Kutub Utara Menjadi Selatan Begitu juga Sebaliknya, Manusia Perlu Khawatir?
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa kutub magnet bumi tidak sama dengan kutub utara dan selatan yang kita kenal secara geografis.
Para peneliti memprediksikan bahwa fenomena ini membutuhkan waktu antara 1.000 hingga 10.000 tahun.
Ia telah terjadi ratusan kali dalam sejarah dan terakhir terjadi 780.000 tahun lalu.
Baca: Gempar, Guru Dicekik hingga Tewas! Inilah 5 Fakta Sosok Siswa Sadis, Terungkap Anak Pejabat!
Artinya, fenomena ini sudah terlambat dan kini tanda-tanda terbaliknya kutub magnet sudah mulai terlihat.
Menurut data magnetometer dari tiga satelit Swarm, medan magnet bumi telah melemah dengan kecepatan 10 kali lipat dari masa lalu.
Meski demikian, hal ini tidak memastikan terjadinya pergerakan kutub magnet.
Dalam artikel The Conversation tahun lalu, John Tarduno dan Vincent Hare dari University of Rochester menulis, apa yang membuat geofisikawan seperti kita ribut adalah pengetahuan bahwa kekuatan medan magnet bumi melemah selama 160 tahun terakhir dengan kecepatan yang mengejutkan.
“Penurunan ini bepusat pada Kutub Selatan yang luas, dari Zimbabwe hingga Chile, dan dikenal sebagai Anomali Atlantis Selatan. Kekuatan medan magnet di sana sangat lemah sampai membahayakan satelit yang mengorbit di atas wilayah tersebut – medan magnet tidak lagi melindungi mereka dari radiasi yang menganggu elektronik satelit,” tulis mereka.
Akan tetapi, tampaknya kita belum perlu mengkhawatirkan skenario-skenario kiamat akibat fenomena ini.
Baca: Akhir Pekan Ini Ada 2 Laga Bergengsi, Inilah Jadwal Siaran Langsung Bigmatch
Para peneliti memang memprediksikan bahwa medan magnet yang lemah bisa membuat partikel berenergi tinggi terus-terusan menembus atmosfer kita dan membuat lubang-lubang yang menyerupai lubang ozon di atas Antartika. Namun, mereka masih belum bisa memastikan dampaknya.
Menurut para peneliti, termasuk Phil Livermole dan Jon Mound dari University of Leeds, yang mungkin menjadi masalah adalah peningkatan radiasi yang bisa menganggu navigasi satelit, pesawat, dan pembangkit listrik.
“Jika ini terjadi sekarang, peningkatan partikel berenergi tinggiyang mencapai bumi bisa meningkatkan risiko bagi satelit, dirgantara dan infrastruktur listrik yang berbasis di darat,” tulisnya di The Conversation. (Kompas.com/Shierine Wangsa Wibawa)