Jerat Model Pakaian Ketat
Janji Menggiurkan di Balik DM IG, Puluhan Mahasiswi Samarinda Terjebak Penipuan Tawaran Modeling
“Awalnya saya pikir ini rezeki,” tutur Butet (nama samaran), mahasiswi semester tiga di salah satu universitas di Samarinda.
Penulis: Tribun Kaltim | Editor: Briandena Silvania Sestiani
Ringkasan Berita:
- Kasus penipuan berkedok tawaran model “busana hijab friendly” di Samarinda menjerat puluhan mahasiswi dengan modus eksploitasi digital berbasis kepercayaan
- TRC PPA Kaltim mendampingi korban, sementara polisi menunggu laporan resmi untuk menindaklanjuti
- Aktivis perempuan menilai lemahnya perlindungan data pribadi dan budaya victim blaming memperparah trauma korban.
TRIBUNKALTIM.CO - “Awalnya saya pikir ini rezeki,” tutur Butet (nama samaran), mahasiswi semester tiga di salah satu universitas di Samarinda, Kalimantan Timur.
Suatu malam, 22 Agustus lalu, pukul 21.30 WITA, ia menerima pesan Direct Message (DM) dari akun Instagram bernama Erlangga.
Pengirim memperkenalkan diri sebagai alumni arsitektur 2019 dari kampus ternama di Samarinda, yang sedang mencari model untuk proyek busana hijab friendly.
Tawaran itu terdengar profesional. Bayaran dijanjikan mulai Rp4 juta hingga Rp25 juta per sesi. Pelaku bahkan mengaku tengah membuat inovasi busana Sabrina versi hijab.
“Saya pikir ini pengalaman baru, siapa tahu bisa nambah portofolio,” kata Butet.
Baca juga: Anggota DPRD Kaltim Apresiasi TRC PPA Atas Pendampingan Korban Penipuan Berkedok Model Busana
Setelah beberapa kali bertukar pesan di Instagram, pelaku mengajak korban melanjutkan komunikasi lewat WhatsApp. Di sana, ia meminta Butet mengirim foto contoh mengenakan busana Sabrina.
Busana Sabrina adalah model pakaian, khususnya atasan atau gaun, yang memiliki potongan leher terbuka lebar hingga memperlihatkan bahu bagian atas (off-shoulder).
Nama “Sabrina” berasal dari gaya neckline atau garis leher Sabrina, yang terinspirasi dari gaya busana aktris Audrey Hepburn dalam film Sabrina (1954).
Butet yang tak memiliki pakaian sesuai permintaan berinisiatif memakai kemeja dan jilbab pasmina.
Namun, foto-foto yang dikirim dianggap “belum cocok”. Permintaan pelaku pun mulai tidak wajar.
“Tahu kan ya, kalau baju Sabrina itu yang dinilai bentuk dadanya,” ucap pelaku, seperti ditirukan Butet.
Pelaku kemudian meminta korban menggunakan manset dan mengatur pose agar bentuk tubuh lebih terlihat.
Ia juga meminta Butet memesan kamar hotel untuk sesi foto, dengan janji uang muka segera dikirim yang tak pernah terjadi.
Kecurigaan Butet kian kuat ketika pelaku mengaku bekerja di bawah naungan agensi di Bali dan menyebut nama kepala yayasan sebagai penanggung jawab.
Saat korban menelusuri informasi itu, ternyata sang kepala yayasan sudah meninggal dunia setahun lalu.
Kisah Butet hanya satu dari puluhan kasus serupa. Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur menerima lebih dari 10 laporan mahasiswi dengan modus hampir sama.
Pelaku menarget perempuan muda aktif di media sosial dengan iming-iming bayaran tinggi dan proyek bergengsi.
“Awalnya mereka dihubungi lewat DM, lalu dilanjutkan ke WhatsApp. Setelah korban percaya, barulah pelaku meminta foto-foto dengan pose tidak wajar,” ujar Sudirman, Bidang Hukum TRC PPA Kaltim, kepada Tribun Kaltim, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, pelaku beraksi rapi dan konsisten. Pesan biasanya dikirim tengah malam, saat korban lebih santai.
“Pelaku mengaku sedang mencari model untuk promosi wisata di Bali, padahal semuanya fiktif,” jelasnya.
