Beberapa Alasan Ini Buat Pakar Hukum Yakin OTT KPK Akan Jauh Berkurang, Satunya Tak Lagi Ramping
Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar tetap meyakini revisi UU KPK bakal menjadi pelemahan bagi KPK dalam memberantas korupsi.
TRIBUNKALTIM.CO - Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar tetap meyakini revisi UU KPK bakal menjadi pelemahan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi.
"Unsur pelemahannya dari lembaga yang independen menjadi lembaga yang langsung di bawah pemerintahan. Jadi nanti jangan harapkan banyak Operasi Tangkap Tangan (OTT)," ucap Abdul Fickar Hadjar, Kamis (19/9/2019).
Dia menjelaskan OTT bakal berkurang karena akan diawasi oleh dewan pengawas.
Ini jauh berbeda dengan sebelumnya, dimana KPK merupakan organisasi yang modern, ramping, cepat dan kreatif.
Baca juga :
• Beda dengan Unmul, Dosen Untag Samarinda Dukung Revisi UU KPK, Soal Penerapan SP3 dan Penyadapan
• Mulai dari Kedudukan KPK hingga Sistem Kepegawaian, Ini 7 Poin Revisi UU KPK yang Disahkan DPR RI
Kini dengan revisi UU KPK, lembaga antirasuah itu menjadi lembaga yang langsung berada dibawah pemerintah dan sama dengan lembaga penegak hukum lain baik itu Polri maupun Kejaksaan.
"Jadi unsur pelemahannya disitu, jangan harap banyak OTT nanti. Karena belum tentu dikasih izin oleh dewan pengawas. Apalagi kalo calon koruptornya dari pemerintahan atau lembaga yang memang terkait dengan dewan pengawas itu," tegasnya.
Kewenangan Dewan Pengawas KPK
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Dewan Pengawas KPK akan menentukan dalam penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Sprindik merupakan dokumen yang menyatakan suatu kasus dinaikkan ke tahap penyidikan yang juga berisi nama tersangka.
Diketahui, Undang-Undang KPK hasil revisi memunculkan lembaga dewan pengawas.
Tugas dewan pengawas di antaranya adalah memberi izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan.
"Kalau dewan pengawas tidak mengizinkan dilakukan penggeledahan atau penyitaan ya otomatis kan sprindik enggak keluar," ujar Alex, panggilan Alexander, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
"Karena biasanya yang berjalan sekarang kan begitu. Kita mengeluarkan sprindik, tidak lama kemudian atau bersamaan kita menerbitkan surat untuk penggeledahan dan penyitaan, karena itu jadi satu rangkaian," sambungnya.
Alex menyebut itu memang konsekuensi keberadaan dewan pengawas, seperti yang tercantum dalam pasal 21 UU KPK hasil revisi.
Baca juga :
• Jokowi Setuju Beberapa Poin Revisi UU KPK, Fahri Hamzah Singgung Soal Komunikasi yang Baik
• Gencar Tolak Revisi UU KPK, Tiga Dosen Fakultas Hukum Unmul Diteror Nomor Telepon Kode Luar Negeri
"Yang jelas pasti ada perubahan dalam proses bisnis di KPK. seperti yang kita lihat misalnya Di pasal 21," ujarnya.
Alex yang kembali terpilih sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023 itu juga menyebut UU baru tidak menjelaskan secara rinci hierarki antara pimpinan KPK dan dewan pengawas.
"Di pasal 21 enggak ada, apakah itu juga menghilangkan peran pimpinan sebagai penyidik dan penuntut umum, artinya nanti ya seperti, sprindak, surat perintah penahanan, terus surat perintah penyidikan itu bukan pimpinan yang tanda tangan," kata Alex.
Diketahui, mekanisme penanganan sebuah perkara di KPK selama ini, surat perintah penyidikan, penahanan, hingga penyadapan semuanya harus terlebih dahulu ditandatangani oleh pimpinan KPK.
Dengan ketentuan baru itu, Alex menyebut bisa saja nantinya dewan pengawas akan ikut dalam sebuah gelar perkara.
"Jadi dewan pengawas akan meminta dilakukan gelar perkara, sebelum memberikan izin terkait penyadapan penggeledahan maupun penyitaan," katanya.
Disetujui dalam rapat paripurna
Sebelumnya, revisi UU KPK disetujui dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019).
Salah satu poin perubahannya adalah keberadaan dewan pengawas yang dipilih oleh Presiden.
DPR dan Pemerintah menyepakati tujuh perubahan dalam revisi UU KPK.
Rapat Kerja Pengambilan Keputusan tingkat I itu, setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangannya terkait revisi UU KPK.
Dikutip dari Kompas.com, tujuh fraksi menyatakan setuju.
Sementara dua fraksi, yakni Fraksi PKS dan Fraksi Parrtai Gerindra menyatakan setuju dengan memberikan catatan.
Sedangkan, Fraksi Partai Demokrat baru akan memberikan pandangan dalam rapat paripurna.
Dengan demikian seluruh fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan revisi UU KPK ke pembicaraan tingkat II di rapat paripurna pengesahan undang-undang.
Menurut rencana, Pimpinan DPR bersama pimpinan fraksi akan menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menjadwalkan Rapat Paripurna.
Baca juga :
• Enggan Komentar Tapi Percaya Diri, Ini Tanggapan Unik Firli soal Revisi UU KPK saat Masih Capim
• Singgung Gangguan sejak 2014, Fahri Hamzah Beber Analisis Kenapa Jokowi Berani Setuju Revisi UU KPK
Tujuh Poin Disepakati
Kesepakatan antara DPR dan pemerintah soal tujuh poin revisi UU KPK dicapai dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di Ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Senin (16/9/2019).
Mengutip Kompas.com, Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto mengatakan terdapat tujuh poin perubahan yang disepakati dalam revisi UU KPK.
Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
(*)