Hasto Nilai Revisi UU KPK Penting, Hindari Penyalahgunaan Kewenangan

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), merupakan hal penting harus dilakukan

Editor: Samir Paturusi
TribunKaltim.Co/Muhammad Fchri Ramadhani
Politisi Senior PDIP Hasto Kristianto 

Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.

Berdasarkan Pasal 37A, dewan pengawas dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Dewan pengawas bersifat nonstruktural dan mandiri.

Anggota dewan pengawas berjumlah lima orang dengan masa jabatan empat tahun.

Seseorang dapat menjadi dewan pengawas apabila ia berusia minimal 55 tahun dan tidak tergabung dalam partai politik.

Dewan pengawas dipilih oleh DPR berdasar usulan presiden.

Adapun presiden dalam mengusulkan calon anggota dewan pengawas dibantu oleh panitia seleksi (pansel).

Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, dewan pengawas berwenang dalam 5 hal lainnya.

Pertama, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Kedua, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Selain itu, bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.

3. Izin untuk menyadap

Jika selama ini KPK bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, dalam rancangan Undang-Undang KPK, disebutkan bahwa lembaga antirasuah itu harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.

Setelah kantongi izin, KPK dapat melakukan penyadapan maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan.

Penyadapan yang telah selesai juga harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta dewan pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai.

Hasil penyadapan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12D, bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi.

Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan segera. 

Baca juga :

 Bupati Muara Enim OTT KPK, Aktivitas Pelayanan Publik Tetap Berjalan Seperti Biasa

 Daftar 10 Nama Calon Pimpinan KPK yang Diserahkan ke Presiden, Pengamat Beri Peringatan

4. Terbitkan SP3

Salah satu poin dalam revisi Undang-Undang KPK ini ialah kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 yang berbunyi,

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun".

Penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan ke dewan pengawas KPK dalam jangka waktu satu pekan terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3.

5. Asal penyelidik dan penyidik

Draf revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik.

Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri.

Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian RI.

Sementara itu, mengenai penyidik yang diatur dalam Pasal 45, UU yang saat ini berlaku menyebutkan bahwa penyidik KPK adalah yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

UU revisi mengatur lebih jelas ketentuan tersebut, bahwa penyidik diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dinilai bisa lemahkan KPK

Saat wacana revisi UU KPK mengemuka pada 2017, keenam poin ini mendapat kritik dari kalangan pegiat antikorupsi.

Mereka mengkhawatirkan rencana tersebut akan melemahkan kewenangan KPK.

Sebab, beberapa ketentuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting menilai, revisi UU KPK belum diperlukan.

Pertama, ia berpendapat konsep pembentukan dewan pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK.

Begitu juga kewenangan dewan pegawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.

Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang.

Kedua, terkait penyadapan melalui izin dewan pengawas.

Miko menuturkan, hal ini mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.

Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.

Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3.

Ia memandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.

Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.

"Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan," ucap Miko.

(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved