5 Kejanggalan Kasus Penyerangan Novel Baswedan Versi Pukat UGM, Dugaan Ada Aktor Intelektual Menguat

Salah satu yang dinilai sangat janggal adalah tuntutan 1 tahun hukuman oleh jaksa kepada pelaku kasus penyiraman Novel Baswedan.

Editor: Doan Pardede
Tribunnews/Herudin
KEJANGGALAN KASUS NOVEL - Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan memasuki babak lanjutan penanganan perkara tersebut. Setelah pelaku penyiraman air keras hanya dituntut 1 tahun penjara, begini sindiran Novel Baswedan pada Jokowi yang ditulis di Twitternya 

TRIBUNKALTIM.CO - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan sejumlah kejanggalan dalam kasus penyiraman penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Salah satu yang dinilai sangat janggal adalah tuntutan 1 tahun hukuman oleh jaksa kepada pelaku kasus penyiraman Novel Baswedan.

Pukat menemukan setidaknya 5 kejanggalan dalam tuntutan yang diajukan oleh jaksa pada terdakwa dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Berikut beberapa poin-poin kejanggalan dalam tuntutan yang diberikan jaksa kepada terdakwa:

• Sudah Setor Rp 1,8 Miliar Agar Anak Masuk Akpol, Pria Ini Akhirnya Gigit Jari, Begini Nasibnya Kini

• Muncul Usul Semua yang Lulus Passing Grade Ikut SKB CPNS dan Tak Cuma 3 Besar, Kini Tergantung Pusat

• Dapat Instruksi Khusus Jokowi, Idham Azis Minta Polisi Sikat Pejabat yang Coba Mainkan Dana covid-19

• Ramalan Zodiak Cinta Selasa 16 Juni 2020, Kisah Asmara Taurus Alami Cobaan, Gemini Harus Lebih Peka

1. Pernyataan jaksa bahwa tidak ada niat

Menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.

Sebab terdakwa dalam kasus ini telah memenuhi tiga unsur rencana terlebih dahulu, yaitu memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

Hal itu dibuktikan dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah disiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman.

Di sisi lain, pihaknya menilai JPU salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan.

"Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai yang dimaksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan," kata Zaenur dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (15/6/2020).

Karenanya, kendati terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, tetapi tindakan penyiraman itu dilakukan pada kondisi gelap, sehingga memungkinkan untuk mengenai bagian tubuh lain, yaitu mata.

Terungkap Alasan Mahfud MD Tak Ingin Komentar Banyak Kasus Penyiraman Air Keras Novel Baswedan

Jenguk Novel Baswedan, Rocky Gerung: Air Keras untuk Mata Publik, Refly Harun Duga Pelaku Bisa Bebas

2. Pasal yang dikenakan

PELAKU MERASA BERSALAH - Dua tersangka penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, RM dan RB, keluar dari Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, untuk dipindahkan ke Rutan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019) siang. Keduanya yang merupakan polisi aktif ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
PELAKU MERASA BERSALAH - Dua tersangka penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, RM dan RB, keluar dari Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, untuk dipindahkan ke Rutan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019) siang. Keduanya yang merupakan polisi aktif ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. (WARTA KOTA/ADHY KELANA)

Selain itu, Zaenur juga mengatakan, pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa seperti dalam Pasal 353 ayat 2 KUHP, padahal tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat.

Menurut dia, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada pasal penganiayaan berat sebagaimana dalam Pasal 355 ayat 1 KUHP.

Sebab, dalam konteks hukum pidana dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan.Artinya, ada atu tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak.

"Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa," jelas dia.

Bintang Emon Dibela Publik Usai Bikin Video Tuntutan Novel Baswedan, Berikut Profil Sang Komika

Alasan Refly Harun Minta 2 Terdakwa Penganiaya Dibebaskan, Pengakuan Mengejutkan Novel Juga Diungkap

3. JPU lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa

Sementara itu, jaksa yang seharusnya bertugas untuk membuktikan kebenaran materil dan keadilan, menurut Pukat justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.

Padahal, terdakawa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah, sehingga memiliki hak ingkat.

Selain itu, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta atau Komnas HAM.

4. Tuntutan tidak logis

Dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsider, jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara.

Alil-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara.

Hal ini dinilai Pukat mencederai keadilan karena bertentangan dengan adagium hukum restitutio in integrum, yaitu hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat.

Tuntutan ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasu antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan.

Pihaknya menilai, tuntutan jaksa pada kasus Novel tersebut tergolong sangat ringan dibandingkan kasus penyiraman air keras lain.

Dalam kasus Lamaji yang menyiram air keras ke pemandu lagu di Mojokerto pada 2017, misalnya, dakwaan JPU menggunakan alternatif gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.

5. Aktor intelektual dan motif tidak diungkap

Seperti diketahui, terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Menurut Zaenur, motif tersebut tidak kuat.

Sebab, terdakwa tidak memiliki hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel.

Di sisi lain, Novel pun tak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa.

Atas dasar itu, muncul dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini, mengingat jejak Novel sebagai penyidik KPK dalam menangani kasus-kasus besar.

"Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan," kata Zaenur.

Melihat tuntutan jaksa tersebut, pihaknya menganggap bahwa harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus Novel sepenuhnya terletak pada Majelis Hakim.

Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan itu tidak tepat jika dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.

Zaenur pun berharap agar hakim mampu melihat kasus ini secara keseluruhan dan mempertimbangkannya secara obyektif.

"Selain itu, hakim juga diharapkan memberi putusan yang seadil-adilnya tak hanya bagi korban, tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat," kata dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Kejanggalan dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan Menurut Pukat UGM"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved