Upah Minimum 2026

UMP 2026, Serikat Buruh Usul Kenaikan Berbasis Sektor Pekerjaan Bukan Daerah, DPR Kritik Pemerintah

UMP 2026, serikat buruh usul kenaikan berbasis sektor pekerjaan bukan daerah, DPR kritik pemerintah lalai, Selasa (18/11/2025).

canva.com
UMP 2026 - ILUSTRASI Gaji. UMP 2026, serikat buruh usul kenaikan berbasis sektor pekerjaan bukan daerah, DPR kritik pemerintah lalai, Selasa (18/11/2025). (canva.com) 
Ringkasan Berita:
  • Sarbumusi mengusulkan kenaikan UMP 2026 berbasis sektor pekerjaan, bukan lagi berdasarkan wilayah
  • Pendekatan sektoral dinilai lebih adil karena setiap sektor memiliki karakter, nilai ekonomi, dan beban kerja berbeda
  • Sistem UMP berbasis daerah dianggap tidak menyentuh akar persoalan, sehingga perlu terobosan baru untuk mengurangi kesenjangan upah

TRIBUNKALTIM.CO - Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) mengusulkan agar kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 tidak lagi ditentukan berdasarkan wilayah, melainkan menggunakan pendekatan sektoral.

Presiden Konfederasi Sarbumusi, Irham, menilai struktur ketenagakerjaan di Indonesia semakin kompleks.

Hal ini dipengaruhi oleh besarnya sektor informal serta munculnya berbagai jenis pekerjaan baru akibat digitalisasi, kecerdasan buatan (AI), dan perkembangan teknologi yang melahirkan ekonomi gig atau pekerja lepas.

“Indonesia perlu terobosan baru. Kami mengusulkan pendekatan pengupahan berbasis sektoral karena nature satu sektor dengan lainnya bisa jadi sangat berbeda. Begitu juga nilai ekonomi dan beban kerjanya,” ujar Irham dalam keterangan pers, Selasa (18/11/2025).

Baca juga: Jadwal Pengumuman UMP 2026 dan Prediksi Upah di 38 Provinsi, Kaltim Rp3,9 Juta Jika Naik 10,5 Persen

Alasan Pendekatan Sektoral

Menurut Irham, setiap sektor memiliki karakteristik, nilai ekonomi, dan beban kerja yang berbeda.

 Karena itu, satu formula pengupahan yang sama dianggap tidak lagi memadai, terutama ketika disparitas antar daerah masih tinggi.

“Kita tidak bisa memaksakan formula pengupahan yang selama ini berjalan, terlebih disparitas antar daerah ada yang sangat tinggi. Ini memerlukan terobosan kebijakan untuk memantik jalan keadilan baru. Kami percaya pendekatan upah berbasis sektoral perlu dicoba,” paparnya.

Pendekatan sektoral diyakini dapat menekan kesenjangan upah antar sektor dan menghadirkan sistem pengupahan yang lebih adil.

Kritik terhadap Sistem UMP Saat Ini

Irham menilai polemik penetapan upah yang terjadi setiap tahun tidak pernah menyentuh akar persoalan.

Sistem berbasis regional (UMP) dianggap tidak mampu menjawab ketidakadilan upah yang terjadi di berbagai sektor.

“Dari tahun ke tahun kita selalu ribut menjelang penetapan upah, tetapi tidak pernah benar-benar menyentuh akar dasar dari persoalan. Dengan pendekatan pengupahan sektoral, kedepannya tidak lagi digantungkan pada basis regional. Pendekatan sektoral ini sekaligus akan menghilangkan disparitas upah yang tidak berkeadilan,” tegasnya.

Baca juga: DPRD Kaltim Desak UMP 2026 Harus Segera Dibahas dan Ditetapkan

Kelompok Buruh Tolak Perhitungan Kenaikan UMP 2026

Untuk diketahui, kelompok buruh memang menolak formula perhitungan kenaikan UMP 2026 yang digunakan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). 

Mereka menilai rumus tersebut hanya menghasilkan kenaikan sekitar 3,5-3,75 persen, angka yang dianggap terlalu kecil dan jauh dari kebutuhan riil pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebut berdasarkan perhitungan Kemnaker, yang menggunakan indeks tertentu 0,2, inflasi 2,65 persen, serta pertumbuhan ekonomi 5,12 persen, kenaikan UMP 2026 hanya mencapai 3,75 persen.

Menurutnya, angka itu berarti kenaikan upah berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan buruh.

Ia memberikan contoh perhitungan di Jawa Barat. Dengan UMP sekitar Rp 2,2 juta, kenaikan 3,75 persen hanya menambah upah sebesar Rp 80.000.

Said menyebut angka tersebut sangat tidak layak dan menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kebutuhan buruh.

Baca juga: Prediksi Besaran UMP dan UMK 2026 Kalimantan Timur, Cek Jadwal Penetapannya

Said menegaskan penolakan total terhadap rumus kenaikan upah tersebut.

Ia membandingkan dengan penetapan UMP 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto disebut menggunakan indeks tertentu yang lebih besar, yakni di kisaran 0,8 hingga 0,9.

Sementara tahun ini, Menaker hanya menetapkan rentang 0,2 hingga 0,7.

Perbedaan ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kebijakan Menaker tidak sejalan dengan arahan Presiden.

“Presiden memberikan indeks tertentu itu tahun lalu 0,8 sampai 0,9, mendekati 0,9.Ya kalau sekarang Menaker ngasih 0,2 sampai 0,7, Presidennya saja 0,8 sampai 0,9, itu kan artinya melawan Presiden, udah mundur saja kalau nggak mau mendengarkan Presiden, malah mendengarkan pengusaha hitam dan Dewan Ekonomi Nasional," tuturnya saat konferensi pers Selasa (18/11/2025).

Kelalaian Serius Pemerintah

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Edy Wuryanto, menilai keterlambatan pemerintah dalam menyiapkan landasan hukum penetapan Upah Minimum (UM) 2026, sebagai bentuk kelalaian serius yang berdampak langsung pada pekerja dan pelaku usaha. 

Hingga memasuki batas waktu sebagaimana diatur dalam PP 36/2021, Kementerian Ketenagakerjaan belum menentukan regulasi yang akan menjadi dasar penetapan UM.

Edy mengingatkan bahwa PP 36/2021 telah menetapkan tenggat bagi gubernur untuk menetapkan UM provinsi paling lambat 21 November, serta UM kabupaten/kota paling lambat 1 Desember. 

"Jika regulasinya saja tidak disiapkan, bagaimana mungkin kepala daerah bisa bekerja sesuai mandat? Pemerintah pusat tidak boleh menjadi sumber kekacauan," kata Edy kepada wartawan, Rabu (19/11/2025).

Dia menilai situasi ini mengulang pola buruk tahun sebelumnya, ketika presiden mengumumkan kenaikan UM 2025 sebesar 6,5 persen tanpa proses regulatif yang transparan, yang kemudian diikuti dengan terbitnya Permenaker yang menyesuaikan angka tersebut. 

"Upah itu bukan angka yang turun dari podium lalu disulap jadi kebijakan. Negara ini punya hukum. Penetapan UM tidak boleh bertumpu pada pernyataan," ucapnya. 

Edy menilai, pemerintah seharusnya memastikan regulasi hadir sebelum kebijakan diumumkan.

Dia juga menyoroti pemberlakuan angka kenaikan tunggal seperti 6,5 persen pada UM tahun lalu karena dinilai merugikan pekerja di daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. 

Edy mencontohkan Maluku Utara yang mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 34,58 persen pada triwulan I 2025. 

"Bagaimana mungkin pekerja di daerah dengan lonjakan ekonomi setinggi itu disamakan begitu saja dengan provinsi lain? Kalau pemerintah bicara keadilan, mestinya berangkat dari data, bukan dari angka seragam," ucapnya.

Selain itu, Edy menilai pemerintah telah mengabaikan amanat Mahkamah Konstitusi terkait Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar konstitusional penetapan upah. 

"KHL itu bukan opsi, melainkan dasar konstitusional dalam menentukan upah. Sudah ada Permenaker 18/2020 yang mengatur 64 item KHL, tetapi lagi-lagi tidak dijadikan rujukan. Jangan sampai negara sengaja menutup mata terhadap instrumen yang melindungi pekerja,"” ucapnya. 

Edy juga menilai hilangnya peran Dewan Pengupahan Daerah dalam proses UM 2026 menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan MK 168.

Menurut Edy, lambatnya penerbitan regulasi bukan hanya merugikan pekerja, tetapi juga dunia usaha yang memerlukan kepastian untuk menyusun anggaran biaya tenaga kerja 2026. 

"Bagaimana perusahaan bisa merencanakan produksi dan investasi kalau aturan upah yang menjadi dasar anggarannya tidak jelas? Pemerintah tidak boleh menyulitkan sektor usaha dengan ketidakpastian seperti ini," katanya.

Sementara itu, tekanan ekonomi akibat inflasi pangan dan kenaikan biaya hidup telah lebih dulu menekan pekerja dan keluarganya. 

"Upah riil mereka sudah turun bahkan sebelum memasuki 2026. Menunda-nunda regulasi hanya memperdalam kerentanan mereka. Jangan lupa, daya beli pekerja adalah denyut ekonomi nasional," kata Edy.

Lebih lanjut, Edy juga memperingatkan bahwa keterlambatan penetapan dasar hukum UM 2026 berpotensi memicu sengketa hukum di PTUN serta gelombang aksi massa apabila tidak segera diselesaikan pemerintah.

Jadwal Pengumuman Upah Minimum Provinsi 2026

Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan Upah Minimum Provinsi ditargetkan akan diumumkan tepat waktu pada 21 November 2025. 

Sebelum pengumuman UMP, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) ditargetkan rampung.

"Permenaker sebelum 21 November lah kita targetkan. Kan 21 November itu pengumuman provinsinya," ujarnya.

Setelah UMP ditetapkan, tahap berikutnya pengumuman Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

UMK 2026 diumumkan setelah penetapan UMP, atau paling lambat 30 November 2025.

Tahapan ini membuat pemerintah daerah atau pemda menyesuaikan kebijakan upah dengan kondisi ekonomi daerah.

Kata Yassierli, pembahasan mengenai upah minimum masih terus dilakukan bersama buruh hingga dewan pengupahan. 

Belum ada keputusan final mengenai angka kenaikan hingga formulasinya.

"Kita terus melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari teman-teman serikat pekerja, serikat buruh dan dari teman-teman pengusaha Apindo. Tunggu saja," ujar Yassierli.

Apa Itu UMP 2026

Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi sebagai standar gaji paling rendah yang wajib dibayarkan perusahaan kepada pekerja/buruh di wilayah provinsi tersebut.

UMP adalah jaring pengaman agar pekerja menerima pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Besarnya UMP berbeda-beda tiap provinsi, karena biaya hidup tiap daerah juga berbeda. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Anggota DPR Menilai Keterlambatan Regulasi Upah Minimum 2026 Bentuk Kelalaian Pemerintah dan Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved