KPK Periksa Ahmad Heryawan Terkait Proyek Meikarta, Ungkap Soal Keberadaan BKPRD
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
KPK memeriksa Ahmad Heryawan sebagai saksi kasus dugaan suap terkait perizinan proyek Meikarta, dalam hal ini menyangkut keberadaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
Pria yang akrab disapa Aher itu diperiksa untuk tersangka Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa.
"Ditanya fungsinya, saya katakan memberikan rekomendasi atas izin atau non izin sebelum izin tersebut diproses lebih lanjut oleh DPM PTSP. Ketika sebuah izin atau non izin ada kaitan tata ruang, maka sebelum izin mengizin tersebut dikeluarkan oleh DPM PTSP harus ada rekomendasi terlebih dahulu dari BKPRD," kata dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Menurut Aher, sejak BKPRD Jawa Barat dibentuk, lembaga itu dipimpin oleh Iwa.
Kemudian digantikan oleh mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.
Pada awal tahun 2018, lanjut Aher, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dibubarkan.
Sehingga BKPRD Jawa Barat juga turut dibubarkan dan kewenangannya diserahkan ke dinas terkait.
"Diserahkanlah Tupoksinya ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang, sampai di situ. Makanya ketika saya ditanya tentang proses Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi, yang ditetapkan atau yang sudah disepekati oleh Bupati (Neneng Hasanah Yasin) dan oleh DPRD saya enggak tahu proses itu sama sekali," ungkap Aher.
"Saya juga tidak tahu ketika (RDTR) sudah sampai di provinsi diproses provinsi, kemudian keburu saya pensiun, itu saja," tambah Aher.
Dalam kasus ini, Iwa menjadi tersangka lantaran diduga meminta uang sebesar Rp 1 miliar kepada pihak PT Lippo Cikarang melalui Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.
Uang itu untuk memuluskan proses RDTR di tingkat provinsi.
Kasus ini bermula ketika Neneng Rahmi menyampaikan pengajuan Raperda RDTR itu pada April 2017.
Saat itu, Neneng diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bekasi untuk bertemu pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi.
Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan itu.