Gaduh Kelangkaan BBM, Bagaimanakah Hukum Menjual Bensin Eceran?

Celakanya, antrean itu rata-rata dikuasai oleh para pengecer yang dengan sengaja membawa jerigen atau motor spesifikasi tangki besar.

Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
net
Ilustrasi bensin eceran 

TRIBUNKALTIM.CO - Selama sepekan terakhir warga di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur kembali dibuat resah akibat kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

Mereka sulit mendapatkan jatah BBM di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) lantaran antrean panjang.

Celakanya, antrean itu rata-rata dikuasai oleh para pengecer yang dengan sengaja membawa jerigen atau motor spesifikasi tangki besar.

Baca: Tak Punya Etika! Putri Sulung Gus Dur Diejek Anak si Buta, tapi Reaksinya Bikin Haru

Fenomena seperti ini sebenarnya sudah sering dirasakan oleh warga Berau. 

Gara-gara SPBU kerap dipenuhi antrean, mau tidak mau warga terpaksa membeli bensin di pengecer yang harga jualnya jauh lebih mahal ketimbang SPBU.

Kapolres Berau, AKBP Andy Ervyn melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah SPBU. Selama sepekan terkahir, terjadi kelangkaan BBM di wilayah ini.
Kapolres Berau AKBP Andy Ervyn melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah SPBU. Selama sepekan terkahir, terjadi kelangkaan BBM di wilayah ini. (Tribun Kaltim/Geafry Necolsen)

Perdebatan pun muncul.

Di satu sisi ada yang menganggap keberadaan pengecer justru membantu, mengingat SPBU tidak buka 24 jam. Apalagi wilayah pelosok yang sama sekali tak punya SPBU.

Tapi di sisi lain ada juga yang kesal karena momentum ini malah dijadikan kesempatan buat para pedagang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Tidak heran bila mendapatkan jatah bensin di SPBU menjadi barang langka bagi warga. Tak ada pilihan selain beli di pengecer.

Baca: Jenderal Bintang Dua Ini Masih Enggan Beber Pendampingnya di Pilgub 2018, Ini Alasannya

Terkait polemik ini, muncul sebuah pertanyaan. Bagamainakah hukumnya menjual bensin eceran di pinggir jalan?

Mengutip dari klinik hukumonline.com, dijelaskan bahwa untuk dapat menjual BBM, badan usaha harus memiliki izin usaha niaga.

Akan tetapi, Peraturan BPH Migas No. 6 Tahun 2015 memberikan kesempatan bagi pengusaha kecil untuk menjual BBM secara legal.

BBM yang bisa dijual pun bisa berbagai jenis bahkan sampai biofuel.

Peraturan BPH Migas No. 6 Tahun 2015 itu memang menyebut bahwa koperasi, usaha kecil, maupun sekelompok konsumen yang ingin menjalankan usaha penjualan BBM sebagai sub-penyalur.

Baca: Ini Dia Tiga Jenis Kejahatan yang Jadi Atensi Polisi di Perairan Perbatasan

Penjelasan lebih lanjut, baca ulasan di bawah ini:

Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Usaha penjualan bahan bakar minyak (BBM) termasuk ke dalam kegiatan usaha hilir yaitu niaga.

Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.

Merujuk pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Baca: INFO CPNS 2017 - Inilah Tata Cara Pendaftaran di Pemprov Kalimantan Utara

Dari peraturan yang telah dicantumkan, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dapat melaksanakan kegiatan usaha pembelian, penyimpanan, dan penjualan BBM harus berbentuk badan usaha, bukan perorangan.

Pada dasarnya kegiatan usaha Pertamini, jika tidak memiliki izin usaha, maka dapat dipidana dengan Pasal 53 UU 22/2001:

Setiap orang yang melakukan:

a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Sedangkan jika yang dijual adalah BBM bersubsidi, maka dapat dipidana dengan Pasal 55 UU 22/2001:

Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60.000.000.000,- (enam puluh miliar rupiah).

Pertamina tak Bisa Menindak

Ilustrasi: Kantor Pertamina, Jakarta
Ilustrasi - Kantor Pertamina, Jakarta (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

Di beberapa kesempatan pihak Pertamina telah menegaskan bahwa mereka yang menjalankan bisnis Pertamini dianggap ilegal karena tidak memiliki izin.

Selain itu, ditekankan pula bahwa antara Pertamina dan Pertamini tidak ada hubungan bisnis sama sekali.

"Bukan. Mereka bukan bagian dari Pertamina. Mereka bukan bagian dari anak perusahaan Pertamina," kata Yudi Nugraha, Area Manager Communications & Relations Jawa Bagian Barat PT Pertamina (Persero) menjawab pertanyaan Tribunnews di sela acara diskusi ringan di Jakarta, Rabu (5/4/2017).

Baca: Astaga, Sewakan Apartemen Selama 3 Minggu, Pemilik Ini Terkejut Lihat Ruangannya Jadi Begini

Mengutip pernyataan sikap manajemen Pertamina pusat terhadap maraknya pendirian Pertamini di berbagai daerah, Yudy menjelaskan, "Secara official Pertamini tidak ada hubungannya dengan Pertamina dan secara hukum mereka sebenarnya tidak boleh memakai brand Pertamina."

