Pengabdian Pankrasius Sebagai Guru di Perbatasan, Pesan Kapur Tulis di Samarinda Sebulan Baru Tiba
Pengabdian Pankrasius Sebagai Guru di Perbatasan, Pesan Kapur Tulis di Samarinda Sebulan Baru Tiba
Penulis: Christoper Desmawangga | Editor: Samir Paturusi
Tidak ada guru mata pelajaran di SD ini, semua guru merangkap seluruh mata pelajaran, atau yang disebut dengan guru kelas.
"Kita pakai sistem guru kelas saja. Jadi, guru kelas mengajar semua mata pelajaran. Tentu masih kurang tenaga pengajar di sini, walaupun semua kelas memiliki guru kelas," ujarnya.
Kondisi tidak adanya aliran listrik dari PLN membuat aktivitas sekolah juga terhambat, saat ini sekolah hanya mengandalkan mesin genset.
Jika ada keperluan surat menyurat maupun kebutuhan adminstrasi sekolah yang mengharusnya menyalakan printer, barulah genset dinyalakan.
"Saat ini kami hanya memiliki dua unit Laptop untuk kebutuhan sekolah. Listrik belum ada, jadi pakai genset dulu.
Solarnya kita beli sendiri, harga normalnya di sini Rp 10 Ribu per liter, tapi bisa naik sampai Rp 12 ribu, kalau air lagi surut pedagang solar eceran bisa naikan harga sampai Rp 25 ribu per liter." ujarnya.
"Sebelum pemekaran, sampai pemekaran, hingga saat ini listrik belum masuk, padahal tiang listrik sudah tertancap," sambungnya.
Pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mulai menceritakan awal mula dirinya bisa menjadi guru di kabupaten termuda di Kalimantan Timur (Kaltim).
Basic pendidikan telah tertanam didirinya sebelum nekat merantau ke Kaltim pada 1997. Sejak di NTT, dirinya telah mengenyam gelar SPG (Sekolah Pendidikan Guru).
Ketika dirinya sampai di Kaltim, Papa panggilan akrabnya langsung menuju Kutai Barat (Kubar) guna mengikuti jejak perantauan NTT lainnya bekerja di perusahaan kayu, PT Sumalindo.
Walaupun demikian, nurani gurunya tidak bisa dibendung untuk menjadi seorang tenaga pengajar.
Lalu, dirinya mengajar di salah satu SD, kala itu dirinya sama sekali tidak mendapatkan bayaran dari sekolah, maupun pemerintah setempat, kala itu Mahulu masih tergabung dengan Kabupaten Kubar.
"Beberapa bulan saya tidak bayar, akhirnya di bayar oleh Sumalindo, karena saat itu Sumalindo punya program guru desa binaan, saya dibayar Rp 250 ribu per bulan," tuturnya.
2002, dirinya diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) Pemkab Kubar, dengan gaji per bulan Rp 450 Ribu.
Pengambilan gaji tersebut dilakukan per enam bulan sekali. Ketika harusnya mendapatkan gaji untuk enam bulan, namun nyatanya hanya diberikan gaji untuk empat bulan saja.