Berita Internasional Terkini
Fenomena Hikikomori hingga Kaum Rebahan, Viral pada Anak Muda Tiongkok jadi Simbol Kelelahan Gen Z
Di tengah gemuruh perkembangan ekonomi Tiongkok, muncul sebuah fenomena sosial yang viral dan memilukan di media sosial.
Ringkasan Berita:
TRIBUNKALTIM.CO, BEIJING – Di tengah gemuruh perkembangan ekonomi Tiongkok, muncul sebuah fenomena sosial yang viral dan memilukan di media sosial.
Disebut dengna "Manusia Tikus" atau Rat People. Istilah ini, yang kini telah mengumpulkan miliaran penayangan, merujuk pada potret generasi muda yang memilih menarik diri dari ekspektasi sosial yang kejam.
Mereka adalah kaum muda yang memilih bangun siang, menghabiskan hari di tempat tidur, tanpa tujuan menjelajahi ponsel, memesan makanan online hingga ke pintu kamar, dan secara bertahap memutus jaringan sosial mereka.
Secara metaforis, mereka dibandingkan dengan tikus, hidup dalam kegelapan, tanpa ambisi, dan hanya tahu cara bersembunyi.
Baca juga: PNS Pemalas hingga Maling Kelas Teri Bakal Dimasukkan ke Barak, Dedi Mulyadi Ungkap Alasannya
Kisah Manusia Tikus bukan sekadar tren daring, ia adalah jeritan senyap terhadap realitas ekonomi yang membebani.
Ketika Gelar tak Menjamin Nasib
Fenomena ini meledak di tengah situasi ekonomi Tiongkok yang serius.
Tingkat pengangguran kaum muda mencapai angka tinggi, sementara lulusan universitas terus memecahkan rekor, diperkirakan mencapai 12,22 juta tahun ini.
Setelah bertahun-tahun menjalani sistem belajar intensif dan ujian masuk universitas nasional yang dijuluki "gerbang menuju kesuksesan," banyak anak muda menyadari bahwa gelar akademik tidak lagi menjamin pekerjaan stabil.
Biaya hidup, terutama harga rumah yang melambung di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai membuat impian menikah, memiliki anak, atau bahkan menyewa rumah sendiri terasa tak terjangkau.
Kesenjangan yang lebar antara keinginan untuk mandiri dengan kenyataan pahit lapangan kerja yang terbatas dan gaji stagnan, mendorong mereka untuk memilih mundur secara sukarela.
Baca juga: Viral Gen Z Minum Obat Cacing Usai Bocah Sukabumi Meninggal, Ini Aturan Konsumsi Obatnya yang Benar
Mereka memilih rasa nyaman di dalam kamar, menolak energi dan ambisi yang dulunya diagungkan.
"Kita hidup bukan untuk membuat orang terkesan. Merasa nyaman saja sudah cukup," ujar seorang wanita bermarga Lin dari Beijing, yang kini bekerja dari rumah dan meminimalkan interaksi sosial.
Kondisi ini merupakan protes diam-diam terhadap Budaya 996, bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, 6 hari seminggu dan tekanan ekspektasi keluarga yang menciptakan lingkungan kerja dan belajar yang keras.
Seorang anak Tiongkok harus belajar 12 sampai 14 jam sehari untuk masuk universitas, lalu bekerja 12 hingga 14 jam untuk mempertahankan posisinya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya milik Tiongkok, melainkan "gen frustrasi" yang menyebar secara global:
Jepang:
Dikenal sebagai Hikikomori, di mana jutaan orang telah menarik diri dari masyarakat dan hidup terisolasi di balik pintu kamar selama bertahun-tahun.
Korea Selatan:
Muncul Generasi Sampo (Sampo Generation) yang menolak tiga hal fundamental: berpacaran, menikah, dan memiliki anak, demi bertahan hidup dari persaingan karier dan biaya tinggi.
Indonesia:
Istilah yang paling dekat dan viral adalah "Kaum Rebahan", yang menggambarkan kemalasan dan ketidakberdayaan yang serupa.
Ancaman Krisis Generasi Abad ke-21
Secara global, jutaan Generasi Z kini terlepas dari pasar tenaga kerja, memilih menghabiskan hari dengan smartphone dan gaming.
Advita Patel, Presiden Royal Institute of Public Relations (UK), berpendapat bahwa ini adalah bukan sekadar menyerah, melainkan protes diam-diam terhadap kelelahan, kekecewaan, dan keterbatasan lapangan kerja.
"Ketika mereka tidak bisa mengubah sistem, mereka memilih untuk berhenti. Ketika mereka tidak bisa memenangkan permainan, mereka memilih untuk tidak bermain," katanya.
Baca juga: Sosok Bella Shofie, Anggota DPRD Didemo karena Malas Ngantor, Penyesalan Ketua DPW Nasdem Maluku
Konsekuensi dari krisis bakat ini sangat mengerikan. Kekurangan sumber daya manusia berkualitas, anjloknya angka kelahiran, dan peningkatan masalah kesehatan mental, termasuk isolasi dan depresi.
Tanpa perubahan fundamental dalam tatanan ekonomi dan ketenagakerjaan, Manusia Tikus bukanlah sekadar tren media sosial, melainkan krisis generasi yang serius di abad ke-21.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tren 'Manusia Tikus' di China Bikin Gempar, Mulai Menjalar ke Indonesia?
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251120_Kaum-Rebahan-di-Kasur-Empuk.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.