"Tapi karena mereka sehari-harinya menjual produk kita, kita berusaha membina. Kita perlakukan mereka sebagai pedagang eceran biasa. Soal safety dan standar literannya, kami rasa mereka belum terstandar," beber Yudy Nugraha.

Baca: Sukses di Malaysia, Desainer Samarinda Pulang Kampung, Ingin Bawa Produk Tenun Go Internasional

Dia menambahkan, di internal Pertamina ada pembahasan untuk melihat peluang menjadikan gerai Pertamini sebagai perpanjangan jaringan penjualan bahan bakar Pertamina.

"Tapi itu masih dalam pengkajian," katanya.

Terhadap perusahaan yang menjual peralatan dispenser bahan bakar untuk gerai Pertamini, Yudy mengaku pihaknya juga mengetahui adanya hal tersebut. Antara lain dari media.

"Yang harus mengambil tindakan seharusnya adalah Dinas Perindustrian setempat. Kita di Pertamina tidak ada hubungannya dengan mereka," katanya.

Seorang penjual bensin eceran mengisi tangki bensin motor di jalan Batu Sari, Kota Denpasar. Senin (13/4/2015)
Seorang penjual bensin eceran mengisi tangki bensin motor di jalan Batu Sari, Kota Denpasar, Senin (13/4/2015). (Tribun Bali/Tribun Bali/Rizal Fanany)

Diakui Yudy, keberadaan Pertamini, terutama di wilayah pelosok cukup membantu masyarakat yang membutuhkan pasokan bahan bakar, sementara untuk bepergian ke SPBU Pertamina yang resmi lokasinya relatif jauh.

"Mereka menjual bahan bakar itu sebagai mata pencaharian. Cukup banyak pengecer yang membeli bahan bakar dari kita. Keberadaan mereka cukup membantu konsumen di daerah yang lokasinya cukup jauh dari SPBU resmi Pertamina. Jadi posisi kita saat ini tidak melarang mereka," beber Yudy Nugraha.

Solusi BPH Migas

Sementara itu, Direktur Bahan Bakar Minyak (BBM) BPH Migas, Hendry Ahmad, menegaskan bahwa penjual BBM eceran termasuk kegiatan ilegal.

Hal tersebut telah tercantum dalam Pasal 55 UU 22/2001 yang meniagakan BBM subsidi pengangkutan ilegal kena denda.

Untuk mengatasi maraknya penjualan bensin eceran, BPH Migas menawarkan masyarakat untuk bisa membuka usaha semacam itu dengan modal minim.

Bulan Mei lalu, Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengeluarkan aturan yang membuka peluang penjualan bensin dalam skala kecil bagi masyarakat umum.

Baca: Perdana Main di Stadion Mirip Emirates, Tiket Persiba Vs Persegres Dibanderol Murah, Ini Daftarnya!

Menurut Hendry, aturan itu dibuat untuk mengatasi penjualan bensin ilegal.

Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan Pada Daerah yang Belum Terdapat Penyalur (Peraturan BPH Migas 6/2015).

Disebutkan bahwa Peraturan BPH Migas 6/2015 memang memberikan kesempatan bagi pengusaha kecil untuk menjual BBM secara legal.

BBM yang bisa dijual pun bisa berbagai jenis bahkan sampai biofuel.

Pasal 1 Peraturan BPH Migas 6/2015 itu memang menyebut bahwa koperasi, usaha kecil, maupun sekelompok konsumen yang ingin menjalankan usaha penjualan BBM sebagai sub-penyalur.

Baca: Usianya Masih 25 Tahun, Artis Cantik Ini Ternyata Sudah Punya 3 Anak, Kini Lagi Hamil Anak Keempat

Sub-penyalur sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan BPH Migas 6/2015, adalah perwakilan dari sekelompok konsumen pengguna jenis BBM tertentu dan/atau jenis BBM khusus penugasan di daerah yang tidak terdapat penyalur dan menyalurkan BBM hanya khusus kepada anggotanya dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya dimana wilayah operasinya berada.

Syarat untuk menjadi Sub Penyalur adalah sebagai berikut:

a. Anggota dan/atau perwakilan masyarakat yang akan menjadi Sub Penyalur memiliki kegiatan usaha berupa Usaha Dagang dan/atau unit usaha yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa;

b. Lokasi pendirian sub penyalur memenuhi standar Keselamatan Kerja dan Lindungan Lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Memiliki sarana penyimpanan dengan kapasitas paling banyak 3.000 liter dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Memiliki atau menguasai alat angkut BBM yang memenuhi standar pengangkutan BBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Memiliki peralatan penyaluran yang memenuhi persyaratan teknis dan keselamatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Memiliki izin lokasi dari Pemerintah Daerah setempat untuk dibangun fasilitas Sub Penyalur;

g. Lokasi yang akan dibangun sarana Sub Penyalur secara umum berjarak minimal 5 (lima) km dari lokasi Penyalur berupa Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) terdekat atau 10 (sepuluh) km dari Penyalur berupa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terdekat atau atas pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

h. Memiliki data konsumen pengguna yang kebutuhannya telah diverifikasi oleh Pemerintah Daerah setempat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka disarankan agar mengkonfirmasi ke Pemerintah Daerah setempat mengenai persyaratan dan perizinan untuk menjadi "sub penyalur" sesuai ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan BPH Migas 6/2015. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved