Meski Sudah Disahkan, Masih Ada 2 Cara Batalkan Revisi UU KPK, Satunya Tergantung Presiden
Untuk menolak revisi UU KPK, pengamat sebut masih ada 3 jalan yang bisa ditempuh, salah satunya tergantung Presiden RI
TRIBUNKALTIM.CO - Perjalanan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK atau UU KPK diwarnai sejumlah kritik.
Kritik yang datang dari sebagian besar pimpinan KPK, Wadah Pegawai KPK dan aktivis antikorupsi itu menyebut, KPK secara kelembagaan bakal lemah setelah UU KPK direvisi.
Namun demikian, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman berpendapat, masih ada celah agar UU KPK hasil revisi yang disebut melemahkan KPK itu dibatalkan pelaksanaannya.
Uji Materi di MK
Baca juga :
• Pro Revisi UU KPK Dinilai Dukung Koruptor, Dosen Untag Samarinda Bertanya Pasal Mana Lemahkan KPK
• Saat Kaesang Pangarep Ikut Angkat Bicara Soal Revisi UU KPK, Singgung Kepedulian yang Berbeda-beda
Setidaknya, terdapat dua cara yang dapat diperjuangkan mereka yang menolak UU KPK direvisi.
Pertama, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Zaenur, UU KPK hasil revisi layak untuk diuji materi di MK.
Sebab, ada pasal-pasal yang ia nilai tidak sesuai dengan UUD 1945.
"Di satu sisi, perubahan UU KPK mengatakan KPK itu bersifat independen, tetapi di sisi lain ada pengawas yang masuk ke dalam tatanan organisasi KPK dan itu tak bersifat independen karena dipilih oleh presiden," kata Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/9/2019).
"Nah, itu sendiri sudah menunjukkan ketidakpastian hukum. Sehingga bertentangan dengan UUD," lanjut dia.
Selain itu, Zaenur melihat ada kecacatan formil pada UU KPK hasil revisi, tepatnya ketika tahap pembahasan di DPR RI.
Menurut dia, pembentukan UU KPK melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan.
"( Revisi UU KPK) tidak ada di dalam Prolegnas juga tidak memenuhi syarat untuk dibahas selain yang ada di dalam Prolegnas. Syaratnya ada dua, pertama keadaan khusus, misalnya untuk menangani bencana atau lainnya, kedua urgensi nasional. Syarat itu tidak dipenuhi," ucap dia.
Baca juga :
• Dewan Penasihat Peradi Kaltim Sebut Sudah Tepat UU KPK Direvisi
• Singgung Gangguan sejak 2014, Fahri Hamzah Beber Analisis Kenapa Jokowi Berani Setuju Revisi UU KPK
Berharap Presiden Keluarkan Perppu
Selain uji materi di MK, salah satu jalan agar revisi UU KPK batal adalah mendorong Presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( perppu).
Meski memungkinkan secara legal formal, namun Zaenur tidak yakin Presiden akan mengeluarkan Perppu.
"Perppu bisa untuk membatalkan UU KPK. Tapi kan revisi UU KPK ini keinginan Presiden juga ya, jadi menurut saya mustahil presiden mengeluarkan Perppu UU KPK," kata dia.
Apalagi, ditambah situasi politik di mana seluruh partai politik, termasuk penyokong Joko Widodo, bersikeras agar UU KPK direvisi.
Zaenur menambahkan, kelompok masyarakat sipil nampanya tidak berharap presiden akan mengeluarkan Perppu.
Oleh sebab itu, satu-satunya cara adalah dengan mengajukan judicial review ke MK.
"Jadi masyarakat sipil sudah tidak berharap lagi ke presiden untuk mengeluarkan Perppu. Salah satunya cara adalah mengajukan judicial review meski secara hukum memang Perppu itu terbuka untuk jalan menyelamatkan KPK," lanjut dia.
Diberitakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019), dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Perjalanan revisi tersebut berjalan sangat singkat.
Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 12 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.
Baca juga :
• Mulai dari Kedudukan KPK hingga Sistem Kepegawaian, Ini 7 Poin Revisi UU KPK yang Disahkan DPR RI
• Koalisi Dosen di Universitas Mulawarman Terus Suarakan Penolakan Revisi UU KPK, Ini Alasannya
Poin-poin yang disepakati
DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati seluruh poin revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).
"Ada beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati dalam rapat panja," ujar Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto saat menyampaikan laporan hasil rapat.
Menurut Totok, ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK.
Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.
Terus Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Dengan demikian, pembahasan akan dilanjutkan dengan Rapat Kerja antara Baleg DPR dan pemerintah untuk mendengarkan pandangan seluruh fraksi.
Setelah itu, pembahasan revisi UU KPK akan dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Dengan demikian pembahasan dilanjutkan dalam pembahasan tahap II untuk ditetapkan sebagai undang-undang," kata Totok.
Di tengah mulusnya pembahasan revisi UU KPK ini, pimpinan lembaga antirasuah itu sendiri meminta dilibatkan.
Baca juga :
• Jokowi Tegaskan Revisi UU KPK Tetap Jalan, Pengamat Pernah Ingatkan Jangan Jadi Bulan-bulanan
• Jokowi Setuju Beberapa Poin Revisi UU KPK, Fahri Hamzah Singgung Soal Komunikasi yang Baik
KPK Minta Dilibatkan
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan akan mengirimkan surat ke DPR agar KPK dilibatkan dalam pembahasan RUU KPK.
"Hari ini (Senin), pimpinan juga akan mengirim surat kepada DPR sebagai terakhir yang akan membahas ini, nanti segera kita kirim. Mudah-mudahan kita masih mempunyai kesempatan untuk ikut bicara untuk menentukan UU tadi," kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Senin (16/9/2019).
Agus menuturkan, KPK merasa perlu dilibatkan karena hingga kini pihaknya sama sekali belum menerima draf resmi revisi UU KPK.

Selain itu, Agus juga meminta DPR untuk tidak buru-buru membahas revisi UU KPK.
Menurut Agus, pembahasan UU KPK perlu melibatkan banyak supaya aturan itu dapat disusun secara matang.
"Kalau bisa jangan buru-buru supaya ada pembahasan yang lebih matang lebih baik, dan lebih banyak melibatkan para pihak," ujar Agus.
Dorongan agar KPK dilibatkan dalam pembahasan RUU KPK juga datang dari mantan pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki.
"Kami para senior berharap pembahasan itu jangan terburu-buru, diperbanyak menyerap aspirasi, diperbanyak menyerap pendapat," kata Ruki di Gedung Merah Putih KPK, Senin.
Hal senada disampaikan oleh mantan Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah. Ia meminta DPR membahas revisi UU KPK dengan kepala dingin dan tidak tergesa-gesa seakan diburu waktu.
"Bagaimanapun, keputusan yang diambil dengan situasi hari yang panas, emosi, tergesa-gesa, potensial akan menghasilkan hal yang tidak baik," kata Chandra.
(*)