Hingga kini, TRC PPA Kaltim mencatat lebih dari sepuluh mahasiswi telah datang langsung meminta pendampingan hukum dan psikologis.
Namun, berdasarkan komunikasi daring, jumlah korban diperkirakan mencapai puluhan orang, termasuk mahasiswa baru angkatan 2023.
Pelaku diduga kuat seorang mantan mahasiswa salah satu universitas di Samarinda, yang diketahui drop out pada 2022 karena berbagai masalah, termasuk dugaan kasus pencurian mobil sewaan.
Ia disebut berasal dari Berau dan beraksi seorang diri.
“Kita masih menghimpun bukti. Belum melapor ke kepolisian karena ingin berkasnya benar-benar kuat,” ujar Sudirman.
Ia menambahkan, pelaku bisa dijerat Undang-Undang ITE, UU Pornografi, atau UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tergantung bentuk penyalahgunaan foto korban.
“Foto-foto seksi yang dikirim korban berpotensi disalahgunakan untuk pemerasan,” tambahnya.
Proyek di Bali
Korban lain, Iwet (bukan nama sebenarnya), mengalami hal serupa pada Februari 2024.
Ia dihubungi akun yang juga mengaku bernama Erlangga, memperkenalkan diri sebagai mantan menteri BEM dari universitas di Samarinda.
Pelaku menawarinya proyek pemotretan di Bali dengan bayaran Rp10 juta–Rp15 juta, lengkap dengan tiket pesawat dan hotel.
“Awalnya saya senang, apalagi katanya boleh bawa satu teman,” ujar Iwet.
Untuk meyakinkan, pelaku mengirim MoU palsu dan tautan perusahaan yang ternyata memang ada, tapi pimpinan perusahaannya sudah meninggal.
Setelah korban percaya, pelaku mulai meminta foto “casting” dengan busana hijab Sabrina ketat.
“Dia bilang, coba bajunya dijepit biar lekuknya kelihatan,” kata Iwet, menirukan pesan sang pelaku.
Untungnya ia menolak. Tapi banyak korban lain tak seberuntung dirinya.
Eksploitasi Digital
Sudirman menyebut pola yang dilakukan pelaku sebagai bentuk eksploitasi digital berbasis kepercayaan dan manipulasi emosional.
Pelaku tidak langsung memaksa, tapi menggunakan gaya komunikasi sopan dan meyakinkan agar korban merasa aman.
“Ini jenis grooming digital. Dia bikin korban percaya dulu, baru pelan-pelan menggeser permintaan ke arah seksual,” jelasnya.
Kasus ini menunjukkan bahwa eksploitasi perempuan kini tidak selalu terjadi di ruang fisik. Dunia maya menjadi ladang baru dengan risiko sama besarnya.
“Pelaku memanfaatkan celah psikologis rasa ingin berkembang, ingin berkarier, dan rasa percaya pada sesama mahasiswa,” tambah Sudirman.
Tim terapi dan konseling di TRC PPA Kaltim berkomunikasi intensif untuk membangun kembali kepercayaan diri korban dan memastikan mereka tidak terbebani secara psikis.
Hingga berita ini diturunkan, TRC PPA Kaltim masih mengumpulkan bukti-bukti untuk dilaporkan ke aparat penegak hukum.
“Pelaku ini diduga masih di wilayah Kalimantan Timur. Kami ingin pastikan data lengkap agar proses hukum tidak terhenti di tengah jalan,” ujar Sudirman.
Ia mengimbau masyarakat, terutama perempuan muda, agar berhati-hati terhadap tawaran kerja lewat media sosial.
“Kalau sudah mulai mengarah pada hal yang tidak patut misalnya minta pose aneh, atau janji bayaran tinggi tanpa kontrak resmi lebih baik diabaikan,” tegasnya.
Meski masih trauma, Iwet berharap kisahnya bisa jadi pelajaran bagi mahasiswi lain.
“Sekarang modus penipuan sudah pintar. Mereka pakai kata-kata sopan, janji manis, dan tampak profesional. Tapi ujungnya eksploitasi,” ujarnya.
Ia berpesan agar perempuan muda berhati-hati saat menerima tawaran kerja daring.
“Kalau tawarannya terlalu bagus buat jadi kenyataan, pasti ada yang salah,” tutur Iwet.
