Uighurs di Antara Jurnalisme dan Hoax

MUSLIM Uighurs menjadi banyak diperbicangkan, dan diposting di media sosial maupun aplikasi WhatApps.

Editor: Sumarsono
TRIBUN KALTIM/RACHMAD SUJONO
Pengamat Literasi Media Sosial Pitoyo memberikan materi tentang dampak media sosial kepada mahasiswa Universitas Balikpapan di Conference Room, Selasa (25/9/2018). 

Oleh: Dr. Pitoyo, M.IKom
Praktisi Media dan Pemerhati Komunikasi Antarmanusia

TRIBUNKALTIM.CO - MUSLIM Uighurs menjadi banyak diperbicangkan, dan diposting di media sosial maupun aplikasi WhatApps.

Tidak sedikit yang berkomentar negatif pada China. Isu Uighurs ini muncul terkait dengan adanya isu pelanggaran berat hak azasi manusia (HAM) di Xinjiang.

Parlemen Eropa pun bersuara lantang menentang China, demikian Presiden Trump pun merasa perlu melindungi muslim Uighurs.

Bagaimana di Indonesia? Pemerintah tampaknya masih hati-hati mengambil sikap. Beberapa organisasi massa Islam sudah mengeluarkan sikap agar China menghentikan aksi perlakukan keras yang melanggar HAM terhadap muslim Uighurs.

Kecaman keras juga muncul dari warga net di media sosial negeri ini.

Bila disimak, sebenarnya tidak banyak umat Islam yang paham ada apa sebenarnya dengan Uighurs, termasuk letak geografisnya.

Gubernur Isran Noor Dukung Umat Muslim Kaltim Bela Uighur

Umat Muslim Kalimantan Timur dari 7 Organisasi Keagamaan Gelar Aksi Bela Muslim Uighur

Tiba di Pemkot, Wawali Balikpapan Rahmad Masud Sambut Massa Aksi Bela Muslim Uighur China

Kendati sudah ada google map namun konteks historisnya masih perlu ditegaskan ulang, agar dapat memahami mengapa etnis Uighurs yang mayoritas muslim ini berseteru dengan China yang berideologi komunis.

Xinjiang adalah suatu wilayah yang dulunya Turkistan Timur yang berada di wilayah utara Sungai Sir di Asia Tengah. Pada 1759 terjadi peperangan antara Turkistan Timur dengan Manchu China.

Turkistan Timur mengalami kekalahan dan berada di bawah kekuasaan Manchu China. Kemudian, nama Turkistan Timur berubah menjadi Xinjiang yang banyak dihuni etnis Uighur.

Etnis Uighur adalah etnis yang menghuni wilayah Xinjiang sejak masih menjadi wilayah Turkistan Timur.

Sejak Xinjiang masuk ke dalam wilayah China, diskriminasi banyak diterima Muslim Uighur. Bukan hanya disebabkan perbedaan agama dan budaya tetapi juga bentuk fisik yang berbeda.

Etnis Han (bangsa China asli yang beragama Budha) berkulit putih, memiliki kelopak mata sipit dan warna mata hitam.

Sedangkan etnis Uighur berkulit putih, memiliki warna mata hijau, berhidung mancung dan berjenggot seperti orang-orang Turkistan pada umumnya.

Masuknya Islam di China karena ekspedisi Arab datang ke China pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Yung Way dari Dinasti Tang.

Selain itu juga diceritakan bahwa Islam masuk ke China pada akhir masa Dinasti Sui atau menjelang berdirinya Dinasti Tang (abad ke7 M).

Yang dibawa oleh saudagar saudagar Arab yang datang di sekitar Bandar Kanton (Guang Dong) dan Bandar Guangzhou.

AKSI BELA UIGHUR - Para peserta aksi membawa spanduk bertuliskan ketidak adilan yang dirasakan oleh umat muslim Uighur, pada Senin (23/12/2019), pukul 13.30 WITA, di depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda.
AKSI BELA UIGHUR - Para peserta aksi membawa spanduk bertuliskan ketidak adilan yang dirasakan oleh umat muslim Uighur, pada Senin (23/12/2019), pukul 13.30 WITA, di depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda. (TRIBUNKALTIM.CO/ NEVRIANTO HARDI PRASETYO)

Pada masa Dinasti Ming (13681644) Islam mengalami masa kegemilangan. Karena sebelumnya, yaitu pada masa Dinasti Yuan (12791368), orang-orang muslim banyak menduduki jabatan- jabatan penting di dalam pemerintahan, seperti jabatan sebagai jawatan kementerian maupun sekretariat negara. (Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, 1987 :122135).

Perbedaan secara fisik dan agama dengan China ini menimbulkan dinamika perjuangan bangsa Uighur yang ingin memisahkan diri, dan China yang merasa Uighur masuk wilayah geografis China maka harus tetap tunduk pada pemerintahan Tiongkok.

Perjalanan panjangan perjuangan ini, tiba-tiba ramai di media setelah adanya hasil investigasi jurnalis, dari Eropa.

Jurnalis Eropa menemukan dokumen tetang kamp di Xinjiang yang menahan ratusan ribu umat Islam Uighur.

Investigasi yang dilakukan oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), telah bekerja dengan 17 mitra media, termasuk BBC Panorama dan surat kabar The Guardian di Inggris.

Dokumen-dokumen pemerintah China yang bocor, yang diberi label ICIJ "The China Cables", termasuk memo sembilan halaman yang dikirim pada 2017 oleh Zhu Hailun, yang saat itu wakil sekretaris Partai Komunis Xinjiang dan pejabat keamanan kawasan itu, yang bertugas di kamp- kamp.

