Berita Regional Terkini
Menjual Hiburan dengan Modal Kostum Badut Jalanan, Potret Keterpaksaan di Tengah Kota
Pemandangan siluet tubuh besar dengan kostum mencolok kini telah menjadi ornamen yang tak terpisahkan dari lanskap kota metropolitan
Bagi Soleh (41), seorang badut jalanan di Kota Bogor, profesi ini bukanlah impian, melainkan pelabuhan terakhir setelah badai kegagalan.
Soleh pernah menyerah sebagai satpam karena ritme kerja malam yang berat. Pekerjaan sebagai sopir pribadi pun tak bertahan lama, ambruk akibat tekanan dan "bentakan" berulang dari majikannya.
Dengan ijazah SD dan tanpa modal, jalanan berkostum akhirnya menjadi satu-satunya pilihan.
Keterdesakan ekonomi yang sama menyeret Irma (51), seorang ibu dua anak, ke profesi ini. PHK dari pabrik garmen dan ambruknya usaha kue saat pandemi membuatnya kehabisan daya.
"Suami kerjanya serabutan. Ada teman yang menawarkan jadi badut karena katanya lumayan buat makan harian," kisah Irma.
Irma, yang harus menghadapi panas terik dalam kostum seadanya, menceritakan penghasilannya jauh dari stabil, hanya berkisar antara Rp20.000 hingga Rp70.000 per hari, angka yang sangat minim untuk menghidupi keluarga dan biaya berobat anaknya.
Dalam kondisi terdesak, ketika dompetnya hanya menyisakan belasan ribu rupiah dan anak jatuh sakit, Irma akhirnya mengambil keputusan pahit.
Kisah Soleh dan Irma menegaskan bahwa kehadiran mereka di persimpangan kota adalah refleksi cermin, mereka bukan ingin mengganggu, melainkan sedang berjuang di garis depan ekonomi, berharap senyum anak-anak dan kedermawanan receh dapat menambal lubang kebutuhan harian. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.con dengan judul Fenomena Badut Jalanan Antara Hiburan, Desakan Ekonomi dan Sudut Ruang
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251117_Kostum-Badut-yang-Disita.jpg)