrik dengan motor berdaya 7,5 kW dan baterai lithium-ion berkapasitas 15,4 kWh.
- Erolis: Mobil penumpang berukuran mini yang menyerupai Wuling Air EV, dilengkapi motor listrik 4 kW dan baterai 7,6 kWh.
- Trolis: Kendaraan roda tiga dengan motor listrik 5 kW dan baterai lithium-ion berkapasitas 7,6 kWh.
Ketiga kendaraan ini dirancang untuk menjawab kebutuhan mobilitas perkotaan yang efisien dan ramah lingkungan.

Duduk Perkara: Dari Lelang PLTU ke Dugaan Korupsi
PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla.
Namun, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis.
Mereka tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Irjen Cahyono Wibowo.
Kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.
Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.
Baca juga: Rekam Jejak 200 Calon Pejabat Kementerian Haji Ditelusuri KPK, Komitmen Awal Cegah Korupsi
Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.
Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.
Polri menyebut kasus ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam pengadaan barang dan jasa.
Dugaan Aliran Dana Suap
Polri juga mendalami dugaan aliran dana dari konsorsium BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak yang diduga menerima suap.
“Ada beberapa pihak yang menerima aliran uang. Untuk mendalami dan menyempurnakan kami perlu alat bukti tambahan,” ujar Cahyono.
Status Hukum dan Langkah Lanjutan
Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalimantan Barat sejak April 2021, lalu diambil alih oleh Bareskrim Polri pada November 2024 karena keterbatasan anggaran dan risiko kerawanan.
Hingga kini, belum ada penahanan terhadap para tersangka. Polri menyatakan masih berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum untuk kelengkapan berkas perkara.
“Kami sudah lakukan pencegahan agar tidak melarikan diri,” tegas Cahyono.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Halim Kalla maupun Fahmi Mochtar. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Profil Halim Kalla, Adik Jusuf Kalla yang Terjerat Kasus Korupsi PLTU Mangkrak di Kalimantan Barat
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.