Soroti Rembuk Nasional Aktivis 98, Fahri Hamzah: Ada Bau Kekuasaan di Sana
Selain itu, Fahri juga mengomentari kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara itu serta kaitan acara ini dengan radikal.
Target peserta sampai puluhan ribu tak mungkin tercapai, karena pilihan isu yang berjarak dengan basis isu komunitas masyarakat marginal, bukannya merubah situasi sosial menjadi situasi politik, tapi justru menjadi buzzer isu politik menjadi isu sosial.
Jika menghendaki pluralism, maka jangan hanya menolak monopoli pemikiran, tapi juga harus menolak monopoli kepemilian sumberdaya ekonomi yang dialami oleh massa rakyat.
Jika setuju keberagaman, maka jangan hanya jadikan panggung reuni untuk dukung mendukung calon tunggal, berada di luar kelaziman mestinya berani beralternatif. Jika dunia aktivis kehilangan daya pemikiran kritis, maka yang hanya kepalsuan.
jika gerakan tak lagi lahir dari refleksi sadar atas realitas eksploitasi kaum buruh tani, maka yang tersisa adalah mengabdi ke elit politik, ketika oportunisme searah dengan #Aktivisme . Dan yang nampak tinggallah bahwa rembug 98 hanyalah semacam bermufakat untuk membentuk Timses.
Aktivisme akan menjadi ironi bagi marwah sejarah gerakan 98, karena tindakannya tercerabut dari akar pemikiran kritis dan keberpihakan kepada rakyat . Ini adalah semacam pengkhianatan kepada asal muasal.
Isu melawan radikalisme itu sungguh ambigu keluar dari generasi penakluk rezim orba, lupakah kita pada buku buku sejarah tentang radikalisme pemuda Indonesia, prihatin kalau belum pernah baca.
Aktivis tiba-tiba terjebak dalam penggunaan istilah yang mengikuti situasi kondisi yang dikembangkan rezim, bukan istilah untuk menemu kembali kondisi yang terjadi dan yang menjadi dasar pijak dan tindak
Misalnya untuk menyebut pelaku kekerasan dengan perturan agama tertentu, aneka istilah telah dipergunakan dalam rentetan sejarah : ekstrim, sempalan, fundamentalis lalu kini.
Karenanya jika tidak cukup klarifikasi sejarah dan ilmiahnya, istilah bisa dipergunakan sebagai sarana stigmatisasi. Sayangnya para poltisi muda, justru mengambil bagian dari comat comot istilah tanpa tradisi kritis, misalnya seperti mereka yang kini mengatasnamakan radikal.
Tiba-tiba muncul gerakan angkatan 98 menolak radikalisme. Sebagai bagian yang mengklaim diri sebagai penerus tradisi kaum muda terpelajar, setidaknya tolehlah kembal buku saku kaum pergerakan.
Sampai saya bertemu Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa1912-1926. bagaimana kita memberi makna bagi buku ini dan spritualitas ruh perjuangan tokoh tokoh pergerakan zaman itu?.
Judul aslinya An Age in Motion. Pilihan kata yang manis. Masyarakat melihat dunia yang bergerak lalu membikin pergerakannya. Penggambarannya mirip seperti nonton bioskop yang tahun-tahun itu baru muncul di Indonesia dan menjadi budaya kaum muda
Atau bahkan Ben Anderson, menyebut perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949 dengan Revolusi Pemuda, Juga almarhum Kuntowowijoyo, bukunya diberi judul Radikalisasi. Semua tentang bagaimana realitas dibaca oleh pikiran dan menjadi tindakan.
Jangan melakukan klasifikasi serampangan. Seperti apapun pembelahan politik yg terjadi, setidaknya harus tetap kritis terhadap historiograsi cangkokan, jangan korbankan diksi yang telah dicatat sejarah sebagai alat untuk meradikalisasi situasi dan kritisisme massa.
Pada masa pergerakan melawan penjajahan kolonialisme, kata “radikal” dipakai untuk mendampingi kata “moderat”, yang merupakan dua cara yang umum dalam pergerakan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/fahri-hamzah2_20171115_060423.jpg)