Baca juga: Tawaran Model Berujung Permintaan Foto Sensual, Awal Mula Perkenalan 2 Mahasiswi dengan Erlangga
Belum Ada Laporan
Kasus dugaan eksploitasi digital berkedok tawaran menjadi model yang ramai diperbincangkan di kalangan mahasiswi Kalimantan Timur menarik perhatian publik.
Namun hingga kini, Polda Kaltim melalui Unit Siber Ditreskrimsus belum menerima laporan resmi terkait kasus tersebut.
Hal itu disampaikan langsung oleh Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda Kaltim, Kompol Aryansyah, saat dikonfirmasi pada Selasa (11/11/2025).
“Sampai saat ini kami belum menerima laporan, baik dari TRC PPA maupun dari korban secara langsung,” ujar Kompol Aryansyah.
Menurutnya, proses penanganan kasus kejahatan digital membutuhkan dasar hukum yang kuat berupa laporan resmi dari korban.
Hal itu penting agar penyidik dapat memulai verifikasi dan penyelidikan secara sah.
“Kalau terkait perlindungan data pribadi, korban harus melapor langsung. Harus ada laporan dari korban dulu agar bisa kami tindak lanjuti,” tegasnya.
Ia menjelaskan, masyarakat dapat melapor ke kantor polres terdekat, seperti Polresta Balikpapan atau Polresta Samarinda, maupun langsung ke Polda Kaltim.
Semua satuan jajaran memiliki unit yang menangani tindak pidana siber.
Kompol Aryansyah menambahkan, modus penipuan digital kini semakin beragam. Banyak pelaku yang menyamar sebagai agen atau perusahaan untuk menjebak korban.
“Para pelaku ini umumnya jaringan. Mereka berpura-pura jadi agen, misalnya agen penerimaan kerja, agen model, bahkan agen e-commerce. Mereka menawarkan kerja sama, lalu meminta korban mengirim foto atau data pribadi dengan alasan rekrutmen,” jelasnya.
Menurutnya, pelaku-pelaku tersebut tidak hanya beroperasi di satu daerah.
“Kejahatan siber itu tidak dibatasi wilayah. Korbannya bisa di Samarinda, pelakunya di luar Kalimantan, bahkan di luar negeri,” katanya.
Ditreskrimsus Polda Kaltim juga menghadapi berbagai kendala dalam menelusuri pelaku kejahatan siber, terutama bila akun pelaku anonim atau menggunakan server luar negeri.
“Kita menganalisis dari akun media sosial yang digunakan pelaku berkomunikasi dengan korban. Dari situ kita bisa menelusuri jejak digitalnya,” terang Aryansyah.
Namun, tidak semua platform memiliki perwakilan di Indonesia, sehingga proses permintaan data butuh waktu dan koordinasi lintas lembaga.
“Kalau platform-nya punya kantor perwakilan di Jakarta, kita bisa bersurat minta data. Tapi kalau tidak ada di Indonesia, kita harus koordinasi lagi dengan Bareskrim, bahkan ke luar negeri. Jadi prosesnya panjang dan tidak bisa diselesaikan sendiri,” jelasnya.
Unit Siber juga melakukan profiling terhadap akun-akun mencurigakan yang berpotensi digunakan untuk berbagai kejahatan siber seperti penipuan, judi online, hingga manipulasi data pribadi.
“Akun-akun yang terindikasi digunakan untuk kejahatan bisa kami ajukan ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk diblokir. Polisi hanya bisa mengusulkan, yang memblokir tetap Komdigi,” katanya.
Terkait dasar hukum, Kompol Aryansyah menjelaskan bahwa penentuan pasal tergantung pada bentuk kejahatan yang dilakukan.
“Kalau pelaku memanipulasi data atau menyamar jadi pihak perusahaan, bisa dijerat dengan UU ITE. Tapi kalau menggunakan data pribadi korban tanpa izin, bisa juga dengan UU Perlindungan Data Pribadi,” jelasnya.
Sementara jika kasus melibatkan penyebaran konten asusila, Subdit Siber akan menanganinya dari sisi muatan elektronik sesuai Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE.
Namun, jika terdapat unsur pemaksaan atau eksploitasi seksual, penanganannya akan dikoordinasikan dengan Subdit IV Renakta/PPA Ditreskrimum.
“Kalau foto atau video yang dikirim sudah bermuatan asusila, itu ranah UU ITE. Tapi kalau ada unsur pemaksaan atau eksploitasi, kami koordinasikan dengan PPA,” jelasnya.
Banyak kasus serupa, lanjutnya, justru lebih tepat dijerat dengan pasal penipuan KUHP Pasal 378, bukan UU ITE.
“Kalau modusnya menjebak korban dengan janji pekerjaan, itu masuk penipuan umum. Karena konteksnya bukan perdagangan elektronik, tapi perekrutan kerja,” ungkapnya.
Kompol Aryansyah menegaskan bahwa penanganan kasus siber tidak bisa dilakukan sendiri oleh kepolisian. Diperlukan koordinasi erat dengan Komdigi, Bareskrim Polri, dan lembaga perlindungan perempuan seperti TRC PPA.
“Kami selalu koordinasi lintas lembaga. Setiap laporan atau analisis kami tindak lanjuti bersama agar cepat tertangani,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat, terutama kalangan remaja dan mahasiswa, agar lebih berhati-hati terhadap tawaran kerja atau pemotretan dari akun tidak resmi.
“Kalau ada yang mencurigakan, segera lapor. Jangan hapus percakapan atau foto, karena itu bisa jadi bukti penting bagi kami,” imbaunya.
Ruang Digital Tak Lagi Aman
Aktivis Perempuan, Nelly Agustina
Di balik maraknya kasus penipuan berkedok tawaran menjadi model busana yang belakangan menjerat sejumlah mahasiswi di Kalimantan Timur, terdapat akar masalah yang jauh lebih kompleks dari sekadar manipulasi individu.
Aktivis perempuan Samarinda, Nelly Agustina, menilai kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi data pribadi warganya, yang pada akhirnya membuka ruang bagi praktik eksploitasi digital berbasis gender.
Menurut Nelly, modus yang digunakan pelaku tidak sekadar acak, melainkan terencana dan berbasis riset terhadap calon korban. Pelaku menarget perempuan muda, terutama mahasiswi, melalui media sosial dengan pendekatan personal lewat pesan langsung (DM).
Mereka mem-follow akun korban, mencari informasi pribadi, dan menyusun narasi bujuk rayu yang seolah profesional, padahal berujung pada eksploitasi seksual terselubung.
“Kalau omongin soal dampak psikologis apa yang terjadi pada korban eksploitasi digital, walaupun kasus ini jatuhnya manipulasi penipuan, bisa juga berbasis gender online karena menargetkan perempuan-perempuan di media sosial. Mereka menipu dengan cara personal melalui DM, dengan upaya mem-follow akun dan mencari informasi korban. Jadi kalau kita lihat, pelaku memang sudah merencanakan dengan matang,” ujar Nelly Agustina, Koordinator Savrinadeya Support-Group, kepada Tribun Kaltim, Rabu (12/11/2025).
Ia menegaskan bahwa fenomena tersebut tak lepas dari masifnya digitalisasi tanpa kesiapan sosial dan lemahnya kebijakan perlindungan data pribadi di Indonesia.
Nelly menyebut, maraknya praktik doxing dan pencurian data menjadi bukti nyata bahwa sistem keamanan digital masyarakat masih rapuh.
“Kita tahu bagaimana ketika digitalisasi besar-besaran ini terjadi, banyak sekali cara instan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Ini juga berpengaruh terhadap kondisi sosial, di mana Indonesia sebenarnya belum siap. Negara sangat tidak mampu menjaga keamanan digital kita. Walaupun kita sudah menjaga privasi dengan baik, tetap saja data pribadi kita terbuka luas di internet,” tegasnya.
Nelly menjelaskan, dampak psikologis yang dialami korban seringkali sebanding dengan bentuk kekerasan seksual lainnya.
Rasa bersalah dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri menjadi beban utama korban, diperparah oleh budaya patriarki yang masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menjaga diri.
“Korban merasa ditipu, merasa dirugikan, dan akhirnya depresi. Kebanyakan korban kekerasan cenderung menyalahkan dirinya sendiri karena merasa bodoh atau lalai. Ini akibat sistem sosial patriarkal yang membuat perempuan selalu dianggap salah, bahkan ketika mereka menjadi korban. Itu yang terjadi pada banyak korban kekerasan berbasis gender online,” ungkapnya.
Ia menambahkan, framing sosial yang menyalahkan korban turut memperpanjang trauma psikologis.
Dalam banyak kasus, masyarakat menilai korban sebagai pihak yang memancing situasi berisiko, misalnya karena pakaian atau pose foto yang dikirim.
Padahal, kata Nelly, proses manipulasi pelaku berlangsung panjang dan sistematis, dimulai dari pengumpulan data hingga pendekatan emosional.
“Misalnya, banyak korban pemerkosaan dibilang ‘karena kamu menggoda dengan pakaian’, hal ini mirip dengan modus digital hari ini. Korban dianggap salah karena mengirim foto tertentu, padahal prosesnya panjang. Penipu melakukan riset, manipulasi, dan tahu siapa targetnya. Semua ini menunjukkan betapa lemahnya keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Lebih jauh, Nelly menjelaskan bahwa perempuan muda, terutama mahasiswi, menjadi target karena memiliki paparan digital tinggi dan data pribadi yang mudah diakses.
Bukan hanya faktor ekonomi, tetapi juga karena kemudahan pelaku dalam melacak informasi personal yang tersebar luas di internet.
“Jadi ini bukan sekadar iming-iming uang, tapi karena mereka memiliki data yang cukup untuk menargetkan korban secara spesifik,” kata Nelly menegaskan.
Terkait penanganan korban, Nelly menilai pendampingan psikologis saja tidak cukup tanpa lembaga hukum dan satgas kampus yang berperspektif korban dan progresif.
Ia mengkritik masih banyaknya lembaga yang tabu membicarakan kekerasan seksual dan bahkan melakukan victim blaming terhadap korban.
“Banyak orang tidak mau melapor karena lembaga yang menerima laporan justru tabu dan rentan menyalahkan korban. Lembaga pendamping seperti TRC PPA, LBH, dan Satgas kampus harus berpihak pada korban dan paham akar kekerasan berbasis gender online. Kalau tidak, justru memperparah kondisi psikologis korban,” katanya.
Selain itu, Nelly menyoroti lemahnya penerapan undang-undang yang ada. Menurutnya, ketidaktegasan aparat penegak hukum membuat korban kehilangan keberanian untuk melapor, sehingga trauma tidak terselesaikan dengan baik.
Dalam proses pemulihan, peran kampus, keluarga, dan teman menjadi kunci. Kampus, tegas Nelly, seharusnya menjadi ruang aman bagi korban dan tidak menormalisasi seksisme di lingkungan akademik.
“Kampus harus bisa menjadi ruang aman untuk semua orang, termasuk korban kekerasan seksual. Banyak kampus masih mengamini seksisme dan pelaku kekerasan. Selama kampus tidak tegas, akan sulit bagi korban untuk pulih. Keluarga dan teman juga harus menjadi pendamping, bukan hakim bagi korban,” katanya.
Nelly juga menekankan pentingnya literasi digital yang sensitif gender, terutama di kalangan media. Ia menilai penggunaan diksi seksis dan clickbait dalam pemberitaan memperkuat stigma dan memperlemah posisi korban.
“Misalnya judul berita yang menyebut ‘gadis diimingi janji nikah’, padahal itu korban pemerkosaan. Ini bentuk literasi digital yang tidak sensitif gender. Media harus belajar dan berpikir ulang sebelum menulis, karena publik menilai dari apa yang mereka baca,” pungkas Nelly.
Dari DM ke Jerat Eksploitasi
a. Awal Modus
-Pelaku mengaku alumni kampus ternama di Samarinda.
-Menghubungi korban via DM Instagram menggunakan akun bernama Erlangga.
-Menawarkan proyek “busana hijab friendly” dengan bayaran Rp 4–25 juta.
b. Tahapan Penipuan
-Arahkan komunikasi ke WhatsApp.
-Meminta “foto casting” dengan pakaian ketat atau pose tertentu.
-Meminta korban menyewa kamar hotel untuk “pemotretan” namun uang tidak dikirim.
-Menggunakan dokumen palsu (MoU, nama yayasan, perusahaan di Bali).
c. Akhir Terungkap
-Korban mulai curiga setelah diminta pose vulgar.
-Pelaku ternyata mahasiswa DO, pernah terlibat kasus kriminal.
-Korban melapor ke TRC PPA Kaltim.
(TribunKaltim/gre/edo/snw)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251114_tawaran-model-samarinda.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.