Dokumen resmi, yang dilihat oleh BBC, menunjukkan bagaimana para tahanan dikurung, diindoktrinasi, dan dihukum.

Memo itu mencakup pesan untuk: (1)"Jangan izinkan melarikan diri". (2) "Tingkatkan disiplin dan hukuman atas pelanggaran perilaku".

(3)"Promosikan pertobatan dan pengakuan". (4) "Jadikan belajar Bahasa Mandarin sebagai prioritas utama".

(5) "Dorong siswa untuk benarbenar mengubah". (6) "[Pastikan] cakupan video pengawasan penuh asrama dan ruang kelas bebas dari titik buta".

Viral di WhatsApp & Facebook Soal Penculikan Anak, Dua Pelaku Penyebar Hoax Diamankan Polres Berau

Spotlight dan Jurnalisme Air Liur

Dokumen yang ditemukan oleh BBC itu sudah dibantah oleh Pemerintah China, yang telah mengklaim kampkamp di wilayah Xinjiang barat jauh menawarkan pendidikan dan pelatihan sukarela.

Duta Besar China untuk Inggris menolak dokumen itu, dan menganggap sebagai berita palsu.

Hasil investigasi atas dokumen itu menjadi ajang pembicaraan di dunia, karena menyangkut pelanggaran berat HAM yang dilakukan pemerintah China di Xinjiang.

Bisa dipastikan reaksi masyarakat di Amerika dan Eropa, bukan karena korban kamp di Xinjiang adalah umat Islam, namun atas nama HAM.

Bila dikaji lebih dalam, baik Inggris maupun Amerika samasama menentang ideologi komunis China.

Reaksinya tentu beda dengan Turki, yang merasa bahwa asal usul Uighur adalah bangsa Turki yang memiliki kesamaan dalam iman, yakni sesama umat Islam.

Jalinan emosional Turki dengan Uighur ini telah sekaian lama, meski terpisah oleh kekuatan politik dan militer Cina sehingga Uighur pun terpisah dengan Turki.

Lebih menarik disimak yakni tradisi jurnalisme yang masih kuat dipegang oleh media sekelas BBC.

Di era media sosial saat ini banyak yang berpendapat bahwa media massa, koran, radio dan televisi, sudah mulai kehilangan ruh jurnalismenya.

Media sudah menari di atas genderang media sosial. Pernyataan sinis ini tentu saja dapat ditepis dengan adanya jurnalisme investigasi yang dilakukan oleh 17 media di Eropa ini.

Jurnalisme investigasi memiliki karakter meliputi karya asli (bukan plagiat dari investigasi yang dikerjakan oleh instansi pemerintah atau lembaga nonpemerintah), perkara yang tidak terungkap (jika tidak diusahakan oleh wartawan), dan berorientasi pada kepentingan pembaca.

Untuk itu, ada upaya wartawan melakukan peliputan investigasi, seperti penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan (data), dan pemantauan aktivitas sembunyisembunyi atau penyamaran.

Tujuannya untuk memberitahukan kepada pembaca tentang peristiwa atau situasi yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Wartawan melakukan riset dan menyiapkan laporan. Kasuskasus dan skandalskandal hukum yang seolaholah terkunci dapat dilacak dan dibeberkan oleh wartawan melalui liputan investigasi.

Temuan media yang kemudian menjadi isu masyarakat dunia ini khususnya masyaraat muslim, tentu membuat tidak nyaman pemerintah China. Menghadapi tekanan massa atas pemberitaan ini China diuji kemampuan dalam berkomunikasi di seluruh dunia, dan tidak cukup hanya melakukan bantahan bahwa dokumen yang beredar itu palsu.

China perlu menunjukkan secara detail bagaimana kondisi kamp di Xinjiang yang kabarnya menjadi lokasi penahanan dan penyiksaan bagi ratusan ribu warga Uighur.

Beban tugas China dalam menetralisasi isu media tersebut semakin berat dengan adanya fotofoto yang menggambar penyiksaan terhadap umat Islam di Uighur yang berdar di media sosial termasuk di Indonesia.

Aksi massa di berbagai negara bisa jadi bukan hanya di picu oleh hasil temuan investigasi media barat tersebut tetapi tersulutnya emosi massa akibat berita di media sosial.

Sebagaimana biasa, masyarakat masih belum begitu memiliki kepiawaian dalam melakukan verifikasi terhadap media sosial sehingga fotofoto yang beredar di media sosial selalu dianggap sebuah kebenaran.

Namun setelah dilakukan kajian secara seksama, fotofoto yang beredar di media sosial yang mengambarkan seorang wanita yang disiksa, dengan menggunakan aplikasi reverse image toolsdari Google, Yandex, dan Tineye.

Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar foto yang diklaim sebagai foto penyiksaan di kamp muslim Uighur adalah foto peragaan metode penyiksaan oleh otoritas Cina terhadap pengikut Falun Gong atau Falun Dafa. Bukan fotofoto yang diambil dari kondisi terkini di kamp Xinjiang terhadap warga muslim di Uighur.

Falun Gong adalah salah satu suatu cara melatih diri dengan meditasi dan olah tubuh yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan spiritual.

Aliran ini diperkenalkan pada 1992 di Cina oleh Li Hongzhi. Namun, sejak Juli 1999, Falun Gong dilarang karena dianggap mengganggu dan membahayakan masyarakat.(Tempo, 22/12/2019).

Berita hasil investigasi dari media tersebut menjadi tercoreng dengan banyaknya berita berupa foto hoax yang menunggangi hasil investigasi.

Inilah perlunya masyarakat waspada terhadap adanya hoax yang menyesatkan informasi di media sosial yang dengan sengaja membangun emosi untuk tujuan membangkitkan kemarahan umat Islam.(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Kaltim Bisa Menggugat!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved