Pidato Anies Tekankan Kepribumian, Masihkah Relevan Pemimpin Singgung Itu Jika Faktanya Begini

pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, beberapa kali menegaskan dan menekankan kepribumian ini.

Suku-suku bangsa Indonesia 

TRIBUNKALTIM.CO - PRIBUMI dan non-pribumi. Sudah cukup lama rasanya terminologi ini absen dari khasanah tulis menulis, media, pidato, artikel ataupun perpolitikan nasional. Benar masih ada tapi hanyalah sepoi angin lewat saja.

Apalagi didukung oleh Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tegas-tegas berjudul: “Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara Pemerintah.”

Sumber resmi dari kepustakaan Kepresidenan Republik Indonesia.

Rute ekspansi pengaruh Hindu dari subkontinental India ke Nusantara. Tidak ada satupun etnis di Nusantara yang memiliki galur genetika murni single ethnic. Secara umum, genetika orang Indonesia kira-kira adalah 74% Asia Tenggara dan Oseania, 9% Asia Selatan, 5% Asia Timur, 6% Arab dan 6?rika. (Wikipedia)
Rute ekspansi pengaruh Hindu dari subkontinental India ke Nusantara. Tidak ada satupun etnis di Nusantara yang memiliki galur genetika murni single ethnic. Secara umum, genetika orang Indonesia kira-kira adalah 74% Asia Tenggara dan Oseania, 9% Asia Selatan, 5% Asia Timur, 6% Arab dan 6?rika. (Wikipedia) ()

Hari kemarin, Senin tanggal 16 Oktober 2017 dalam forum resmi nasional, pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, beberapa kali menegaskan dan menekankan kepribumian ini.

Yosi Project Pop dan Anies Baswedan
Yosi Project Pop dan Anies Baswedan (Kolase foto/instagram)

"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan (dijajah). Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Anies, dalam pidato politiknya di Halaman Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/10/2017) malam.

Sontak netizen bereaksi beramai-ramai di seluruh linimasa media sosial. Istilah yang sempat populis ini kembali diperbincangkan.

Populisme dalam politik bukanlah barang baru. Para ahli ilmu sosial politik sendiri mengalami kesulitan mendefinisikan mahluk ajaib bernama populisme ini.

Mengutip dan menyarikan beberapa literatur tentang populisme, Isaiah Berlin mengatakan, “Memang ada sebuah sepatu berbentuk populisme, namun tak ada satupun kaki yang cocok mengenakannya.”

Paul Taggart mengumpamakan bahwa populisme seperti bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di mana dia berada.

Baca: Jatah Bertambah, tapi Elpiji Bersubsidi Sering Langka, Ini Celah Permainannya Versi Agen Resmi

Baca: Wow, Usai Berenang Memanggul Senjata, Anggota Brimob Berlari 10 Km, Diakhiri Adu Bidik

Baca: Transfer Harry Kane ke Real Madrid Bakal Digagalkan Gelontoran Dana Jumbo?

Margaret Canovan (1981) mendefinisikan dan membagi populisme dalam tiga bentuk. Ketiga bentuk populisme dan ditambah populisme keempat khusus versi Indonesia, dikemas dengan apik dalam pidato tersebut.

Pertama, populisme wong cilik.

Ini seakan-akan berorientasi kepada para rakyat kecil untuk mencapai tujuan politiknya. Seakan berpihak kepada wong cilik, pengusaha kecil, mengondisikan prasangka terhadap pengusaha dan pemerintah adalah jenis ini.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved