Soal Vaksin MR yang Menimbulkan Polemik, Begini Sikap LPPOM MUI Kaltim
Adanya sertifikasi halal pada Vaksin MR, lanjut Sumarsongko, akan menghilangkan pro dan kontra di masyarakat.
Penulis: Rafan Dwinanto |
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Rafan A Dwinanto
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Sampai saat ini, Vaksin Campak dan Rubella (MR) belum mengantongi sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Hal ini diungkapkan Kepala LPPOM MUI Kaltim, Sumarsongko, Kamis (2/8/2018).
Menurut Sumarsongko, pihaknya juga masih menunggu jadwal pertemuan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan LPPOM MUI, yang rencananya digelar dalam waktu dekat.
"Vaksin ini informasi awalnya kan belum bersertifikat halal. Tapi, sesuatu yang belum bersertifikat halal kan belum tentu haram. Sama seperti kita makan di warung yang belum ada sertifikat halalnya, kan belum tentu haram," kata Sumarsongko.
Meski demikian, kata Sumarsongko, sebaiknya Vaksin MR disertifikasi. Sehingga, status vaksin tersebut menjadi jelas.
"Segala sesuatu kan awalnya mubah. Dengan proses, sesuatu yang mubah itu bisa jadi halal, atau malah jadi haram. Untuk kehati-hatian dan kepastian status, sebaiknya Vaksin MR disertifikasi saja," kata Sumarsongko.
Baca juga:
Beredar Audio Ustadz Arifin Ilham untuk Abdul Somad soal Cawapres, Putri Amien Rais Beri Respon
Rahmad Darmawan Resmi Jadi Pelatih Mitra Kukar, Ini Harapan Mitra Mania
Ijtima Ulama Terbitkan Rekomendasi Calon yang Didukung, Begini Respon Ali Mochtar Ngabalin
Baru Tahu Ada Warga Tewas Akibat Ulahnya, Pelaku 'Palu Maut' Minta Maaf pada Keluarga Korban
Adanya sertifikasi halal pada Vaksin MR, lanjut Sumarsongko, akan menghilangkan pro dan kontra di masyarakat.
Vaksinasi atau imunisasi, menurut Sumarsongko merupakan bagian dari usaha (ikhtiar) manusia untuk mendapatkan hidup yang sehat.
"Vaksinasi itu bagian dari ikhtiar. Ikhtiar itu wajib. Tapi, vaksinnya harusnya halal. Vaksinasi itu ikhtiar biar manusia sehat. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Lebih mudah dan murah," ujarnya.
Soal halal tidaknya sesuatu, kata Sumarsongko, tergantung dari dua hal. Yakni zat yang tergantung, maupun cara produksinya.
"Contohnya ayam. Ayam inikan halal. Tapi, kalau cara menyembelihnya tak sesuai syariat, kan jadi haram. Vaksin juga begitu," katanya lagi.
Dalam kondisi yang dinyatakan darurat, lanjut Sumarsongko, sesuatu yang haram juga bisa digunakan.
Contohnya Vaksin Meningitis untuk jamaah haji dan umrah. Sebelum 2010, Indonesia tidak memiliki Vaksin Meningitis yang halal.
"Tapi, saat itu (2010) Pemerintah Arab Saudi mewajibkan jamaah yang mau umrah dan haji wajib sudah di Vaksin Meningitis. Karena darurat, akhirnya saat itu ulama mengeluarkan fatwa Vaksin Meningitis tetap bisa digunakan. Tapi sekarang, semua Vaksin Meningitis yang beredar di Indonesia sudah tersertifikasi halal semua," tutur Sumarsongko.
Darurat atau tidaknya suatu kondisi, menurut Sumarsongko tergantung dari beberapa hal.
Pertama, vaksin tersebut belum ada penggantinya yang sepadan. Kemudian, jika tak digunakan berpotensi mengancam nyawa atau kecacatan seumur hidup.
"Dan terakhir, kondisi darurat itu harus disampaikan oleh ahlinya, dalam hal ini dokter yang amanah," kata Sumarsongko. (*)