Soroti Rembuk Nasional Aktivis 98, Fahri Hamzah: Ada Bau Kekuasaan di Sana

Selain itu, Fahri juga mengomentari kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara itu serta kaitan acara ini dengan radikal.

Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI 

Kata “moderat” dipakai dan “dikenakan” kepada pergerakan yang bersifat “kooperatif (lunak dan kompromistik)”, sedangkan “radikal” dikenakan kepada pergerakan yang bersifat non-kooperatif.

Pada moment persiapan kemerdekaan Indonesia tahun 45, terjadi perdebatan keras antara Soekarno dan para pemuda, mengenai cara Indonesia meraih kemerdekaannya.

Di antara perdebatannya adalah, untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Bukan pula hadiah.

Sebaliknya argument lain yang mengemuka saat itu, utk mencapai Indonesia merdeka adalah sebagai satu sikap lunak dan kompromistik terhadap kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia.

Karena untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial Belanda.

Intinya, kata “radikal”, kemudian “radikalisme”, dan “radikalis” adalah suatu sifat yang menggambarkan kuatnya memegang pendapat, dan suatu kata yang menggambarkan keinginan untuk berubah secara menyeluruh dan cepat.

Tahun 98, pada gerakan mahasiswa, sifat radikal ini muncul kembali (sama halnya seperti gerakan tahun 66, 70an dan 80an). Sebagai suatu sifat keinginan untuk perubahan besar-besaran pada pemerintahan Indonesia yang dipimpin rezim orba.

Tapi gerakan mahasiswa yang radikal ini akhirnya “tergerus sendiri” oleh penamaan gerakan dengan nama “reformasi total”.Terjadi perdebatan panjang antara mahasiswa yang radikal dengan yang punya “sifat” moderat dlm pemilihan kata yang tepat untuk gerakan mereka.

Ada kalangan atau faksi gerakan mahasiswa yang enggan menggunakan” kata, “revolusi”, krn mempunyai konotasi “radikal”, merasa nyaman dgn istilah reformasi krn imajinasinya perubahan akn terjadi secara konstitusional

Ada juga juga kalangan yg tetap dengan slogan revolusi sampai mati, karena perubahan yg dicapai harus radikal bahkan dengan memotong satu generasi, mereka setia digaris massa dan berada diluar sistem hingga bertahun tahun pasca 98

Hari ini, dua kelompok beda cara pandang dalam melihat perubahan itu tak lagi bisa dimaknai secara dikotomik, mengalami swing dan swiching secara dramatis di-drive oleh situasi politik sumbu pendek dan iming2 jangka pendek.

Pada Masa kepemimpinan Jokowi sebagai President RI, kata “radikal” ini kembali muncul. Ketika kelompok besar yang mengatasnamakan “umat Islam” mulai menyatakan kesadarannya dalam konstelasi politik nasional

Aktualisasi kesadaran tersebut lahir bersamaan dgn ketidakpuasan atas berbagai keputusan, pendapat, maupun pola kerja yang dilakukan oleh pemerintahan, yang dalam Hal ini Jokowi sebagai Presiden mengelola politik secara serampangan.

Kelompok besar “Umat Islam” ini sebagai basis identitas dan ruh perjuangan, sehingga mendapat sambutan masif, terbukti dalam berbagai aksinya melahirkan rekor dalam sejarah aksi turun jalan di indonesia dipandang sebagai tindakan

Pergerakan dan manifestasi keasadaran yg mendasarkan diri pada ruh spritualitas yg ada pada agama sebagai basis argument, mengemuka dalam periode pemerintahan Jokowi, masifnya gerakan tersebut membuat pemerintahan merasa terganggu

Sumber: TribunWow.com
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved