Berita Regional Terkini

Menjual Hiburan dengan Modal Kostum Badut Jalanan, Potret Keterpaksaan di Tengah Kota

Pemandangan siluet tubuh besar dengan kostum mencolok kini telah menjadi ornamen yang tak terpisahkan dari lanskap kota metropolitan

|
Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI
FENOMENA BADUT JALANAN - Ilustrasi kostum badut yang disita oleh Satpol PP Samarinda. Badut, yang tadinya identik dengan perayaan ulang tahun dan kegembiraan, kini maknanya bergeser drastis menjadi alat komersil. Esensi badut yang lucu itu hilang, karena mereka hanya sebatas mengenakan baju untuk mencari nafkah. 

Ringkasan Berita:
  • Badut, yang tadinya identik dengan perayaan ulang tahun dan kegembiraan, kini maknanya bergeser drastis menjadi alat komersil;
  • Ada badut jalanan, esensi badut yang lucu hilang, karena mereka hanya sebatas mengenakan baju untuk mencari nafkah;
  • Kala badut terlalu agresif mendekati kaca mobil, sebuah tindakan yang memaksa.

 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA – Pemandangan siluet tubuh besar dengan kostum mencolok kini telah menjadi ornamen yang tak terpisahkan dari lanskap kota metropolitan.

Dari hiruk pikuk persimpangan lampu merah hingga senyap gang perumahan, para badut jalanan hadir, bukan lagi sebagai penghibur pesta, melainkan sebagai potret hidup dari tekanan ekonomi yang tak terhindarkan. Keberadaan mereka adalah monumen bergerak tentang perjuangan menyambung hidup.

Respon warga terhadap tarian sunyi di tengah kemacetan ini bervariasi, menciptakan dilema moral di kaca jendela mobil.

Bagi Juli (25), seorang komuter harian, fenomena ini adalah dinamika kota yang terasa lumrah.

Baca juga: Dari Miras hingga Kostum Badut, Pemkot Samarinda Musnahkan Barang Bukti Pelanggaran Perda

“Biasa saja, kadang ada sisi lucunya kalau lihat mereka beraksi di tengah macet,” ujarnya. Namun, ia mengakui batas antara hiburan dan gangguan terasa sangat tipis.

Kala badut terlalu agresif mendekati kaca mobil, sebuah tindakan yang Juli sebut "memaksa" rasa apresiasi segera berganti menjadi kewaspadaan.

Perasaan campur aduk ini sering muncul, terutama ketika permintaan receh datang dengan tekanan.

Juli melihatnya secara realistis. "Ini karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Saya lihat ada yang masih muda, ada yang sudah tua. Ini adalah cara mereka bertahan."

Ia berharap pemerintah tidak sekadar menertibkan, tetapi menyediakan "ruang aman" dan mata pencaharian yang lebih manusiawi, alih-alih membatasi secara ketat.

Dari Ulang Tahun ke Perjuangan Harian

Erni (41), seorang ibu yang sering beraktivitas bersama anak-anaknya, memiliki pengalaman serupa. Kostum ceria itu sering memancing senyum di wajah buah hatinya, mendorongnya untuk sesekali memberikan sedekah.

"Kadang menghibur, yang penting mereka tidak mengganggu lalu lintas," ucap Erni. Namun, ia juga merasakan ketidaknyamanan ketika sosok badut berdiri terlalu dekat di tengah terik matahari.

Fenomena ini, menurut Rakhmat Hidayat, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), adalah bentuk adaptasi ekstrem masyarakat terhadap tekanan sosial-ekonomi. Sosiolog tersebut melihat adanya pergeseran makna yang fundamental.

“Badut, yang tadinya identik dengan perayaan ulang tahun dan kegembiraan, kini maknanya bergeser drastis menjadi alat komersil. Esensi badut yang lucu itu hilang, karena mereka hanya sebatas mengenakan baju untuk mencari nafkah,” jelas Rakhmat, menggarisbawahi hilangnya nilai atraksi dan digantikan oleh kebutuhan pragmatis.

Baca juga: Satpol PP Samarinda Amankan 12 Kostum Badut dan 96 Botol Minuman Keras

Di balik lapisan busa dan kain lusuh yang menahan panas, terdapat kisah-kisah pribadi yang penuh keterpaksaan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved