Kasus Korupsi Autis Centre Bontang Rugikan Negara Rp 7 Miliar, Makelar Tanah Divonis 7 Tahun Penjara
Bahkan kasus pengadaan lahan Rp 18,5 miliar tahun 2012 tersebut telah menyelesaikan persidangan terhadap ketiganya dengan vonis yang berbeda
Penulis: Mir | Editor: Doan Pardede
TRIBUNKALTIM.CO - Kasus korupsi pembebasan lahan untuk Gedung Autis Centre di Kota Bontang telah menyeret tiga tersangka masing-masing Norhayati dan Dimas dari Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) serta Sayid Assegaf yang bertindak sebagai broker atau makelar lahan.
Bahkan kasus pengadaan lahan Rp 18,5 miliar tahun 2012 tersebut telah menyelesaikan persidangan terhadap ketiganya dan telah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda.
Untuk terdakwa Norhayati dan Dimas telah vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 50 jita dan subsider 3 bulan penjara. Namun vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bontang yakni penjara selama 9 tahun dan denda Rp 500 juta subsidier 6 bulan.
Sementara untuk terdakwa Sayid Husen Assegaf yang merupakan makelar tanah juga telah divonis 7 tahun 6 bulan serta denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 4,6 miliar kepada terdakwa.
Padahal dakwaan JPU adalah menuntut pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Atas hasil vonis tersebut, JPU Kejari Bontang langsung menyatakan banding atas vonis Sayid Husen Assegaf karena dinilai terlalu ringan vonis yang diterima dari tuntutan jaksa.
Hal serupa juga dilakukan terhadap Norhayati dan Dimas, jaksa juga mengajukan banding vonis atas keduanya.
//
Penyelidikan kasus korupsi pengadaan lahan untuk Gedung Autis Centre ini sudah mulai dilakukan Kejari Bontang sejak tahun 2013 lalu, setelah menemukan adanya indikasi dugaan korupsi atas pengadaan lahan tahun 2012 sebesar Rp 18,5 miliar.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Pihak Kejaksaan menghadirkan tiga orang ahli yakni ahli hukum pidana Prof Dr Nur Basuki Minarno dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ahli hukum Agraria, Dr Sumardja dari Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Auditor BPKP Kaltim.
Jalannya persidangan, saksi ahli Hukum Agraria Dr Sumardja menerangkan ada 3 peraturan yang dilanggar oleh terdakwa,
diantaranya SK Walikota Nomor 410/2012 Tentang Penetapan Lokasi Lahan Pembangunan Gedung Seni yang diterbitkan Tanggal 10 Oktober 2012.
Kemudian, SK Walikota nomor 411/2012 Tentang Penetapan Lokasi lahan Gedung Autis Centre.
Di dalam aturan ini menyebutkan ganti rugi dibayarkan ke pemilik lahan bukan melalui perantara.
Pelanggaran aturan lainnya yakni, larangan penggunaan kuasa mutlat seperti tertuang di dalam Intruksi Mendagri Nomor 14/1982 dan Peraturan Kepal Badan ATR Nomor 3/1997 Tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Baca juga :
Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp 1,3 M Pilwali Balikpapan Masuk Penyidikan, Kejari Segera Panggil KPU
Direktur Utama hingga Mantan Anggota DPR, Inilah Sosok dan Peran 4 Tersangka Baru Korupsi e-KTP
Sementara pendapat saksi ahli dari Auditor BPKP Kaltim menyebutkan , kerugian negara dari dua proyek pengadaan lahan ini sebesar Rp 6,7 miliar yang meliputi kerugian negara Gedung Autis Centre sebesar Rp 2,3 miliar dan lahan Gedung Seni Rp 4,4 miliar.
Dari rangakain agenda tersebut pihaknya sudah menghadirkan saksi 28 orang. Seluruh saksi sudah dihadirkan di dalam persidangan.
Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Bontang, Yudo Adiananto mengatakan dari persidangan digelar ditemui sejumlah fakta-fakta persidangan.
“Yang kami catat saksi-saksi tidak mampu memberikan dasar pembebasan lahan sesuai dengan Perkaban Nomor 3/2007,” ujar Yudo kepada tribunkaltim.co, Selasa (30/4/2019) lalu terhadap terdakwa Norhayati dan Dimas.
Dijelaskan, fakta yang muncul dari persidangan ternyata penetapan lokasi pembebasan dilakukan mendahului terbit Surat Keputusan (SK) titik lokasi.
Padahal SK ini menjadi dasar pemerintah untuk menunjuk lokasi, bukan sebaliknya.
Kemudian fakta lain yang mencuat, para saksi beralasan bahwa pembebasan lahan melalui surat kuasa pemilik dibenarkan di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan (Perkaban) Nomor 3/2007 Tentang Pengadaan Lahan Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

“Padahal di dalam aturan itu jelas melarang pengadaan lahan melalui surat kuasa pemilik, juga diatur di dalam SK Wali Kota saat itu,” ujarnya.
Selanjutnya, terkait pembayaran jasa tim apresial (penaksir harga) tanah.
Di dalam persidangan diketahui bahwa tim apresial ini dibiayai oleh terdakwa (SHA) bukan pemerintah.
”Alasannya pemerintah saat itu tidak ada anggaran, makanya dia bayarkan dulu,” ujar Yudo.
Baca juga :
898 Napi Dapat Remisi HUT Kemerdekaan, Termasuk 2 Orang Napi Kasus Korupsi
Capaian Pencegahan Korupsi 82 Persen, Pemprov Kaltara Urutan Ke-3 Nasional
Sementara itu, saat sidang untuk tersangka Sayid, Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus)Kejari Bontang, Yudo Adiananto mengatakan terdakwa dituntut karena melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Yudo menjelaskan, dasar pertimbangan tuntutan kepada terdakwa setelah mencermati fakta-fakta persidangan.
Terungkap, terdakwa Sayid melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 miliar dari kegiatan pengadaan lahan ini.
“Di samping merugikan keuangan negara, perbuatannya juga bertentangan dengan upaya pemerintah memberantas Tipikor,” ujar Yudo.
Ia menambahkan, denda uang pengganti bersifat wajib dibayarkan oleh Sayid kurun 1 bulan. Apabila terdakwa tak membayar,
maka akan dilakukan proses penyitaan aset atau barang milik terdakwa untuk selanjutnya dilakukan pelelangan.

Kemudian, dari hasil lelang tersebut akan disetorkan ke kas negara sebagai bentuk pemulihan atau pengembalian keuangan negara.
“Jika terdakwa tidak sanggup membayar uang pengganti dan harta yang disita tidak ada atau mencukupi dari jumlah uang pengganti,
yang dibebankan pada terdakwa maka terdakwa wajib menjalani pidana tambahan yaitu pidana penjara selama 5 tahun,” ungkap Yudo.
Setelah berjalannya persidangan akhirnya, Sayid divonis 7 tahun 6 bulan serta denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 4,6 miliar kepada terdakwa.
Menurut JPU vonis yang diberikan kepada terdakwa terlalu ringan dari tuntutan jaksa.
Sebelumnya, Jaksa menuntut Sayid Husen Assegaf dengan pidana 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Kasi Pidsus Kejari Bontang Yudo Adiananto mengatakan hasil konsultasi dengan pimpinan diputuskan agar mengajukan banding atas vonis tersebut.
“Kita sudah layangkam nota banding kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri kemarin,” ujar Kasi Pidsus Kejari Bontang Yudo Adiananto kepada tribun saat dikonfirmasi, Jumat (23/8/2019).
Lebih lanjut, Kasi Pidsus Kejari Bontang Yudo Adiananto menilai putusan hakim kepada terdakwa terlalu ringan.
Sebab, akibat dari perbuatan terdakwa negara telah merugi sebesar Rp 7 miliar.
Untuk itu, di dalam tuntutan jaksa meminta agar terdakwa mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 6,7 miliar.
Namun, vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Bangunan Autis Cantre Hanya Diisi 12 Anak Berkebutuhan Khusus
Bangunan Autis Centre di Jalan Tennis, Kelurahan Api-Api, Kecamatan Bontang Utara hanya diisi 12 pelajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Bangunan yang sedianya diperuntukkan untuk perawatan ABK bagi masyarakat Bontang ini, terlihat sepi saat hari-hari kerja. Namun , Dinas Pendidikan (Disdik) mengaku aktivitas masih berjalan hari-harinya.
Sekretaris Disdik Kota Bontang, Dwi Indriyani mengatakan, sejauh ini fasilitas layanan Autis Centre masih dikelola oleh Disdik saja. Padahal seharusnya fasilitas ini melibatkan dua instansi lainnya, yakni Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan.
Pengelolaan layanan fasilitas ini rencananya bakal membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) agar layanan bisa berfungsi efektif.
“Sementara ini belum maksimal, karena harus mengantre untuk jadwal pelayanan karena terbatas SDM dan jadwal,” ujar Dwi kepada tribunkaltim.co, saat ditemui di ruangan kerjanya, Rabu (22/5/2019).
Dwi menjelaskan, baru-baru ini Autis Centre menambah jumlah terapis untuk meningkatkamn layanan di sana. Namun penambahan ini belum mampu memenuhi kebutuhan ideal jumlah terapis di tempat ini.

Sementara ini, layanan autis dibuka secara periodik. Kelompok ABK mendapatkam layanam secara parsial, tahap pertama mereka diberi waktu perawatan selama 3 bulan. Kemudian menyusul kelompok kedua untuk mengikuti tahap pertama.
Setelah selesai, kelompok pertama kembali mengikuti program 3 bulan kedua. Begitu pun dengan kelompok selanjutnya. “Jadi bergiliran karena terbatas terapisnya,” ujarnya.
Untuk itu, rencananya pengelolaan fasilitas ini bakal dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) supaya pengelolaanya lebih efektif dan optimal. Tahun depan, pemerintah berencana membentuk UPT sebagai pengelola fasilitas ini.
Autis Centre secara perdana mulai digunakan sejak 2016 lalu sejak kasus korupsi pengadaan lahan bangunan ini mulai mencuat.
Korupsi pengadaan lahan ini sudah menjerat 3 orang terdakwa, 2 diantaranya merupakan pejabat di lingkungan Pemkot Bontang sementara 1 orang lainnya merupakan makelar.
Pantauan tribunkaltim, Rabu (22/5) petang lokasi diisi dengan kegiatam keagamaan. Pengunjung tiba menggunakan baju muslim, mereka bersiap berbuka puasa sama-sama.
Sementara itu, taman di halaman gedung terlihat banyak ditumbuhi tanaman liar. Sedangkan pos keamanan di depan bangunan terlihat berdebu.
“Rencananya kami mau pugar buat taman di depan makanya akhir-akhir ini tidak tersentuh, nanti juga bakal ada penjaga keamanannya,” pungkas Dwi. (*)